Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Kamis, 07 April 2011

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan

TANGGA SERIBU. Salah satu tantangan bagi petualang gua adalah tangga seribu undakan yang harus dilewati sebelum akhirnya sampai di Gua Sumpang Bita. (Foto: Ridwan Marzuki)

ARTEFAK PURBA. Lukisan di batu bagian belakang adalah saksi peninggalan manusia nomaden yang telah mengenal seni melukis. Selan gambar tangan juga terdapat lukisan rusa. (Foto: Ridwan Marzuki)

PENINGGALAN PRASEJARAH. Gua Kumis Kucing, salah satu kawasan yang dijadikan perlidungan kaum nomaden Sulawesi. Gua ini masih dalam kawasan Sumpang Bita. (Foto: Ridwan Marzuki)

PENJAGA SITUS. Jabbar (kiri pakai topi) selalu siap menemani pengunjung Sumpang Bita. Kendati sudah paruh baya, namun banyak orang yang kalah kuat olehnya saat mendaki jalan berundak. (Foto: Ridwan Marzuki)

BEBATUAN ORNAMEN. Di celah batu inilah terdapat sumber mata air yang sangat jernih. (Foto: Ridwan Marzuki)

KOLAM RENANG. Air yang keluar dari celah bebatuan ditampung sehingga membentuk kolam renang. Konon, air yang keluar dari celah bebatuan tersebut steril sehingga bisa langsung diminum. (Foto: Ridwan Marzuki)

Saksi Peradaban Lampau di Sulsel
Oleh Ridwan Marzuki

BAGI kalangan yang bergelut dengan antrpologi dan arkeologi, nama Sumpang Bita, tentu saja tidak asing lagi bagi mereka. Kalangan inilah yang dominan mendatangi tempat ini, khususnya untuk sampai ke titik paling tertinggi tempat tersebut, yakni Gua Sumpang Bita. Tentu saja, masyarakat lainnya juga kerap mendatangi tempat bersejarah ini.

    Namun dibandingkan masyarakat biasa, peneliti erkeologi mendatangi tempat ini untuk melakukan riset dan pendalaman terhadap saksi masa lampau tersebut. Kebanyakan masyarakat yang ke sana hanya sekedar mengagumi artefak-artefak yang ada di dalam gua. Itu pun jika mereka sampai ke atas, yakni di gua. Karena antara lembah sebagai gerbang awal Sumpang Bita dengan gua, jaraknya mencapai hingga 1.000 meter. Jarak yang tentu saja sangat menantang bagi petualang alam dan pecinta arkeologi.

    Nama Sumpang Bita sebetulnya jika ditelisik, memang awalnya hanya sebutan untuk sebuah gua. Namun jangan salah, justru karena gua tersebut tidak sama seperti gua-gua pada umumnya serta memiliki keunikan, sehingga begitu menarik. Sebutan untuk gua tersebut selanjutnya dijadikan nama untuk seluruh area yang masuk ke dalam kawasannya. Lokasi tersebut dinamakan Taman Purbakala Sumpang Bita.

     Sumpang Bita saat ini memang sudah dilindungi. Itu karena memiliki gua yang menyimpan saksi dan bukti-bukti peradaban manusia saat masih nomaden alias belum memiliki rumah. Gua Sumpang Bita dijadikan sebagai rumah masyarakat yang diduga masih pra sejarah. Bukti-bukti tentang itu bisa dijumpai di dalam gua tersebut. Adanya  fragmen-fragmen memang menguatkan jika dulu kawasan ini merupakan area perlindungan bagi kaum nomad tersebut.

    Fragmen tersebut selanjutnya menjadi petunjuk bahwa manusia pada saat itu juga sudah memiliki peradaban dan budaya terutama dalam hal penuangan deskripsi indrawi ke dalam asosiasi atau media. Mereka telah mampu menuangkan realitas yang terlihat menjadi sesuatu yang bernilai seni, yakni membuat lukisan. Bahkan, mereka juga sudah mampu mendeskripsikan bagian-bagian tubuhnya ke dalam fragmentaris tadi, yakni aneka jenis lukisan.

