Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Jumat, 30 April 2010

Petugas Sampah Kota Makassar

*Jadi Pemulung Untuk Tutupi Kebutuhan

Mereka memilih bertahan walau gaji pas-pasan. Mereka hanya mengharapkan tunjangan di hari tua nanti, yaitu dana pensiun.

RIDWAN MARZUKI
Jalan Kerung-kerung

Sosoknya tidak begitu tinggi. Ia baru saja memarkir kendaraannya ketika saya menghampirinya di bagian operasional dinas kebersihan Kota Makassar, Kamis, 29 April. Mulanya ia tak mau berkomentar. Alasannya takut mendapat sanksi dari atasannya. Tetapi setelah penulis yakinkan, akhirnya ia bersedia bercerita.

Namanya Kamaluddin. Dia salah seorang sopir pada dinas kebersihan Kota Makssar. Usianya sekitar 40-an tahun. Kini tugasnya sebagai pengemudi mobil truk sampah. Setiap hari itu kerjanya. Tak ada libur sama sekali. Maklum, sampah merupakan barang menjijikkan yang harus dibuang setiap hari. Jika tidak, maka sampah-sampah tersebut pasti akan sangat mengganggu.

Setiap hari, ia bersama beberapa orang rekannya menyisiri jalan-jalan di Kota Makassar. Tentu saja dengan dengan mengemudikan kendaraan truk sampahnya itu. Tujuannya sudah pasti: mengangkut sampah-sampah dari depan rumah-rumah warga metropolitan. Selanjutnya dibawa ke tempat pembuangan terakhir (TPA) di Antang.

Bau sampah yang begitu busuk sudah menjadi langganan keseharian Kamaluddin. Ia tak pernah jijik. Menurutnya, sampah itu adalah berkah baginya. Dari sanalah ia bisa hidup, walau serba pas-pasan. Ia mengaku mensyukuri pekerjaannya.

Kamaluddin kini memiliki empat orang anak. Yang sulung berusia 23 tahun. Anak keduanya berusia 19 tahun. Lalu yang ke tiga berusia 15 tahun. Terakhir, yang bungsu berusia 10 tahun, sedang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar (SD).

Sayang, tiga anaknya putus sekolah. Malah yang sulung tidak sampai tamat SD. Saat ini dia menjadi pemulung karena keterbatasan pendidikan. Dua lainnya hanya tamat sekolah menengah pertama (SMP). Sudah tidak lanjut juga. "Tidak ada dana untuk meneyekolahkan mereka tinggi-tinggi," kata Kamaluddin menjelaskan alasan anaknya tidak lanjut sekolah.

Memang penghasilan Kamaluddin sangatlah pas-pasan. Gaji pokok yang diterimanya hanya Rp 500 ribu per bulan. Padahal, masa pengabdiannya di dinas kebersihan sudah sekitar 28 tahun. Gaji itulah yang dipakai untuk membiayai kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya sehari-hari.

Kamaluddin merupakan salah satu dari sekitar 80-an pegawai honorer pada dinas kebersihan Kota Makassar yang belum terangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Padahal sejak tahun 1984, ia mengabdi di intansi tersebut. Waktu itu usianya baru belasan tahun. Tetapi karena tuntutan hidup sehingga ia terpaksa bekerja walau usianya masih sangat sangat muda kala itu.

Maklum, sejak kecil orang tua Kamaluddin telah tiada. Dengan keadaan begitu, mau tidak mau ia harus bekerja agar bisa terus melanjutkan hidup. Padahal saat itu ia hanya tamat SD. Praktis tak banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan, utamanya yang membutuhkan ijazah yang lebih tinggi. "Karena orang tua tidak ada saat itu, jadi masuk menjadi pekerja sampah," kenangnya.

Tetapi Kamaluddin setidaknya bisa berterima kasih. Ketiga anaknya yang putus sekolah kini sedang mengikuti sekolah nonformal. Lembaga pendidikan tersebut dikelola oleh relawan-relawan dari kalangan mahasiswa. Sekolah ini terdapat di TPA Antang. Namanya Sekolah pemulung. Dominan yang menjadi pesertanya meruapakan anak-anak pemulung dan tukang sampah. Termasuk anak Kamaluddin bersekolah gratis di tempat itu secara gratis.

