Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Rabu, 25 April 2012

Mengurai Macet di Kota Makassar Secara Mendalam

Mengurai Macet di Kota Makassar Secara Mendalam

MAKASSAR--Sebagai kota metropolitan, Makassar tak bisa dielakkan dari persoalan kemacetan. Pertumbuhan populasi kendaraan dan terbatasnya pengembangan jalanan, menjadi pemicu signifikan terhadap timbulnya macet. Untuk jumlah kendaraan saja yang beredar di Kota Makassar, grafiknya setiap tahun terus menanjak. Angkanya bahkan di atas 11 persen.

Makassar sebagai kota terbesar di Kawasan Timur Indonesia, memang menjadi lokomotif pembangunan. Sayang, perkembangannya tidak dibarengi dengan penataan kota, utamanya yang berkaitan dengan rekayasa infrastruktur jalan sebagai antisipasi macet. Kendati ada sejumlah konsep pengembangan, namun alasan minimnya anggaran membuat hal tersebut hanya menjadi isapan jempol belaka. Kondisi ini yang menjadikan Makassar semakin hari kian macet.

Sebagai daerah dengan tingkat dinamisasi yang tinggi, macet memang menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi Makassar. Namun penyebab utama kemacetan, bukan hanya terkait dengan jumlah kendaraan yang terus meningkat serta terbatasnya pengembangan jalan. Faktor perilaku masyarakat juga turut berkontribusi bagi terciptanya macet. Hal ini bisa disaksikan ketika terjadi aksi demonstrasi atau unjuk rasa, traffic light, selalu menjadi sasaran perusakan. Demikian halnya perparkiran yang semrawut, ikut memyumbang andil kemacetan Makassar.

Kepala Dinas Perhubungan Kota Makassar, Chaerul A Tau, mengungkapkan, untuk saat ini upaya untuk menekan kemacetan adalah dengan mengefektifkan semua rambu-rambu lalu lintas. Di Makassar, kata dia, setidaknya terdapat 800 ribu total kendaraan yang beredar, terdiri atas kendaraan roda dua dan empat. Pertumbuhan rata-rata kendaraan di kisaran 12-13 persen per tahun sejak 2005. "Pertumbuhan polulasi kendaraan memang pesat. Ada gejala akan meningkat menjadi 15 persen per tahun," urai Chaerul, pekan lalu.

Saat ini, Chaerul mengaku gencar melakukan penyadaran berlalu lintas bagi pengguna jalan di Kota Makassar. Perilaku kesadaran berlalu lintas, kata dia, juga menjadi salah satu faktor untuk mereduksi kemacetan. Faktor lain yang menjadi penyebab atau biang kemacetan di Makassar adalah banyaknya angkutan kota (angkot) atau biasa disebut pete-pete. Jumlah yang terdaftar di Dishub mencapai 4.113 unit. Namun Chaerul mengatakan, jumlah itu adalah data base 2005.

Pada 2005, sempat terjadi polemik mengenai jumlah total angkot yang beroperasi di Makassar. Data Dishub menyebut angka 4000-an. Namun disinyalir jumlah yang beredar mencapai 6000-an unit. Hal ini terjadi karena banyak angkot yang tidak memiliki izin trayek. Ada pula izin trayek yang digunakan ganda oleh beberapa angkot. Namun sejak 2005 pula, lanjut Chaerul, jumlah pemilik angkot yang mengurus trayek sudah mulai menurun.

Untuk mengatasi macet dengan pengembangan jalan, Makassar tidak memungkinkan lagi. Jalanan yang ada saat ini, semuanya telah diperlebar, sehingga hanya menyisakan trotoar. Sejumlah jalan utama, telah berkali-kali dilakukan pelebaran, sehingga tidak bisa lagi untuk dilakukan cara yang sama. "Untuk penambahan jalan dalam kota sudah sangat maksimal. Tidak ada lagi lahan," imbuh Chaerul.

Parkir juga menjadi sumber kemacetan. Karenanya, Pemerintah Kota Makassar lalu mengeluarkan Peraturan Wali Kota No. 64 Tahun 2011 tentang larangan parkir di enam ruas jalan protokol. Kendaraan tidak boleh parkir di bahu Jalan Ahmad Yani, Urip Sumoharjo, Jenderal Sudirman, Ratulangi, AP Pettarani, dan Sultan Alauddin. Jalan ini sejak beberapa tahun belakangan, menjadi kawasan yang berlangganan macet hingga kini. Sejak regulasi tersebut dikeluarkan, pengguna jalan belum sepenuhnya mengindahkan. Parkir di enam jalan tersebut masih terlihat sehari-hari. Bahkan rambu lalu lintas pertanda larangan parkir di jalan-jalan itu, banyak yang hilang alias dicabut.

