Mengurai Macet di Kota Makassar Secara Mendalam
MAKASSAR--Sebagai kota
metropolitan, Makassar tak bisa dielakkan dari persoalan kemacetan.
Pertumbuhan populasi kendaraan dan terbatasnya pengembangan jalanan,
menjadi pemicu signifikan terhadap timbulnya macet. Untuk jumlah
kendaraan saja yang beredar di Kota Makassar, grafiknya setiap tahun
terus menanjak. Angkanya bahkan di atas 11 persen.
Makassar sebagai kota terbesar di Kawasan Timur Indonesia, memang
menjadi lokomotif pembangunan. Sayang, perkembangannya tidak dibarengi
dengan penataan kota, utamanya yang berkaitan dengan rekayasa
infrastruktur jalan sebagai antisipasi macet. Kendati ada sejumlah
konsep pengembangan, namun alasan minimnya anggaran membuat hal tersebut
hanya menjadi isapan jempol belaka. Kondisi ini yang menjadikan
Makassar semakin hari kian macet.
Sebagai daerah dengan tingkat dinamisasi yang tinggi, macet memang
menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi Makassar. Namun penyebab
utama kemacetan, bukan hanya terkait dengan jumlah kendaraan yang terus
meningkat serta terbatasnya pengembangan jalan. Faktor perilaku
masyarakat juga turut berkontribusi bagi terciptanya macet. Hal ini bisa
disaksikan ketika terjadi aksi demonstrasi atau unjuk rasa, traffic
light, selalu menjadi sasaran perusakan. Demikian halnya perparkiran
yang semrawut, ikut memyumbang andil kemacetan Makassar.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Makassar, Chaerul A Tau,
mengungkapkan, untuk saat ini upaya untuk menekan kemacetan adalah
dengan mengefektifkan semua rambu-rambu lalu lintas. Di Makassar, kata
dia, setidaknya terdapat 800 ribu total kendaraan yang beredar, terdiri
atas kendaraan roda dua dan empat. Pertumbuhan rata-rata kendaraan di
kisaran 12-13 persen per tahun sejak 2005. "Pertumbuhan polulasi
kendaraan memang pesat. Ada gejala akan meningkat menjadi 15 persen per
tahun," urai Chaerul, pekan lalu.
Saat ini, Chaerul mengaku gencar melakukan penyadaran berlalu lintas
bagi pengguna jalan di Kota Makassar. Perilaku kesadaran berlalu
lintas, kata dia, juga menjadi salah satu faktor untuk mereduksi
kemacetan. Faktor lain yang menjadi penyebab atau biang kemacetan di
Makassar adalah banyaknya angkutan kota (angkot) atau biasa disebut
pete-pete. Jumlah yang terdaftar di Dishub mencapai 4.113 unit. Namun
Chaerul mengatakan, jumlah itu adalah data base 2005.
Pada 2005, sempat terjadi polemik mengenai jumlah total angkot yang
beroperasi di Makassar. Data Dishub menyebut angka 4000-an. Namun
disinyalir jumlah yang beredar mencapai 6000-an unit. Hal ini terjadi
karena banyak angkot yang tidak memiliki izin trayek. Ada pula izin
trayek yang digunakan ganda oleh beberapa angkot. Namun sejak 2005 pula,
lanjut Chaerul, jumlah pemilik angkot yang mengurus trayek sudah mulai
menurun.
Untuk mengatasi macet dengan pengembangan jalan, Makassar tidak
memungkinkan lagi. Jalanan yang ada saat ini, semuanya telah diperlebar,
sehingga hanya menyisakan trotoar. Sejumlah jalan utama, telah
berkali-kali dilakukan pelebaran, sehingga tidak bisa lagi untuk
dilakukan cara yang sama. "Untuk penambahan jalan dalam kota sudah
sangat maksimal. Tidak ada lagi lahan," imbuh Chaerul.
Parkir juga menjadi sumber kemacetan. Karenanya, Pemerintah Kota
Makassar lalu mengeluarkan Peraturan Wali Kota No. 64 Tahun 2011 tentang
larangan parkir di enam ruas jalan protokol. Kendaraan tidak boleh
parkir di bahu Jalan Ahmad Yani, Urip Sumoharjo, Jenderal Sudirman,
Ratulangi, AP Pettarani, dan Sultan Alauddin. Jalan ini sejak beberapa
tahun belakangan, menjadi kawasan yang berlangganan macet hingga kini.
Sejak regulasi tersebut dikeluarkan, pengguna jalan belum sepenuhnya
mengindahkan. Parkir di enam jalan tersebut masih terlihat sehari-hari.
Bahkan rambu lalu lintas pertanda larangan parkir di jalan-jalan itu,
banyak yang hilang alias dicabut.
Chaerul sendiri mengaku tak memiliki kewenangan untuk menindak
pelanggar karena itu domain kepolisian. Hanya sosialisasi yang rutin
dilakukan, salah satunya dengan menyurati semua pemilik bangunan di
sepanjang keenam jalan tersebut. Banyaknya traffic lihgt yang rusak
setiap ada demonstrasi, juga dikeluhkan Chaerul. Untuk masa demonstrasi
penolakan rencana kenaikan harga BBM akhir Maret lalu saja, setidikitnya
Dishub mengalami kerugian sekitar Rp200 juta. Terdiri atas kerusakan 26
boks traffic light dua mesin pengendali yang hancur. Sementara,
anggaran pemeliharaan yang tersedia dalam APBD hanya Rp60-an juta per
dua triwulan.
Ia mengaku belum bisa memperbaiki traffic light yang rusak tersebut,
sepanjang belum ada jaminan keamanan. Pemkot, kata dia, bisa saja
mempercepat penarikan anggaran triwulan III dan IV untuk biaya perbaikan
traffic light yang rusak, namun Dishub harus diyakinkan bahwa kerusakan
sama tidak terjadi lagi. Persoalan lain adalah, banyaknya truk tambang
yang masuk Makassar siang hari. Ada dua daerah pemasok tambang utama ke
Makassar, khususnya untuk tambang golongan C, yakni Kabupaten Maros.
Menurut Chaerul, Pemkot Makassar berencana membuat larangan truk
masuk ke Makassar pada siang hari, namun sebaliknya di daerah tetangga,
melarang truk beroperasi pada malam hari. Akibatnya, jika terjadi
perbedaan regulasi, tidak ada lagi truk yang bisa masuk ke Makassar
sehingga yang dirugikan adalah masyarakat sendiri.
Chaerul juga mengakui lambannya Pemkot Makassar membuat master plan
tranportasi. Mestinya, kata dia, sejak Makassar belum menjadi kota besar
seperti saat ini, master plan jalan sudah dibuat. Namun sayang,
pembangunan jalan hanya menyesuaikan dengan pembangunan perumahan. Di
mana ada perumahan baru, di sanalah jalan disesuaikan. Belakangan baru
muncul RTRW, pada saat Makassar sudah berkembang pesat. "Transportasi
kita tidak terbentuk sejak dulu," katanya.
Untuk solusi jangka panjang, pemerintah memiliki konsep middle ring
road. Jalan lingkar tengah ini akan menghubungkan Jalan Perintis
Kemerdekaan-Jalan Syeh Yusuf, atau tepatnya alternatif jalan yang
menjadi akses pilihan antara Kabupaten Maros, Kota Makassar, Kabupaten
Gowa, dan Kabupaten Takalar. Jalan trans ini, dalam konsep besarnya
disebut dengan proyek maminasata (Maros, Makassar, Sungguminasa, dan
Takalar).
Selain itu, khusus untuk Kota Makassar, sudah saatnya dibuat jalan
layang antara Jalan Alauddin dan Jalan AP Pettrani. Arus lalu lintas di
jalan ini memang sangat pada karena menghubungkan dengan kabupaten
tetangga, yakni Gowa. Selain itu, di jalan ini terdapat sejumlah kampus
besar. Setiap kali terjadi demonstrasi, kemacetan tak dapat dihindarkan.
Chaerul bahkan mengusulkan kemungkinan membuat konsep jalan layang
yang menghubungkan Gowa dan Maros sehingga ada alternatif lain selain
Jalan Urip Sumiharjo-Jalan AP Pettarani. Ini juga akan berfungsi sebagai
pengurai macet. Selain itu, saat ini juga ada gagasan untuk membangun
under pass di dua jalan yakni Jalan Hertasning dan Jalan Bolevard.
Rencananya, pada 2013 proyek ini akan didanai oleh APBN.
Kepala Bidang (Kabid) Perpajakan Dinas Pendapatan Daerah Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan, Malik Faisal, mengungkapkan, lima tahun
belakangan ini, pertumbuhan rata-rata kendaraan di Sulsel mencapai 11,3
persen. Bahkan dari 2007 ke 2008, pertumbuhan pengguna kendaraan
mencapai 15,89 persen dari total 1.111.554 pembayar pajak kendaraan
aktif saat itu. Hingga kini, kendaraan di Sulsel yang pajaknya terbayar,
jumlahnya sebanyak 1.470.526.
"Itu hanya jumlah kendaraan yang membayar pajak. Yang tidak membayar
pajak juga banyak. Antara 300 ribu hingga 500 ribu kendaraan," ujar
Malik.
Untuk Kota Makassar, pertumbuhan rata-rata kendaraan naik
hingga 11,24 persen, terdiri atas roda dua dan dan empat. Kendaraan roda
dua mendominasi, yakni sebanyak 445.548 unit dan roda empat sebanyak
140.065 unit. Total jumlah kendaraan yang beredar di Makassar, mencapai
586.613 unit. Jumlah ini dihitung berdasarkan pengguna kendaraan yang
melunasi pajak kendaraannya.
Rincian pertumbuhan kendaraan di Kota Makassar, yakni untuk roda
empat, 2009 sebanyak 126.337 unit, 2010 sebanyak 137.545 unit, dan 2011
sebanyak 140.065 unit. Sementara untuk roda dua, 2009 sebanyak 526.462
unit, 2010 menjadi 580.948 unit, dan 2011 sebanyak 585.613 unit. (ridwan
marzuki)
Forum ini hanya kepingan kerikil dalam bantaran sungai yang luas. Tapi inspirasi kemudian selalu muncul untuk mengantar pada indahnya mencoba berpikir untuk orang lain.
Postingan Populer
-
TANGGA SERIBU. Salah satu tantangan bagi petualang gua adalah tangga seribu undakan yang harus dilewati sebelum akhirnya sampai di Gua Sum...
-
TRCI Touring 2.028 Km MAKASSAR--Merayakan anniversary tiga chapter Toyota Rush Club Indonesia (TRCI) se-Sulawesi, agenda perayaan telah...
-
Mengunjungi Objek Wisata Gua Leang Lonrong *Ada Kolam Khusus, Airnya Langsung dari Celah Batu LANSEKAP INDAH. Inilah pemandangan alam...
-
*Bisa Dipakai Untuk Meeting dan Karaoke Rumah makan kini tak hanya berfungsi tunggal sebagai tempat makan saja. Sekarang sudah ada fungsi...
-
Dok.YUS ULTAH. Suasana di depan Pena Mart, lantai satu Fajar Graha Pena, Minggu, 9 Mei. MAKASSAR -- Puluhan anak-anak dan remaja ambil b...
-
Menjejak Sejarah Perkampungan Belanda di Makassar MAKASSAR, FAJAR--Tatanan Makassar tidak terlepas dari peranan Belanda yang pernah tingga...
-
Dok.Fajar MARAKNYA tawuran antar mahasiswa di dalam kampus disesalkan banyak kalangan. Bukan cuma masyarakat luar kampus, tetapi para maha...
-
CERIA. Anak-anak sekolah menggunakan hari libur untuk berenang dan bermain di kolam renang ini. Salah satu kegiatan positif bagi pelajar,...
-
MENELUSURI JEJAK MANUSIA PURBA SULSEL EVOLUSI manusia dan peradabannya di Sulsel begitu panjang. Soppeng menjadi daerah pertama didi...
-
IST KEMANUSIAAN. Proses donor darah di Markas Resimen Induk Daerah Militer VII Wirabuana, Selasa, 23 Maret. Cari Darah Tentara Demi Sesama M...