    Di dinding gua, memang terdapat aneka lukisan yang bernlai sejarah. Peneliti menduga jika lukisan-lukisan tersebut dibuat oleh sekolompok orang atu suku yang belum memiliki tempat tinggal menetap. Makanya, gua dijadikan sebagai tempat tinggal. Aneka jenis lukisan hewan dan bagian tubuh manusia, termasuk peralatan lain masih bisa disaksikan di dinding gua yang telah dipagari sekelilingnya tersebut.

    Hal itu dilakukan untuk menghindari pengunjung yang datang menyentuh lukisan-lukisan historis tersebut. Lukisan di dominasi gambar tangan berbagai ukuran, mulai tangan anak-anak hingga tangan orang dewasa. Jumlahnya mencapai puluhan lukisan. Lalu ada juga lukisan hewan seperti babi dan rusa. Namun ada juga yang menyebutkan selain babi lukisan hewan tersebut adalah babi rusa, yakni jenis rusa yang perutnya menyerupai babi. Ada juga lukisan perahu. Mayoritas lukisan berwarna merah.

    "Hasil penelitian ada yang menyebutkan bahwa bahan dasar pembuat lukisan diambil dari bahan-bahan alami," ujar Jabbar, salah seorang petugas dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar saat penulis berkunjung ke Sumpang Bita, Rabu, 30 Maret lalu.

    Untuk sampai ke Sumpang Bita, tidaklah begitu sulit. Dari Pangkajene, Ibu Kota Kabupaten Pangkep, pengungjung hanya butuh waktu kurang lebih setengah jam menggunakan mobil sebelum akhirnya sampai di Kelurahan Balocci Baru Kecamatan Balocci. Jarak dari Pangkejene ke Balocci Baru hanya sekitar 20-an kilo meter. Untuk sampai ke kawasan Sumpang Bita, setidaknya harus menempuh jarak lagi kurang lebih dua sampai tiga kilo meter perjalanan.

    Tiba di gerbang masuk Sumpang Bita, sudah ada petugas loket yang menyapa. Namanya Sudirman berusia 37 tahun. Honorer yang telah mengabdi sejak 1995 ini dengan ramah menyapa pengunjung yang datang. Sudirman bertugas sebagai kolektor retribusi masuk ke kawasan tersebut. Ia menjelaskan untuk orang dewasa, tarif yang harus dibayar Rp 2.000 sedangkan untuk anak-anak hanya Rp 1.000. Angka yang tentu saja murah untuk ukuran sebuah objek wisata.

    Sudirman menempati pos khusus di bagian kiri gerbang masuk taman. Selain memungut retribusi, juga terdapat buku tamu yang harus diisi semua pengunjung yang datang. Kami yang kebetulan rombongan menggunakan mobil, dipersilahkan masuk ke dalam tanpa harus parkir di luar sebagaimana lazimnya jika ada pengunjung datang.     "Khusus untuk tamu yang telah mendapat rekomendasi dari pemerintah, mobilnya bisa masuk. Namun hanya mobil kecil dengan penumpang terbatas yang dibolehkan," ujar Jabbar, lelaki yang telah berusia 44 tahun tersebut.

    Jabbar menuturkan, Sumpang Bita ramai dikunjungi oleh tetamu baik dari dalam negeri sendiri maupun dari luar Indonesia. Sering kali, kata dia, ada orang asing yang datang. Khusus untuk tamu seperti, kata dia, maka yang melayani dan menjadi guide-nya adalah petugas dari BP3 Makassar yang fasih berbahasa Inggris. Jabbar mengaku tak menguasai bahasa internasional tersebut. "Selama saya bertugas di sini sejak 1985, belum ada perubahan berarti pada lukisannya. Masih bertahan begitu," katanya.

    Bagi anda yang penasaran ingin melihat langsung artefak fragmen dan artefak, tak ada salahnya mengunjungi gua tersebut. Mulut Gua Sumpang Bita lebarnya mencapai 15 meter, sedangkan panjangnya antara 30 sampai 50 meter. Memiliki beberapa rongga di dalamnya. Sekira tiga meter dari mulut gua, terdapat lagi dua cabang gua yang lainnya. (zuk)

DARI BAWAH. Lembah menuju Gua Sumpang Bita (Foto: Ridwan Marzuki)

SISA STALAKTIK. Masih ada sisa stalaktik di Gua Sumpang Bita sebagai lokasi ditemukannya sejumlah artefak masa purba. (Foto: Ridwan Marzuki)
Masih Ada Sisa Stalaktik di Sumpang Bita

KEBERADAAN Cagar Budaya Sumpang Bita rupanya tidak diketahui semua oleh masyarakat Pangkep, khususnya generasi mudanya. Walau sebagian mengaku pernah mendengarnya, namun untuk mengunjungi lokasi tersebut, hanya beberapa saja yang mengaku pernah ke sana. Kalau pun datang ke Sumpang Bita, kebanyakan tidak sampai ke gua.

    Seperti yang diungkapkan salah seorang pemuda Pangkajene, Mujahidin, saat menemanipenulis  ke Sumpang Bita. Pemuda usia 25 tahun ini mengakui jika sebelumnya ia sudah pernah berkunjung ke tempat itu. Hanya saja, ia tidak sampai di gua, melainkan hanya di bagian lembah. Gua Sumpang Bita memang berada di bebukitan. Setidaknya, ada beberapa bukit yang dilalui sebelum akhirnya sampai di gua tersebut.
    "Ini pertama kali saya sampai di gua ini. Sebelumnya jika ke sini, hanya di bawah (maksudnya di lembah, red)" ujar Mujahidin yang akrab disapa Yoga tersebut sesaat setelah tiba di Gua Sumpang Bita, Kamis, 31 Maret lalu.

    Yoga mengaku takjub dengan kondisi gua yang dikelilingi aneka lukisan yang dibuat manusia nomad itu. Tak henti-hentinya ia mengagumi setiap lukisan yang diamatinya. Ia mengaku terkesima karena lukisan tersebut menurutnya unik dan baru kali ini sempat melihatnya. Pemuda yang beralamat di Jalan Penghibur Kelurahan Mappasaile Kecamatan Pangkajene ini menyebut Gua Sumpang Bita sangat indah apalagi masih ada sisa stalaktik di sana. Bahkan, masih ada beberapa titik terlihat stalaktik yang masih hidup.

    Pengakuan senada juga diutarakan Ismail Gau. Pemuda usia 24 tahun asal Kelurahan Bowongcindea Kecamatan Bungoro tersebut memuji keindahan Gua Sumpang Bita. Di dalam gua tersebut, ia masih bisa menyaksikan lukisan kaum nomad yang sangat langka itu. Kendati di bagian luar gua tidak ada lagi lukisan yang terlihat, namun di bagian dalam masih banyak. Jumlahnya mencapai 70-an lukisan. Namun dominan lukisan tangan berbagai ukuran, perahu, rusa, babi, dan beberapa lainnya.

    Memang, terbilang sulit untuk mencapai Gua Sumpang Bita. Butuh waktu kira-kira satu jam untuk sampai ke gua. Jalanan yang mendaki menjadi tantangan tersendiri bagi yang ingin ke sana. Namun itu bukan masalah. Indahnya pepohonan serta syahdunya suara alam, menjadi hiburan tersendiri menemani perjalanan pengunjung. Dari atas bukit, Anda dapat menyaksikan indahnya pemandangan alam di bawahnya.

    Petugas Karcis Sumpang Bita, Sudarman, 37 tahun, menjelaskan jika akhir-akhir ini pengunjung mulai berkurang. Menurutnya, lokasi ini hanya ramai dikunjungi saat hari raya dan hari besar, seperti Minggu, menjelang Ramadan, dan sesudah hari-hari besar keagamaan. "Tetapi setiap hari ada pengunjung yang datang kendati tak banyak," katanya. (zuk)
BERSUSUN. Kolam renang di Sumpang Bita dibuat berundak. (Foto: Ridwan Marzuki)

JERNIH. Air dari celah bebatuan begitu jernih dan sangat menyegarkan bagi yang ingin mandi atau berenang. (Foto: Ridwan Marzuki)
Kolam Indah Langsung dari Mata Air

BERKUNJUNG ke Taman Purbakala Sumpang Bita Kelurahan Balocci Baru Kecamatan Balocci, Pangkep memberikan pengalaman tersendiri. Maklum lokasi intinya yang berada di atas bebukitan, membutuhkan perjuangan tersendiri untuk mencapainya.

    Selain karena memiliki dua gua yang memiliki peninggalan manusia nomad masa lampau, di kawasan ini juga terdapat satu sumber mata air yang terbilang besar. Mata air tersebut selanjutnya tertampung di dalam kolam yang dibuat berundak alias bersusun. Uniknya, sumber mata air berasal dari celah bebatuan yang ada di bukit tersebut. Air seolah-olah keluar dari batu. Air yang keluar dari sana sangat jernih.

    Bagi yang ingin merasakan sejuknya air yang keluar dari celahan batu tersebut, tak ada salahnya jika mencoba berenang atau sekedar mandi. Ada dua kolam utama sebagai muara dari aliran air yang telah keluar dari bebatuan. Kolam yang berada di bawah relatif lebih dangkal dibandingkan yang di atas. Kolam yang di bawah kedalamannya sekira semeter dan yang di atas mencapai lebih semeter. Berenang atau mandi di air yang sejuk dan sejernih itu tentu saja sangat menarik.

    Penjaga Sumpang Bita dari BP3 Makassar, Jabbar, mengatakan, setiap pengunjung yang ingin merasakan kesejukan air yang keluar dari celah bukit tersebut, bisa mandi atau bahkan berenang. Tidak ada larangan, kata dia. Yang tidak boleh adalah mandi tepat di sumber mata air karena dikhawatirkan akan "mengganggu" kondisinya. Apalagi di sumber mata air tersebut, dijadikan sebagai sumber air minum bagi sebagian warga di sekitar lokasi Sumpang Bita.

    "Silahkan mandi sepuasanya, yang penting jangan di sana," ujar Jabbar, seraya menunjuk ke arah sumber mata air. Lokasi tempat keluarnya air tersebut memang dipasangi alat pelindung khusus yakni pagar yang bisa dibuka pasang.

    Bagi yang ingin menikmati shower secara alami, bisa melakukannya di bagian pinggir kolam yang bertingkat tersebut. Di sana, terdapat tujuh buah pipa yang menjulur keluar. Setiap pipa dialiri air. Siapa pun bisa mandi shower di bawahnya. Bisa di atas atau di bawah. Pipa-pipa air tersebut memang sengaja dibuat untuk pengunjung yang ingin mandi shower.

    Kehadiran mata air beserta kolam permandian di kawasan ini, menjadi tujuan alternatif. Seolah-olah ingin menjawab rasa capai setelah berjalan kaki, kolam tersebut terasa oase pasca mengelilingi setiap lekuk Sumpang Bita. Setelah mandi di tempat tersebut, pengunjung akan merasakan semangat baru dan kesegaran yang begitu nikmat. Makanya, kebanyakan pengunjung yang sampai di titik ini, jika tidak mandi, setidaknya akan memilih untuk membasuh muka untuk merasakan sejuknya air jernih nan alami tersebut. (zuk)
TANGGA SERIBU. Dari sinilah pengunjung memulai perjalanan untuk sampai ke Gua Sumpang Bita. Mesti melewati "seribu" anak tangga sebelum sampai. (Foto: Ridwan Marzuki)

BUTUH PERJUANGAN. Untuk sampai ke Gua Sumpang Bita, butuh tenaga ekstra menyusuri Tangga Seribu. Namun itu bukan masalah bagi yang terbiasa berpetualang. (Foto: Ridwan Marzuki)


Tantangan Tangga "Seribu"

BERBEDA saat belum dijadikan kawasan peninggalan purbakala, kondisi jalan menuju Gua Sumpang Bita saat ini relatif sudah bagus. Kendati harus menempuh perjalanan kaki sekira satu kilometer untuk sampai ke mulut gua, namun jalanan menuju ke sana terbilang "mulus".
  
Tak perlu lagi melewati semak belukar dan menebang pohon untuk samapi ke sana. Saat ini untuk menjangkau gua, cukup melewati jalan berundak atau tangga yang telah dibuat lebih rapi. Sudah ada anak-anak tangga yang jumlahnya tak terhitung menuju mulut gua. Anak tangga tersebut seluruhnya terbuat dari tembok. Hanya perlu menyiapkan sedikit energi untuk melewatinya.
  
Orang-orang yang sering ke sana kerap menyebut tangga yang tak berbilang tersebut dengan istilah "tangga    seribu". Jumlahnya yang begitu banyak dan berkelok-kelok membuat tangga tersebut seolah-olah tak diketahui berapa jumlahanya. Yang pasti, menelusuri tangga tersebut memberi kesan tersendiri. Pasalnya alam indah Sumpang Bita justru lebih bagus terlihat dari tanngga tersebut.

    Semakin jauh ke atas menelusuri tangga, maka semakin indah pemandangan dan lansekap alam yang terlihat di bawah. Namun jangan takut akan merasa kelelahan. Pengelola Kawasan Taman Purbakala Sumpang Bita seolah-olah telah mengerti hal itu. Makanya di banyak titik sudut tangga, terdapat gazebo-gazebo sederhana yang bisa dijadikan tempat mengaso pengunjung saat melakukan perjalanan menuju gua.

    "Jarak antara satu gazebo ke gazebo lainnya tidak teratur. Penempatannya disesuaikan di tempat-tempat di mana pengunjung sudah merasa capai," ujar Jabbar, penjaga sekaligus guide di Sumpang Bita. Jabbar merupakan PNS di BP3 Makassar.

    Gazebo-gazebo tersebut di bangun di sisi "tangga seribu" tersebut. "Gazebonya sudah ada. Tetapi mungkin lebih bagus jika dibuat lebih menarik lagi," ujar Rusdi Ma'ruf, salah seorang PNS pada Dinas Pariwisata Kabupaten Pangkep yang turut ikut pada perjalanan penulis menyusuri Sumpang Bita, Kamis, 31 Maret. (zuk)

MENIKMATI EKSOTISME KAWASAN LEANG LONRONG

Mengunjungi Objek Wisata Gua Leang Lonrong
*Ada Kolam Khusus, Airnya Langsung dari Celah Batu



LANSEKAP INDAH. Inilah pemandangan alam menuju gua Leang Lonrong, lokasi ekpedisi nan eksotis dan menantang. (Ridwan Marzuki)

SEKALI waktu cobalah rasakan kesejukan di Leang Lonrong. Objek wisata gua, sungai, dan bendungan yang memukau. Konon Leang Lonrong merupakan gua terpanjang di Pangkep.


RIDWAN MARZUKI, Minasate'ne

PERJALANAN menuju Leang Lonrong kami lakukan siang hari, Rabu, 6 April. Saat itu mentari sedang menyengat hebat akibat teriknya. Namun tak apalah menurut kami, karena pada saat itu rombongan menggunakan mobil. Perjalan tentu saja tak begitu melelahkan pikir kami saat itu.

    Dari arah ibu kota Kabupaten Pangkep, yakni Pangkejene, kami memulai perjalanan. Sekira setengah jam perjalanan, kami akhirnya tiba pada sebuah lembah yang begitu luas. Jalanan beraspal mentok di bibir lembah. Mobil tak bisa lagi melewatinya karena terdapat bebatuan berukuran besar plus sejumlah rawa-rawa di lembah tersebut. Ada juga hutan-hutan mini di sekitar lembah.

    Rupanya kami sudah sampai pada kawasan Gua Leang Lonrong. Namun titik tujuan yang akan kamu kunjungi ternyata masih berada di seberang bukit. Memang, untuk sampai ke gua Leang Lonrong tidak ada pilihan lain selain berjalan kaki. Jalan yang kecil, sempit, dan meyusup dicelah bebatuan plus menyeberangi sungai-sungai kecil adalah tantangan tersendiri untuk sampai ke gua. Makanya, sebagian besar rombongan yang mengenakan sepatu, terpaksa melepas dan memilih menjinjingnya.