Chaerul sendiri mengaku tak memiliki kewenangan untuk menindak pelanggar karena itu domain kepolisian. Hanya sosialisasi yang rutin dilakukan, salah satunya dengan menyurati semua pemilik bangunan di sepanjang keenam jalan tersebut. Banyaknya traffic lihgt yang rusak setiap ada demonstrasi, juga dikeluhkan Chaerul. Untuk masa demonstrasi penolakan rencana kenaikan harga BBM akhir Maret lalu saja, setidikitnya Dishub mengalami kerugian sekitar Rp200 juta. Terdiri atas kerusakan 26 boks traffic light dua mesin pengendali yang hancur. Sementara, anggaran pemeliharaan yang tersedia dalam APBD hanya Rp60-an juta per dua triwulan.

Ia mengaku belum bisa memperbaiki traffic light yang rusak tersebut, sepanjang belum ada jaminan keamanan. Pemkot, kata dia, bisa saja mempercepat penarikan anggaran triwulan III dan IV untuk biaya perbaikan traffic light yang rusak, namun Dishub harus diyakinkan bahwa kerusakan sama tidak terjadi lagi. Persoalan lain adalah, banyaknya truk tambang yang masuk Makassar siang hari. Ada dua daerah pemasok tambang utama ke Makassar, khususnya untuk tambang golongan C, yakni Kabupaten Maros.

Menurut Chaerul, Pemkot Makassar berencana membuat larangan truk masuk ke Makassar pada siang hari, namun sebaliknya di daerah tetangga, melarang truk beroperasi pada malam hari. Akibatnya, jika terjadi perbedaan regulasi, tidak ada lagi truk yang bisa masuk ke Makassar sehingga yang dirugikan adalah masyarakat sendiri.

Chaerul juga mengakui lambannya Pemkot Makassar membuat master plan tranportasi. Mestinya, kata dia, sejak Makassar belum menjadi kota besar seperti saat ini, master plan jalan sudah dibuat. Namun sayang, pembangunan jalan hanya menyesuaikan dengan pembangunan perumahan. Di mana ada perumahan baru, di sanalah jalan disesuaikan. Belakangan baru muncul RTRW, pada saat Makassar sudah berkembang pesat. "Transportasi kita tidak terbentuk sejak dulu," katanya.

Untuk solusi jangka panjang, pemerintah memiliki konsep middle ring road. Jalan lingkar tengah ini akan menghubungkan Jalan Perintis Kemerdekaan-Jalan Syeh Yusuf, atau tepatnya alternatif jalan yang menjadi akses pilihan antara Kabupaten Maros, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Takalar. Jalan trans ini, dalam konsep besarnya disebut dengan proyek maminasata (Maros, Makassar, Sungguminasa, dan Takalar).

Selain itu, khusus untuk Kota Makassar, sudah saatnya dibuat jalan layang antara Jalan Alauddin dan Jalan AP Pettrani. Arus lalu lintas di jalan ini memang sangat pada karena menghubungkan dengan kabupaten tetangga, yakni Gowa. Selain itu, di jalan ini terdapat sejumlah kampus besar. Setiap kali terjadi demonstrasi, kemacetan tak dapat dihindarkan.

Chaerul bahkan mengusulkan kemungkinan membuat konsep jalan layang yang menghubungkan Gowa dan Maros sehingga ada alternatif lain selain Jalan Urip Sumiharjo-Jalan AP Pettarani. Ini juga akan berfungsi sebagai pengurai macet. Selain itu, saat ini juga ada gagasan untuk membangun under pass di dua jalan yakni Jalan Hertasning  dan Jalan Bolevard. Rencananya, pada 2013 proyek ini akan didanai oleh APBN.
Kepala Bidang (Kabid) Perpajakan Dinas Pendapatan Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Malik Faisal, mengungkapkan, lima tahun belakangan ini, pertumbuhan rata-rata kendaraan di Sulsel mencapai 11,3 persen. Bahkan dari 2007 ke 2008, pertumbuhan pengguna kendaraan mencapai 15,89 persen dari total 1.111.554 pembayar pajak kendaraan aktif saat itu. Hingga kini, kendaraan di Sulsel yang pajaknya terbayar, jumlahnya sebanyak 1.470.526.