Saat pendataan tenaga honorer, Kamaluddin mengaku sudah melengkapi semua berkas persyaratannya. Ekspektasinya pun kian melambung saat itu bahwa tak lama lagi ia akan menjadi CPNS. Sayang, sejak pendataan tahun 2005 silam, Kamaluddin tak kunjung mendapatkan SK CPNS.

Tak jauh beda dengan Kamaluddin, Dado pun memiliki nasib yang sama. Sudah 20-an tahun ia bekerja pada dinas kebersihan. Tetapi hingga kini belum juga terangkat menjadi CPNS. Padahal ia memiliki SK honorer dari walikota sejak tahun 1997. Dado masuk di dinas kebersihan sejak tahun 1990.

Kedua orang petugas sampah ini mengakui jika gaji mereka pas-pasan. Untuk menutup kebutuhan yang lain, maka mereka menjadi pemulung. Pemulung di sini bukan yang berkeliling dengan becak keluar masuk lorong. Caranya, mereka menjadi pemungut sekaligus pemulung sampah. Sampah-sampah plastik yang dibuang oleh warga kota di tempat sampah, itu mereka pisahkan dengan sampah basah. Selanjutnya setelah terkumpul, sampah-sampah plastik tersebut mereka jual ke pedagang loakan. Hasilnya lalu mereka bagi sesuai dengan jumlah petugas sampah yang ikut dalam satu truk sampah.

Bukan cuma itu, warga juga kadang-kadang empati dengan mereka. Tak jarang ada warga yang memberi mereka tip saat mengambil sampah di depan rumahnya. "Kalau penghasilan mau dihitung, itu tidak cukup, Pak. Tetapi kadang ada masyarakat yang memberi yang diambil sampahnya memberi kita Rp 5.000 sampai Rp 10 ribu. mereka kadang kasihan melihat kita," tutur Dado. Namun begitu, berapapun penghasilannya, ia mengaku mensyukurinya.

Para petugas sampah ini memang sempat melakukakn aksi mogok selama tiga hari. Terhitung sejak Senin sampai Rabu (26-28 April), mereka mogok kerja tidak mengangkut sampah. Walhasil sampah di Kota Makassar ini menjadi menumpuk di mana-mana. Bahkan menyebabkan bau yang cukup menyengat.

Sebetulnya para petugas sampah ini tak bermaksud untuk mogok. Mereka juga tak berniat untuk tidak melayani warga. Hanya saja, aksi mogok tersebut mereka lakukan lantaran tak mendapat perhatian dari pemerintah, utamanya pemerintah kota.

Salah seorang staf di seksi operasional dinas pertamanan dan kebersihan Kota Makassar, M Syahrul S, membenarkan aksi mogok petugas sampah tersebut. Menurutnya, para petugas sampah ini mogok karena menuntut diangkat menjadi CPNS.

Persoalan ini, terang dia, sebetulnya karena badan kepegawaian nasional (BKN) yang belum memberi nomor induk pegawai (NIP) para honorer dinas kebersihan ini. Sementara badan kepegawaian daerah (BKD) tidak bisa mengeluarkan SK CPNS jika NIP tersebut belum ada. "Jadi ini bukan kesalahan BKD kota, tetapi kesalahan BKN pusat," tegas Syahrul.

BKN, kata Syahrul, menganggap para petugas kebersihan ini sebagai pegawai perusahaan. Padahal, para pegawai honorer yang bekerja pada perusahaan daerah (perusda) kebersihan saat itu merupakan pegawai honorer yang diperbantukan. Memang sesuai PP 48 Tahun 2004, pegawai pada perusahaan daerah yang gajinya bukan berasal dari APBD atau APBN tidak bisa menjadi CPNS.

Tetapi menurut Syahrul, itu tidak bisa berlaku pada pegawai di perusda kebersihan Kota Makassar. Alasannya, karena gaji para honorer tersebut bersumber dari APBD dan mereka memiliki SK sebagi tenaga honorer. Mestinya para tenag honorer ini diangkat bertahap menjadi CPNS sejak 2005 lalu. Apalagi, dari 112 tenaga honorer di perusda kebersihan, 18 orang di antaranya sudah terangkat menjadi CPNS dan PNS.

Kini, para petugas sampah tersebut hanya bisa berharap. Mereka juga sudah kembali melaksanakan tugasnya setelah sempat melakukan mogok selama tiga hari. Terhitung sejak Kamis, 29 April kemarin, mereka kembali melaksanakan rutinitasnya. Sampai kapan mereka menunggu SK CPNS-nya keluar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar