Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Rabu, 23 Januari 2013

Selamatkan Pohon Kita

Penghijauan Bantaran Sungai Terbengkalai

MAKASSAR--Program penghijauan yang dilakukan pemerintah, khususnya yang berada di sepanjang bantaran sungai atau kanal, terkesan terbengkalai. Banyak pohon yang baru ditanam, namun lebih banyak yang mati karena tak terawat.

Aktivis dan pencinta lingkungan, Mustam Arif, mengatakan, sejauh ini, pohon-pohon yang ditanam karena suatu program, lebih banyak terbengkalai karena begitu selesai ditanam, maka tak ada perawatan lanjutan yang dilakukan. Pemerintah tak pernah menunjuk secara khusus instansi yang bertugas mengurusi masalah pohon-pohon yang telah ditanam tersebut.

"Program penghijauan yang dilakukan pemerintah itu tidak memiliki perencanaan komprehensif," ujar Mustam, Rabu, 23 Januari.

Menurut dia, jika telah selesai ditanam, pohon-pohon tersebut lantas ditinggalkan. Persoalan apakah itu akan tumbuh dengan baik atau tidak, tidak lagi dipedulikan. Padahal, menanam pohon ibarat memelihara manusia yang harus dirawat agar bisa tumbuh besar dan mandiri.

"Ukuran keberhasilan dilihat dari berapa banyak pohon yang ditanam, bukan berapa banyak pohon yang tumbuh besar," sindir direktur majalah lingkungan, Jurnal Celebes ini.

Khusus di bantaran sungai, kata dia, nasibnya tak jauh beda dengan pohon-pohon lainnya yang ditaman karena program penghijauan. Kendati memang ada yang tumbuh, namun tak sedikit yang mati. Bahkan ada yang beberapa kali ditanami namun terus mati disebabkan tidak adanya perawatan.

Pemerintah, lanjut dia, khususnya Pemerintah Kota Makassar yang sedang membutuhkan kawasan ruang terbuka hijau (RTH) seluas 20 persen lagi dari total 30 persen yang dipersyaratkan oleh regulasi, sebetulnya bisa memanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai institusi partership dalam mendorong penghijauan yang efektif.

Oleh karena itu, lanjut Mustam, jika memang ingin serius membenahi RTH, maka perlu membentuk satu bagian khusus yang bertugas memelihara pohon-pohon yang telah ditanam. Jika itu tak mampu dilakukan, maka pemkot bisa menggunakan jasa pihak ketiga yang teknisnya bisa dibuatkan kesepatakan atau Memorandum of Understanding (MoU).

Sejauh ini, Dinas Pertamanan Kota Makassar, dinilainya tidak begitu maksimal dalam hal pemeliharaan pohon. Buktinya, pohon-pohon yang telah ditanam di bantaran sungai atau kanal, sejauh ini tak ada yang rawat melainkan haya ditanam lantas dibiarkan tumbuh sendiri.

"Dinas Pertamanan kesannya bukan melakukan pemeliharaan, namun justru hanya melakukan pemangkasan pohon-pohon besar. Yang dipikirkan, kira-kira berapa pohon yang bisa dipangkas, bukan kira-kira berapa pohon yang harus dipelihara," urai Mustam.

Sejalan dengan Mustam, anggota Komisi D DPRD Makassar, Stefanus Swardy Hiong, mengatakan, RTH di Kota Makassar memang minim karena tidak ada upaya maksimal yang dilakukan oleh pemkot. Kendati banyak diskusi yang digelar seolah-olah fokus pada pengembangan kawasan RTH, tetapi faktanya banyak fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) banyak yang hilang.

"Pemerintah tidak serius mengurusi fasum yang harusnya bisa dihijaukan, malah dilepas dan dibanguni oleh pihak lain. Jadi pemerintah itu kontraproduktif dan masyarakat tidak punya pegangan," ujar anggota Fraksi Makassar Bersatu tersebut. (***)

Adipura dan Ekpektasi Makassar

Pemkot Tak Fokus Benahi Lingkungan


MAKASSAR--Pemerintah Kota Makassar dinilai kurang serius dalam melakukan penataan lingkungan. Banyak masalah lingkungan yang seharusnya sudah diselesaikan, justru terkesan dibiarkan berlarut-larut. Hal ini yang menyebabkan Piala Adipura tak pernah lagi didapatkan Kota Makassar.

Anggota Fraksi Makassar Bersatu DPRD Makassar, Rahman, mengatakan, seharusnya kegagalan Makassar meraih Piala Adipura, sudah diketahui penyebabnya. Dengan begitu, masalah tersebut idealnya juga telah diselesaikan. Sayang, selama 15 tahun, Makassar tak pernah lagi mendapatkan Piala Adipura.

"Instansi-instansi terkait seharus bertanggung jawab karena pasti mereka sudah tahu apa saja yang harus dibenahi akibat kegagalan itu," ujar Rahman di ruang kerjanya Kantor DPRD Makassar, Senin, 22 Januari.

Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi persoalan utama sehingga Makassar selalu gagal mendapatkan Piala Adipura, di antaranya pengelolaan sampah, pasar tradisional, dan kanal atau drainase.

Penanganan sampah di Kota Makassar, masih jauh dari ideal. Masih banyak tempat yang sampahnya berserakan, bahkan saluran drainase dan kanal yang mestinya untuk menampung air, justru banyak digunakan untuk membuang sampah. Kendati masyarakat terlibat di dalamnya, namun pemerintah kota harus tegas.

"Ini bukan persoalan baru, jika memang ada keseriusan mendapatkan Piala Adipura, maka seharusnya instansi terkait fokus ke sana. Sampah misalnya, seharusnya sudah ada solusi, karena sejauh ini tidak pernah tuntas," ujar Rahman.

Karena tak adanya upaya serius tersebut, makanya jika ada penilian bahwa instansi terkait cenderung apatis, maka itu tak bisa disalahkan. Persoalan kesemrawutan pasar tradisional juga menyumbang rendahnya poin Makassar dalam penilaian Adipura. Pasar tradisional semkin jorok karena dari awal tidak ada penanganan yang efektif. Malah saat ini sudah mengambil badan jalan.
"Yang perlu dilakukan, galakkan sosiasliasi kebersihan. Infrastruktur juga harus dibenahi. Sadarkan masyarakat," tandas Rahman.

Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Makassar, Nelson Marnanse Kamisi, mengatakan, Piala Adipura memiliki banyak aspek yang dinilai. Menurutnya, tim di pemkot Makassar ini tidak diketahui apakah bekerja atau tidak dalam menutupi celah-celah sehingga Piala Adipura tak pernah lagi didapatkan sejak 1997.

"Kan ada poin yang direkomendasikan dan harus diperbaiki. Seharusnya itu yang dikerjakan. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam menjaga kebersihan itu juga masih rendah," ujarnya.

Ia mengatakan, sejauh ini sampah masih banyak berserakan dan bahkan di pasar-pasar tradisional menimbulkan kesaan tidak tertarur. Ia mengatakan, seharusnya ada penindakan bagi mereka yang membuang sampah sembarangan. Makanya, untuk hal itu, Satpol PP diminta menegakkan perda tentang kebersihan.

"Kalau Satpol PP hanya di kantor terus, tidak akan selesai. Kalau anggaran operasionalnya kurang, minta anggaran supaya saat pembahasan di dewan kita pertimbangkan," ujar Nelson.

Nelson melihat salah satu pemicu gagalnya Kota Makassar meraih Adipura adalah masalah drainase yang selain karena pendangkalan juga karena tidak terkoneksi. Di sisi lain, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), juga masih belum begitu memenuhi standar.

Selanjutnya, Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang juga menjadi salah satu penilaian, terkesan semakin menurun. Kebijakan pemerintah sangat penting untuk hal ini, terutama penegakan aturan bahwa setiap penerbitan IMB harus menyediakan 20 persen untuk RTH.

"Berikan kesadaran kesehatan lingkungan terhadap masyarakat. Lalu kuncinya adalah ciptakan Adipura dalam diri masing-masing," tandasnya. (***)

Memdamaikan Sunni dan Syiah

Bukan Saatnya Menonjolkan Perbedaan


Advisor to the President of the Republic of Iran for Ahlussunnah wal-Jamaah (Penasihat Presiden Iran untuk Ahlusunnah wal-Jamaah), Syeikh Maulawi Ishaq Madani, mengatakan, di sebagian negara Islam, kerap ada segelintir orang yang membawa bom di badannya kemudian masuk dalam masjid dan meledakkannya padahal banyak orang di dalam. Hal ini merupakan bentuk intoleransi bagi perbedaan, terutama perbedaan mahzab.

Tokoh Sunni Iran ini mengungkapkan, banyak umat Islam yang membuat tulisan atau buku yang membahas tentang kekafiran sesama muslim, tetapi sangat jarang ada yang menulis buku tentang bagaimana mengajak orang kafir masuk Islam. Selain itu, juga banyak orang Islam yang lebih memilih bermuamalah dengan nonmuslim ketimbang sesama muslim dan itu terjadi hanya karena perbedaan mahzab.

Syiah dan Sunni, kata dia, tidak seharusnya diperhadap-hadapkan karena jika saling mengalienasi, maka itu berarti mereka hanya mengaku mengikuti tokoh mahzabnya, namun sebagai pengikut palsu. Tokoh-tokoh Sunni dan Syiah, justru mengedepankan toleransi dalam memandang perbedaan, tidak mengklaim kebenaran sebagai milik kelompoknya sendiri saja.

"Caranya menyatukan Syiah dan Sunni itu mudah. Kita hanya perlu mengakui kebenaran yang dianut dan mengakui kebenaran yang lain," kata Maulawi dalam Semintar Internasional dengan tema Persatuan Umat Islam Dunia di Auditorium Al-Jibra Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Senin, 5 November 2012.

Ia menegaskan, perbedaan antara Syiah dan Sunni hanya pada metode, bukan tujuan. Tidak ada seorang umat pun yang tidak mau masuk surga dan mencari rida Allah. "Kita hormati dan mengapresiasi keyakinan setiap orang," imbuhnya.

Sementara itu President of High Council of the World Forum for Proximity of Islamic School of Thought, Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri, mengatakan, Islam memang sengaja dibuat lemah oleh negara-negara barat dalam bentuk yang beragam. Salah satunya dengan menggoyahkan persatuan mereka. Barat berkepentingan untuk mencabik-cabik dunia Islam.

Pada Abad XVII, cara untuk melemahkan Islam adalah dengan melakukan penjajahan. Mereka menjajah Islam kala itu dan negara pertama adalah Indonesia. Bahkan sampai pada Abad XX penjajahan semakin meluas di seluruh negara yang banyak berpenduduk umat Islamnya.

"Tujuan penjajahan, mengoyak Islam menjadi kecil, menjadikan mereka tidak berdaya, dan memisahkan agama dan kehidupan keseharian," katanya.

Deputy of Open University of the Islamic Republic of Iran, Dr Mazaheri, juga menegaskan, kekhawatiran kaum Sunni di Indonesia bahwa Syiah menghujat sahabat Rasulullah Saw selain Ali Bin Abi Thalib, itu tidak benar. Menurutnya, ada kelompok yang selalu menyebarkan fitnah mengenai pandangan Syiah, padahal sahabat Rasulullah juga dihormati oleh Syiah. Haram hukumnya mengkafirkan sahabat-sahabat Rasulullah.

"Syiah dituduh mengkafirkan sahabat, padahal memfasikkan sahabat itu haram hukumnya. Menghina sahabat menjadikan kita fasik," katanya. Di Iran, lanjut dia, Sunni memang minoritas. Namun Syiah tidak lantas menindas atau  mengkafirkannya. Menurutnya, semua mahzab di Iran mendapat ruang yang sama. Mereka semua ditampung dalam ruang yang sama.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin, mengatakan, sebetulnya persatuan Islam dunia sudah sering dan akan selalu dibicarakan. Namun friksi mahzab menjadi pelemah. Padahal, Islam memiliki kekuatan dan potensi besar. Setidaknya ada empat kekuatan besar Islam, yakni sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya nilai (SDN), dan sumber daya sejarah (SDS).

Pertama, dari sisi Sumber Daya Alam (SDM), Islam saat ini sangat kuat. Itu karena merupakan kelompok agama terbesar kedua setelah Kristen dengan populasi mencapai 1,6 miliar jiwa se-dunia.

Atlas dunia Islam bukan hanya dari Maroko ke Merauke (Indonesia), namun sekarang justru masuk ke Eropa dan Amerika. "Islam juga berkembang di negara-negara yang dulu tidak dikenal sebagai negara Islam," katanya.

Kedua, dari sisi Sumber Daya Alam (SDA), Indonesia merupakan negara Islam yang terbilang sangat kaya. Negara-negara Islam memiliki barang tambang yang sangat diperlukan dunia.

Ketiga, dari sisi Sumber Daya Nilai (SDN), Islam hadir dan bertujuan untuk menggerakkan hidup dan peradaban. Nilai-nilai Islam seperti kerja keras, disiplin, kasih sayang, memberi rahmat, membawa misi keadilan, mengangkat harkat manusia, menolong sesama, dan lainnya merupakan modal yang dimiliki. "Sayang itu bersembunyi di lembaran-lembaran Alquran," katanya.

Keempat alias yang terakhir, Sumber Daya Sejarah (SDS), Islam setidaknya mampu memberi motivasi bagi umatnya untuk maju. Islam pernah berjaya pada abad pertengahan, baik dalam ilmu pengetahuan, seni, sains, kedokteran, filsafat, dan lainnya. Masalah Sunni dan Syiah, seharusnya bukan hal yang bisa memecah, tetapi justru bisa saling menguatkan.

Alghazali misalnya lahir di Persia (Iran) namun kemudian menjadi Sunni padahal pernah tinggal di daerah Syiah. Din juga mengatakan, banyak karya-karya Syiah yang dipakai oleh Sunni. Betul Sunni secara politik menguasai, tetapi pengetahuan yang berkembang di dalamnya juga terdapat dari yang non-Sunni.

"Sayang kekuatan Islam tidak teraktualisasi dengan baik. Makanya ini yang menjadi kemunduran dunia Islam," urainya. Saat ini, lanjutnya, ada kecenderungan memutlakkan paham sehingga menganggap yang lain salah. Mestinya perbedaan tersebut kurangi dan persamaanlah yang diperkuat.

Koordinator Kopertais Wilayah VIII (Sekretaris MUI Sulsel), Prof Dr HM Galib MA, mengatakan, seharusnya perbedaan tidak boleh dipaksakan. Tafsir terhadap teks baik ayat suci maupun hadis, tidak bisa dipaksakan diterima oleh kelompok di luar dari diri kita. Yang bisa memahami tepat isi Alquran hanya Allah sendiri. Demikian juga hadis, hanya bisa dipahami betul isinya oleh Muhammad.

Mantan Ketua PBNU, Prof Dr Hasyim Muzadi MA, menggambarkan, dua ideologi yang bersaing di dunia ini sebetulnya sudah runtuh. Namun yang paling pertama runtuh adalah Komunisme Soviet. Demikian halnya Kapitalisme, juga sebetulnya telah runtuh di barat. "Clash Civilization bukan karena benturan peradaban, tetapi karena kepentingan. Islam dilemahkan, misalnya Afghanistan dan Irak diserang. Mirisnya karena mereka diserang dari pangkalan negara-negara Islam sendiri," katanya.

Motif ekonomi, para Hasyim, menjadi alasan negara Islam begitu ingin dikuasai. Kelemahan Islam di dunia karena politik dijalankan tidak lagi al-amanah dan assidiq, namun justru berubah menjadi politik transaksional. Karena itu, jika ingin menguatkan Islam, maka perjuangan tidak boleh hanya dilakukan di tepi jalan, tetapi masuk di semua sektor, misalnya ekonomi, pendidikan, hukum, budaya, dan lainnya.

Ketua MUI, Prof Umar Shihab, mengatakan, sangat beda antara perbedaan dan perselisihan. Sunni dan Syiah bukannya berselisih tetapi berbeda. Sunni dan Syah tidak harus dipertentangkan.

"Seharusnya itu menyatukan kita, jangan diperbesar-besarkan. Jangan membuat ulah yang seolah-olah kedua kelompok besar ini bermusuhan. Syiah adalah mahzab yang benar," katanya.

Rektor UMI, Prof Dr Masrurah, mengatakan, UMI menjadi mediator dalam upaya penyatuan umat Islam dunia. Menurutnya, masing-masing negara memiliki kelompok ekstrem masing-masing, tidak ada yang mengalah dan menganggap diri paling benar. Makanya, seminar digelar mendiskusikannya di Indonesia.

"Kita ingin merumuskan etika-etika dengan seminar ini. Kita berharap Islam bisa bersatu," katanya.

Kegiatan ini juga bertujuan untuk mencari agar umat Islam dapat menerima keyakinan orang lain dan menghargainya. Hendaknya mereka senantiasa mencari persamaan, selalu bersatu, dan membentuk kekuatan untuk melawan yang ingin menghancurkan Islam.

Persatuan Islam, kata dia, bukan dalam bentuk negara yang satu, tetapi sesama muslim bekerja sama untuk mendapatkan kekuatan di masa datang. Mereka harus bahu-membahu menghadapi konspirasi yang ingin melemahkan dan menghancurkan Islam. "Kita tidak bisa menghadapi musuh secara orang per orang. Di sinilah betapa pentingnya kebersamaan seluruh kaum muslim," imbuh Masrurah.

Wakil Meneteri Agama RI, Prof Nasaruddin Umar, yang hadir membuka kegiatan ini, mengatakan, mestinya perbedaan di kalangan umat Islam tidak lagi dibesar-besarkan jika ingin menguatkan Islam. Mestinya ada saling memahami antar berbagai aliran keislaman. Ia mencontohkan Piagam Madinah pada masa Rasulullah Saw sempat dibahas krusial dan alot sebelum akhirnya disepakati.

"Dalam memperjuangkan sebuah kebaikan, maka itu pasti akan melewati tahapan-tahapan dan proses. Sekarang ini sudah bukan saatnya kita saling menyalahkan. Kalau ada orang yang menyalahkan orang lain, maka orang itu perlu belajar," katanya.

Nasaruddin mengatakan, orang yang arif tidak pernah mencari kambing hitam, tetapi mencari jalan keluar dari sebuah masalah tanpa membuat repot orang lain.

Hanya saja, seminar internasional ini sempat dikritik karena saat berlangsung, peserta mendapatkan selebaran yang diedarkan yang menghujat Syiah. Selebaran tersebut disebarkan oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Perwakilan Indonesia Timur, HM Said Abdul Shamad. Selebaran berjudul Solusi Menghadapi Syiah tersebut berisi beberapa poin yang menjelaskan langkah-langkah menghadapi gerakannya.

Namun Sekretaris Panitia Pelaksana Seminar Internasional, Dr HM Ishak Shamad, membantah bahwa selebaran itu atas izinnya. Ia menegaskan, dirinya tidak tahu-menahu mengenai selebaran itu, namun disebarkan oleh peserta yang datang mengikuti seminar tersebut. 
(***)

Tujuh Rekomendasi Seminar Persatuan Islam Dunia

Seminar menghasilkan tujuh rekomendasi yang ditandatangani masing-masing Wamenag RI, Nasaruddin Umar; President of High Council of the World Forum for Proximity of Islamic Shool of Thought, Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri; Advisor to the President of the Republic of Iran for Ahlussunnah wal-Jamaah, Syeikh Maulawi Ishaq Madani, Deputy of Open University of the Islamic Republic of Iran, Dr Mazaheri; Ketua MUI, Prof Dr KH Umar Shihab, MA; Ketum PP Muhammadiyah Prof Dr KH Din Syamsuddin, MA; Presiden Ikatan Cendekiawan Muslim se-Dunia, Prof Dr KH Hasyim Muzadi, MA, Koordinator Kopertais Wilayah VIII, Prof Dr HM Ghalib MA; Ketua Yayasan Badan Wakaf UMI, H H Mochtar Noorjaya, Rektor UMI, Prof Dr Hj Masrurah Mochtar. Rekomendasi tersebut, yaitu:

1. Umat Islam di pelbagai belahan dunia dengan penuh kesadaran terus membangun dan menjaga persaudaraan sesama umat Islam dengan menampilkan Islam yang damai dan penuh kasih sayang.

2. Umat Islam yang realitasnya terdiri atas penganut beberapa mahzab, hendaknya bisa menjadikan perbedaan mahzab sebagai bukan sebagai kendala atau hambatan untuk membangun ukwuhah Islamiyah dan kerja sama dalam berbagai kegiatan keduniaan dan keagamaan.

3. Merujuk pada Deklarasi Amman, yang dideklarasikan bersama oleh 200 ulama dan dihadiri leboh dari 50 negara yang dikukuhkan kembali dengan pernyataan bersama lebih dari 500 ulama dan cendekiawan Islam dari seluruh dunia, yang menyatakan bahwa, siapa pun penganut dari empat mahzab hukum Islam Sunny: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, dua mahzab hukum Syiah: Jafari dan Saiidi, mahzab hukum Islam Zahiri, adalah seorang muslim. Maka hendaknya orang Islam dengan mahzab-mahzab yang disebutkan di atas, semakin memperkuat ukhuwah Islamiyah untuk menunjukkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

4. Umat Islam Indonesia dari berbagai mahzab, hendaknya dapat menjadi model bagi umat Islam dunia yang dapat saling menerima untuk saling berdampingan dalam ikatan  persaudaraan yang kuat.

5. Ormas dan lembaga Islam serta para dai, mubalig dan cendekiawan muslim agar mengambil peran aktif untk selalu mengupayakan kokohnya persaudaraan Islam dan menghindari dakwah yang berakibat lemahnya ukhuwah Islamiyah.

6. Pemerintah diharapkan ikut serta menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya persaudaraan berbagai penganut mahzab dalam Islam dan persaudaraan sesama pemeluk agama.

7. Perbedaan dikalangan umat Islam hendaknya disikapi dengan mendahulukan etika dan ahlaqulkarimah demi kemaslahatan umat. (***)