"Itu hanya jumlah kendaraan yang membayar pajak. Yang tidak membayar pajak juga banyak. Antara 300 ribu hingga 500 ribu kendaraan," ujar Malik.

Untuk Kota Makassar, pertumbuhan rata-rata kendaraan naik hingga 11,24 persen, terdiri atas roda dua dan dan empat. Kendaraan roda dua mendominasi, yakni sebanyak 445.548 unit dan roda empat sebanyak 140.065 unit. Total jumlah kendaraan yang beredar di Makassar, mencapai 586.613 unit. Jumlah ini dihitung berdasarkan pengguna kendaraan yang melunasi pajak kendaraannya.

Rincian pertumbuhan kendaraan di Kota Makassar, yakni untuk roda empat, 2009 sebanyak 126.337 unit, 2010 sebanyak 137.545 unit, dan 2011 sebanyak 140.065 unit. Sementara untuk roda dua, 2009 sebanyak 526.462 unit, 2010 menjadi 580.948 unit, dan 2011 sebanyak 585.613 unit. (ridwan marzuki)

Rabu, 11 April 2012

Kapitalisasi Film Tak Matikan Kreativitas Komunitas Indie

Pemutaran Perdana Film "Memburu Harimau" Karya Sineas Makassar

TAK adil memperhadapakan sineas indie dengan industri kapitalistik film. Sineas lokal tak kalah bakat, hanya akses menembus dominasi yang sulit.

RIDWAN MARZUKI, Societeit de Harmoni

LAYAR menunjukkan adegan film yang mengalir pelan. Sesekali terjadi lompatan alur. Pencahayaan di film tersebut sangat minim. Bisa disebut lebih menonjolkan film hitam putih. Namun menonton film ini, ada kesan lain. Setidaknya Anda harus memfokuskan perhatian karena tertinggal sedikit saja, bisa-bisa kehilangan orientasi film.

Film yang berjudul Memburu Harimau itu memang disetting dengan latar klasik dengan mengambil tema 1960-an. Masa transisi Orde Lama ke Orde Baru seolah-olah lahir kembali menyaksikan film garapan anak-anak Makassar ini. Film ini memang dikerjakan "keroyokan" antara Institut Kesenian Makassar, Mediatif Film Workshop, dan Rumah Media Makassar. Memburu Harimau diprosduksi secara bersama-sama oleh ketiganya.

A Rio Supriadi, salah seorang panitia pemutaran film Memburu Harimau, menjelaskan adanya pelibatan sejumlah tokoh film indie di Makassar. Penulis dan penata kameranya adalah Rusmin Nuryadin, sementara sutradara merangkap produsernya adalah Arman Dewarti.

Arman sendiri menjelaskan bahwa film yang ditayangkan di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, 7-11 April ini, awalnya dikonseptualisasikan untuk diikutkan dalam lomba atau festival-festival film. Pria 45 tahun ini mengeluhkan kurangnya pengharagaan masyarakat lokal terhadap produksi film-film indie. Padahal secara kulitas, mereka tak kalah ide. Persoalannya memang hanya di sarana dan kapital!

"Gagasan awal produksinya adalah untuk festival. Harapan kita ini bisa lolos di berbagai festival. Ini salah satu strategi kita bahwa Makassar juga bisa mencipta film. Pengakuan luar akan membangkitkan minat dan penghargaan terhadap karya Makassar," ujar Arman di sela-sela pemutaran perdana Memburu Harimau di Societeit De Harmonie, Sabtu, 7 April.

Film ini diperankan Uchi Sagita sebagai Soraya, Andreuw Parinnusa sebagai Sinar, Sese Lawing sebagai Timur, serta sejumlah tokoh lainnya. Semuanya aktor lokal. Namun jangan meremehkan mereka, karakter yang ditampilkan dalam film ini sangat realis. Tokoh Sinar, Soraya, dan Timur memang mendominasi alur cerita dalam film Memburu Harimau. Ada cinta segi tiga di dalamnya yang mampu "memainkan" emosi penonton.

Arman sendiri mengatakan, film ini terinspirasi oleh maraknya penembakan misteius pada 1980-an. Peristiwa itu lalu digabung dengan cerita cinta segi tiga yang dikemas dalam setting 1960-an.