    Namun bagi kami, itu bukanlah rintangan berarti melainkan sebuah kontruksi alam yang memang sangat cocok bagi petualang. Tak terasa, jarak dari ujung jalanan beraspal ke gua Leang Lonrong yang mencapai 1.000 meter, akhirnya bisa kami lalui. Kami tiba di gua Leang Lonrong dengan kondisi alam yang begitu sejuk dan teduh. Aliran air dari dalam gua yang membentuk sungai menjadi musik alami tersendiri yang membawa pesan ketentraman.

    Kondisi ritmis aliran air plus ornamen-ornamen bebatuan dan eks skalaktik di bibir gua seolah-olah ingin menjadi jawaban rasa penasaran kami. Sedikit capai yang dirasakan saat dalam perjalanan tadi seketika sirna. Apalagi tepat di depan mulut gua, terdapat kolam renang yang airnya berasal dari dalam gua. Suasana begitu sejuk terasa dan beberapa orang lebih memilih untuk berenang. Yang lainnya hanya mencuci muka dan sebagian lagi langsung memasuki gua.

    Namun untuk memasuki gua Leang Lonrong, mesti berhati-hati. Aliran air yang ada di dasarnya membuat beberapa sisi bebatuan yang menjadi lantai gua, ada yang licin. Konstruski gua begitu menarik. Bebatuan berbentuk ornamen laksana hasil pahatan. Juga masih terdapat tetesan-tetesan air jernih dari atas yang berbentuk stalaktik.

    Saya mencoba menelusuri gua lebih ke dalam lagi. Sayang alat penerangan tidak begitu mendukung. Hanya sekitar 10 meter dari mulut gua, air di dasar gua semakin dalam. Mulanya hanya sebatas mata kaki lalu sampai ke lutut, dan semakin naik ke paha. Saya yang memakai celana jins harus merelakannya basah karena mencoba menyusuri gua secara manual.



AIR GUNUNG. Inilah sungai yang airnya keluar dari gua. Air ini begitu segar jika Anda ingin berenang. Tampak juga gezebo yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan pengunjung Leang Lonrong. (Ridwan Marzuki)


    "Gua itu sangat panjang, belum ada yang bisa menghitung panjangnya. Semakin jauh ke dalam, airnya semakin dalam juga," ujar Haris Gani, salah seorang warga Pangkajene yang ikut dalam rombongan. Haris yang juga Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pangkep itu, mengaku pernah melakukan ekspedisi ke dalam gua beberapa tahun silam. Namun semakin ke dalam, gua semakin gelap dan airnya semakin dalam. Butuh alat yang memadai sebelum melakukan ekspedisi ke gua Leang Lonrong, katanya. Selain itu, tentu saja, alat penerangan juga tak kalah pentingnya.       

  Leang Lonrong, merupakan wisata permandian alam dan petualangan. Dikatakan begitu, karena aliran air yang keluar dari dalam gua dibuatkan bendungan. Belum lagi kolam renang yang begitu menyegarkan setiap orang yang berenang di dalamnya. Kolam renang yang airnya menggunakan aliran dari dalam gua juga terbilang tidak begitu dalam. Kedalamannya antara paha hingga bahu orang dewasa. Sangat cocok bagi pemula yang ingin berenang atau sekadar mandi-mandi.

    Salah seorang pengunjung Leang Lonrong, Edi, mengaku sangat menikmati pikniknya di lokasi tersebut. Leang Lonrong menurut pemuda berumur 19 tahun tersebut, sangat indah karena dikelilingi oleh gunung-gunung berbatu yang tinggi sehingga kawasan Leang Lonrong seolah-olah berada di lembah. Sekilas, tampak seperti berada di alam yang belum terjamah sama sekali.

     Karyawan swasta di Makassar, ini mengatakan, setiap kali ke Leong Lonrong, tak bisa menahan diri untuk tidak berenang. "Bagus sekali berenang di sini karena airnya sangat sejuk," ujar pria yang beralamat di Asrama Haji Sudiang, Makassar ini. Ia memang sengaja datang dari Makassar dan mengunjungi Leang Lonrong bersama rekan-rekannya, salah satu tujuannya karena ingin berenang.

