Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Rabu, 28 April 2010

Unjuk Rasa Protes Pelayanan Cardiac Centre

****/FAJAR
JANTUNG. Aksi pengunjuk rasa di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Selasa, 27 April.




MAKASSAR -- Puluhan orang berunjuk rasa di Rumah Sakit (RS) Wahidin Sudirohusodo (WS), Selasa, 27 April. Pengunjuk rasa mengecam pelayanan di rumah sakit milik pemerintah itu lantaran dianggap sewenang-wenang dan memberatkan pasien, khususnya di Cardiac Centre.

    Pengunjuk rasa mengungkap, pelayanan di Cardiac Centre tidak memihak kepada hak-hak pasien. Di antaranya pasien tidak diberi kewenangan untuk memilih dan menentukan dokter spesialis jantung.

    "Pasien minta dokter yang menanganinya diganti sesuai dengan keinginannya, tetapi dokter marah-marah," kata juru bicara pengunjuk rasa bernama Samsul Bahri.

    Selain itu, pengunjuk rasa juga mengecam manajemen Cardiac Centre yang dinilai membuat aturan aneh. Seperti melarang dokter nondosen masuk menangani pasien di ICCU. Lalu, dokter jantung nondosen tidak diperbolehkan memasukkan pasien di ICCU.

    Pengunjuk rasa diterima Direktur Medik dan Pelayanan RS WS, Prof dr Abd Kadir PhD. Menurut Kadir, persoalan ini sedang dibahas Komite Medik RS WS. Keluhan pasien segera ditindaklanjuti. (zuk)

Kampus Salahkan Televisi

AKSI demo yang sering terjadi selama ini dinilai sebagai biang investor malas berinvestasi di Sulsel. Pasalnya, demo yang selalu menutup jalan membuat investor takut dan tidak terjamin keamanannya.

Akibatnya, tentu saja menghambat investasi. Apalagi, kalau demonya sudah menjurus ke tindakan anarkis.
Meski demikian, Pembantu Rektor IV Universitas Hasanuddin, Dr Dwia Aries Tina NK tidak begitu sepakat jika hanya mahasiswa yang disalahkan. Ia menganggap demo mahasiswa hanya salah satu dari sekian banyak penyebab enggannya investor berinvestasi di Sulsel.

Menurutnya, Sulsel tidak seburuk dengan apa yang diasumsikan orang-orang dari luar Sulsel. Dwia menuding, media yang terlalu membesar-besarkan aksi demonstrasi di Sulsel. Dari blow up tersebut, akhirnya terbentuk pencitraan buruk terhadap Sulsel. Ujung-ujungnya muncul stereotipe tentang daerah ini.

    "Media terlalu membesar-besarkan demo kekerasan. Lalu tercipta stereotipe, padahal demonya dalam skala kecil," bela Dwia.

    Investor, lanjut dia, memang akan mempertimbangkan berbagai aspek ketika akan berinvestasi. Selain faktor ekonomi seperti sumber daya, infrastruktur, dan lainnya, investor juga akan mempertimbangkan faktor nonekonomi. "Faktor nonekonomi itu, faktor yang yang tak terlihat. Misalnya, masyarakat yang selalu dalam kondisi kekerasan, maka mereka (investor, red) akan mencari tempat lain yang aman," ungkap Dwia.

    Terkait dengan tidak black list terhadap alumni, ia mengaggap semestinya hal itu tidak terjadi. Menurutnya, sarjana Sulsel juga memiliki nilai akademik dan skill yang memadai. Oleh karena itu, kultur kekerasan sudah harus dihilangkan mulai sekarang.

"Jadi harus dibangun kesadaran bagi kelompok muda untuk tidak lagi melakukan aksi anarkis," imbuh dia.
    Sementara itu, Pembantu Rektor III Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ir Mas'ud Sar MSC, menganggap keluhan investor itu sebagai suatu persoalan yang mesti dicarikan solusi secara bersama. Menurutnya, apa yang dikeluhkan tersebut merupakan bahan introspeksi bagi seluruh perguruan tinggi di Sulsel.

    Mas'ud membenarkan bahwa demonstrasi menjadikan investor berpikir berinvestasi di Sulsel. Hal karena investor tidak merasa nyaman dengan adanya demonstrasi.
"Ketidaknyamanan itu terkait dengan adanya aksi demonstrasi yang anarkis," kata dia.

    Investor, lanjut Mas'ud,  merasa tidak tenang jika ada demo. Mereka menjadi terhambat melakukan aktivitas karena adanya aksi-aksi tutup jalan. Akhirnya itu akan berpengaruh pada stabilitas kegiatan usaha para investor. Hasilnya tentu saja sangat berkaitan dengan keuntungan dalam berinvestasi.

    Mas'ud juga mengaku heran dengan gerakan mahasiswa. Utamanya aksi demonstrasi yang selalu menutup jalan. "Saya tidak tahu, kenapa mereka selalu tutup jalan. Padahal kami sudah menyampaikan kepada mahasiswa kalau demo, jangan bebani masyarakat. Jangan tutup jalan," terang dia.

    UMI sendiri, lanjutnya, bukannya tanpa upaya untuk menertibkan perilaku demo yang menutup jalan. Malah, sudah ada panggung orasi dalam kampus, tapi itu tidak dipakai mahasiswa. Mereka lebih memilih menyuarakan aspirasinya di jalan. Mereka juga terkesan tidak mau dilarang.

    Terkait sarjana asal Sulsel yang kurang diterima di pasar kerja, Mas'ud mengakui hal tersebut bisa dimaklumi. Itu karena, perusahaan ragu dengan sarjana alumni Sulsel. "Perusahaan takut, mereka (sarjana alumni Sulsel, red) menjadi bibit perpecahan dalam organisasinya. Itu karena mereka sudah melihat mereka tidak bisa dilarang," imbuh dia.

    Senada dengan Dwia, Mas'ud juga mengeritik media yang terlalu membesar-besarkan demo di Sulsel. Ia beranggapan, media yang paling berkontibusi membuat citra tentang Sulsel. "Utamanya media elektronik," kata Mas'ud. (*)

Melihat Sekolah SEICY di Kampung Lette

*****/FAJAR
RUANG MASJID. Aktivitas belajar-mengajar Sekolah SEICY yang memanfaatkan ruang Masjid Nurul Ilham, Kampung Lette, Minggu, 25 April.



*Oasis Sebuah Pendidikan Gratis

I'M a muslim child
I read Alquran everyday
I pray five times a day
Yes I can do it, I can do it...

RIDWAN MARZUKI
Mariso

PENGGALAN lagu tadi adalah pembuka aktivitas pembelajaran di pagi itu, Minggu, 25 April. Raut wajah puluhan anak-anak di Masjid Nurul Ilham begitu riang. Anak-anak itu adalah peserta belajar pada Skill and Education Improvement for Children and Youth (SEICY).

    Selain bernyanyi, kegiatan lain sebagai pembuka proses belajar adalah membaca doa belajar. Setelah itu, pembelajaran dimulai. Para relawan SEICY memulai aktivitas proses belajar.
SEICY dalam Bahasa Indonesia berarti peningkatan keahlian dan pendidian anak dan remaja.

    SEICY Foundation adalah yayasan yang mengonsentrasikan diri untuk memberi bimbingan dan pendidikan bagi anak-anak Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso. Peserta belajarnya meliputi anak-anak sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Tentu saja mereka diberi pelajaran berbeda.

    Ketua Yayasan SEICY bernama Yashinta Kumala Dewi Sutopo. Panggilannya Yashinta yang juga berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di metropolitan ini. Ia bersama beberapa orang temannya menjadi pengelola dalam yayasan nonprofit ini. Ada sekitar 20-an orang yang menjadi manajemen Yayasan SEICY. 