Cerita bermula dari persahabatan antara Sinar dan Timoer. Kedua pemuda ini lalu memilih jalan berbeda. Timoer menjadi preman, sementara Sinar menjadi aparat yang membasmi preman-preman, khususnya yang bertato. Soraya dan Timoer saling jatuh cinta. Mereka pacaran. Namun belakangan muncul Sinar yang juga menyukai dan jatuh hati pada Soraya. Melalui pendekatan keluarga, Sinar mampu meyakinkan orang tua Soraya hingga lamarannya diterima. Sinar menikahi Soraya.

Proses menikah keduanya juga tak mulus. Soraya dan Timoer hampir saja kabur (kawin lari), namun urung. Timoer lebih dulu di tangkap sebelum sampai di stasiun tempat mereka janjian sebelum kabur. Perkawinan paksa ini membawa beban sendiri bagi Sinar, terutama setelah jabatannya semakin tinggi. Soraya terus terobsesi bayang-bayang Timoer yang ada dalam penjara.

Dalam perjalanan selanjutnya, Soraya sering melakukan pertemuan rahasia dengan Timoer. Suatu ketika, ia diprotes oleh suaminya karena pulang larut malam. Saat bebas dari penjara, Timoer masih melanjutkan kebiasaannya. Sinar yang sudah naik jabatannya, akhirnya memimpin langsung pengejaran terhadap Timoer, sahabatnya.

Kejar-kejaran pun terjadi. Hingga akhirnya Timoer ditemukan bersembunyi. Ia lalu kabur, namun jalan yang dilaluinya mentok. Ia terdesak. Sinar lalu mendapatinya di depan sebuah tembok. Timoer lalu berbalik arah menghadap Sinar dengan senyum dan ekspresi kepasrahan. Dorrr! Sinar menembak mati Timoer.

Namun usai membunuh Timoer, Sinar merasa dihantui perasaan bersalah. Ia mulai disorientasi. Konflik batin dalam dirinya kian meruncing. Selain menyesal telah menembak sahabatnya yang tanpa perlawanan, ia juga tak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya sangat mencintai Sinar.

Yang menarik dalam film ini adalah lokasi pengambilan gambar yang dominan dilakukan di Societeit De Harmonie. Tim pembuat film ini mampu mendesain setting bar 1960-an, stasiun, dan gedung-gedung tua tempat Sinar dan Timoer kejar-kejaran, dengan hanya mengambil lokasi di gedung kesenian tersebut.

Nasran Mone, yang juga legislator DPRD Makassar, juga hadir menonton film ini. Ia memuji kreativitas tim yang membuat film sehingga mampu menghadirkan kejutan-kejutan, kendati kadang terjadi lompatan alur yang sangat jauh.
"Ide dan pesannya bagus. Hanya penggarapannya yang kurang. Tetapi itu bisa dimaklumi karena keterbatasan sarana dan infrastruktur. Kreativitas mereka luar biasa," pujinya.

Nasran hanya mengkritik banyaknya adegan merokok dalam film ini. Karena adegan itu, kata dia, penonton bisa saja berasumsi jika film ini disponsori oleh perusahaan rokok. Soal alur cerita yang melompat, menurut Nasra, kondisi inilah yang memberikan nilai tambah bagi film Memburu Harimau. "Memang kesimpulan harus dibuat oleh penonton sendiri," katanya.

Arman sendiri membantah jika filmnya ini disponsori perusahaan rokok. Menurutnya, semua dananya ditanggung bersama oleh tim. Film ini diklaim bergenre noar (Bahasa Francis, red), yang berarti gelap atau kelam. Pencahayaan dalam film ini sangat minim, dan lokasinya juga antah berantah alias tidak disebutkan daerahnya. Setiap penonton dikenanakan Rp10.000 untuk tiket masuk. Uang tersebut bukan untuk komersialisasi, hanya untuk menutupi sebagian ongkos produksi yang mereka tanggulangi sendri.

Arman juga mengharapkan munculnya bioskop indie di Makassar sebagai alternatif bagi masyarakat untuk menonton. Selama ini pemutaran film hanya didonminasi oleh bioskop mapan. "Sudah saatnya memang ada bioskop indie untuk menampung kreatifitas anak-anak Makassar. Kalau di Jakarta ada Blitz. Kita membutuh bioskop indie itu," ujarnya. (ridwanmarzuki@gmail.com)