    Bagi yang ingin beristirahat pasca ekspedisi gua dan berenang atau sekedar menyusuri lembah hutan mini di sekitar gua Leang Lonrong, jangan khawatir. Di sekitar mulut gua, terdapat gazebo yang bisa digunakan untuk melepas penat atau sekedar menikmati bekal yang dibawa. Sebagian pengunjung memang memilih membawa bekal makanan, setidaknya makanan ringan untuk menghindari rasa lapar menyerang pasca beraktivitas di kawasan ini.

    Setidaknya ada dua zasebo permanen yang telah dibangun di lokasi tersebut. Kondisinya sangat nyaman digunakan beristirahat atau sekedar tempat mengganti pakaian sehabis berenang. Gazebo dikelilingi oleh tempat duduk plus meja. Selain itu, ada juga gazebo non permanen yang terbuat dari bambu dan kayu. Namun khusus gazebo sederhana ini, biasanya digunakan berjualan oleh pedagang kaki lima, khususnya pada musim-musim padat pengunjung, misalnya hari raya dan akhir pekan.

    Kami juga bertemu dengan Daud, penjaga bendungan Leang Lonrong. Pria paruh baya ini menceritakan, belum ada seorang pun yang mampu samapi ke ujung gua saat melakukan ekspedisi. Makanya ia mengatakan, hingga saat ini belum ada yang bisa memprediksi panjang gua. Setiap orang yang mencoba melakukan ekspedisi ke dalam, tak ada yang bisa sampai ke ujungnya.

    "Dulu ada orang asing melakukan ekspedisi ke dalam gua Leang Lonrong. Mereka masuk jam 08.00 pagi dan keluar jam 09.00 malam tetapi belum sampai di ujung  gua," ujarnya. Menurutnya, orang asing atau turis tersebut membawa peralatan modern khusus untuk ekpedisi gua, salah satunya adalah tabung oksigen dan perahu karet. Namun setelah melakukannya, mereka juga tak mampu sampai. "Biasanya Sabtu dan Minggu banyak pengunjung yang datang ke sini, Pak," imbuh Daud.

    Secara administratif, Leang Lonrong berada di Desa Panaikang Kecamatan Minasate'ne. Hanya saja, beberapa kalangan mengkhawatirkan air yang keluar dari gua akan tercemar limbah karena di seberang gunung, yang menjadi kawasan gua, terdapat pabrik marmer. Kekhawatiran tersebut beralasan karena air yang keluar dari gua bernilai sangat vital bagi warga sekitar Leang Lonrong. Selain untuk persawahan mereka juga menggunakannya untuk peternakan semisal budidaya ikan, termasuk digunakan untuk minum.

    Untuk masuk ke kawasan Leang Lonrong, tidak begitu mahal dan sangat terjangkau. Tarif yang dikenakan untuk setiap pengungjung hanya Rp 1.500 untuk dewasa dan Rp 1.000 untuk anak-anak. Pelaksana tugas (plt) Kepala Desa Panaikang, Abd Asiz, mengatakan, salah satu kendala promosi Leang Lonrong karena jalanan menuju gua masih kurang bagus dan belum bisa dijangkau oleh alat transportasi sehingga pengungjung jika ingin ke sana harus berjalan kaki.   

"Jalanannya yang masih kurang bagus. Tetapi yang saya dengar pemprov sudah akan membangunnya. Dinas Pariwisata juga sudah pernah datang, mungkin berencana untuk mengembankannya," ujarnya.

    Leang sendiri dalam bahasa setempat diartikan sebagai gua. Lalu Lonrong diartikan sebagai arus air yang keluar dari gua. Makanya Leang Lonrong diartikan gua yang mengeluarkan air deras. Air yang keluar pun volumenya konstan alias tidak pernah berubah kendati musim kemarau telah tiba. Anda ingin mencoba ekspedisi?
(ridwanmarzuki@gmail.com)
GUA TERPANJANG. Kondisi di dalam  yang berdekatan dengan bibir gua. Air yang deras serta ornamen gua menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. (Ridwan MarzukI)