    Mereka menamakan diri managemen SEICY 2010. Memang setiap tahun yayasan ini melakukan restrukturisasi managemen. Orang-orang yang terlibat di dalamnya merupakan relawan-relawan yang tidak dibayar. Niat mereka hanya membantu anak-anak penghuni Kampung Lette.

    Para relawan tersebut berasal dari berbagi kalangan dan profesi. Ada karyawan, dosen, ibu rumah tangga, dan ustaz atau ustazah. Sebut saja beberapa namanya antara lain Ridho, Afdaliana, Sellyana, Sriany, Yashinta, dan beberapa nama lainnya.

    Proses belajar-mengajar memanfaatkan ruangan Masjid Nurul Ilham.  Masjid tersebut berada di kompleks rumah susun sewa Kampung Lette. Setiap hari Minggu kegiatan pembelajaran dilaksanakan  di tempat ini.
Pesertanya anak-anak kelurga kurang mampu. Memang sebagian besar penduduk Kampung Lette.

    Di kampong ini, banyak warga berprofesi tukang becak, tukang batu, nelayan, dan pemulung. Bahkan sebagian dari peserta belajar SEICY merupakan pemulung. Ada juga yang berprofesi sebagai pencari kerang. Makanya anak-anak yang belajar di tempat ini tidak dipungut biaya. Inilah oasis sebuah pendidikan gratis.

    Setiap Minggu, kegiatan pembelajaran digelar. Pelaksanaan dimulai pukul 09.00-12.00. Terdiri atas dua sesi program, yaitu program Embo (English, Motivational series, Brain gym, and Origami) dan kursus komputer. Program embo untuk anak-anak usia SD, sedangkan kursus komputer untuk anak-anak usia SMP dan SMA.

    Untuk pelajaran Bahasa Inggris, kata Yashinta, materi pembelajarannya seputar percakapan dasar dan tensis. Ada juga lagu-lagu dalam Bahasa Inggris. Lalu untuk motivational series, muatan pembelajarannya berkaitan dengan pelatihan penyeimbangan otak kiri dan otak kanan. "Tujuannya untuk menggali potensi anak," kata Sriany Ersinah, penanggung jawab program ini.

    Selanjutnya program brain gym merupakan pembelajaran untuk melatih kemampuan otak anak yang berkaitan denga rasionalitas. Tujuannya untuk melatih kefokusan anak. Biasanya, lanjut Sriany, di tempat ini menggunakan instrumen musik sebagai medium pembelajaran. Selain itu, anak-anak juga diajarkan origami. Pelajaran ini berkaitan dengan keterampilan tangan dalam melipat kertas untuk dijadikan hiasan dan permainan.

    Yashinta mengaku sengaja menggunakan Bahasa Inggris untuk menamai yayasan dan beberapa program yang dibuat di dalamnya. Itu bertujuan supaya bisa dikenal lebih luas secara internasional. "Kita ingin meraih simpati global," kata dia.

    Ada beberapa motivasi yang mendasari para relawan ini. Menurut mereka, anak-anak di Kampung Lette ini harus mendapatkan pendidikan. Anak-anak ini merupakan generasi penerus yang harus diarahkan.

    Kehadiran para relawan di tempat ini semata-mata untuk misi pengabdian. Orientasi mereka adalah pengabdian kepada Sang Pencipta. "Semata karena Allah," papar Yashinta.

    Di samping itu, lanjut Yashinta, kehadiran mereka karena merasa prihatin dengan kondisi anak-anak Kampung Lette. Hal ini juga merupakan sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap kondisi anak-anak Kampung Lette. Banyak anak-anak usia SD hingga SMA di tempat ini belum mendapat pendidikan layak. Mereka tidak mampu dan terisolasi dari pendidikan yang layak.

    Selain itu, mereka rela mencurahkan waktu, tenaga, pikiran, dan materinya demi masa depan anak-anak tersebut. Yashinta dan kawan-kawan tidak mau menutup mata atas kondisi anak-anak di tempat ini. Mereka ingin berkontribusi menciptakan generasi saleh. (*)