KUMPULAN TULISAN
Rabu, 25 April 2012
Rabu, 11 April 2012
Kapitalisasi Film Tak Matikan Kreativitas Komunitas Indie
Pemutaran Perdana Film "Memburu Harimau" Karya Sineas Makassar
TAK adil memperhadapakan sineas indie dengan industri kapitalistik film. Sineas lokal tak kalah bakat, hanya akses menembus dominasi yang sulit.
RIDWAN MARZUKI, Societeit de Harmoni
LAYAR menunjukkan adegan film yang mengalir pelan. Sesekali terjadi lompatan alur. Pencahayaan di film tersebut sangat minim. Bisa disebut lebih menonjolkan film hitam putih. Namun menonton film ini, ada kesan lain. Setidaknya Anda harus memfokuskan perhatian karena tertinggal sedikit saja, bisa-bisa kehilangan orientasi film.
Film yang berjudul Memburu Harimau itu memang disetting dengan latar klasik dengan mengambil tema 1960-an. Masa transisi Orde Lama ke Orde Baru seolah-olah lahir kembali menyaksikan film garapan anak-anak Makassar ini. Film ini memang dikerjakan "keroyokan" antara Institut Kesenian Makassar, Mediatif Film Workshop, dan Rumah Media Makassar. Memburu Harimau diprosduksi secara bersama-sama oleh ketiganya.
A Rio Supriadi, salah seorang panitia pemutaran film Memburu Harimau, menjelaskan adanya pelibatan sejumlah tokoh film indie di Makassar. Penulis dan penata kameranya adalah Rusmin Nuryadin, sementara sutradara merangkap produsernya adalah Arman Dewarti.
Arman sendiri menjelaskan bahwa film yang ditayangkan di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, 7-11 April ini, awalnya dikonseptualisasikan untuk diikutkan dalam lomba atau festival-festival film. Pria 45 tahun ini mengeluhkan kurangnya pengharagaan masyarakat lokal terhadap produksi film-film indie. Padahal secara kulitas, mereka tak kalah ide. Persoalannya memang hanya di sarana dan kapital!
"Gagasan awal produksinya adalah untuk festival. Harapan kita ini bisa lolos di berbagai festival. Ini salah satu strategi kita bahwa Makassar juga bisa mencipta film. Pengakuan luar akan membangkitkan minat dan penghargaan terhadap karya Makassar," ujar Arman di sela-sela pemutaran perdana Memburu Harimau di Societeit De Harmonie, Sabtu, 7 April.
Film ini diperankan Uchi Sagita sebagai Soraya, Andreuw Parinnusa sebagai Sinar, Sese Lawing sebagai Timur, serta sejumlah tokoh lainnya. Semuanya aktor lokal. Namun jangan meremehkan mereka, karakter yang ditampilkan dalam film ini sangat realis. Tokoh Sinar, Soraya, dan Timur memang mendominasi alur cerita dalam film Memburu Harimau. Ada cinta segi tiga di dalamnya yang mampu "memainkan" emosi penonton.
Arman sendiri mengatakan, film ini terinspirasi oleh maraknya penembakan misteius pada 1980-an. Peristiwa itu lalu digabung dengan cerita cinta segi tiga yang dikemas dalam setting 1960-an.
Cerita bermula dari persahabatan antara Sinar dan Timoer. Kedua pemuda ini lalu memilih jalan berbeda. Timoer menjadi preman, sementara Sinar menjadi aparat yang membasmi preman-preman, khususnya yang bertato. Soraya dan Timoer saling jatuh cinta. Mereka pacaran. Namun belakangan muncul Sinar yang juga menyukai dan jatuh hati pada Soraya. Melalui pendekatan keluarga, Sinar mampu meyakinkan orang tua Soraya hingga lamarannya diterima. Sinar menikahi Soraya.
Proses menikah keduanya juga tak mulus. Soraya dan Timoer hampir saja kabur (kawin lari), namun urung. Timoer lebih dulu di tangkap sebelum sampai di stasiun tempat mereka janjian sebelum kabur. Perkawinan paksa ini membawa beban sendiri bagi Sinar, terutama setelah jabatannya semakin tinggi. Soraya terus terobsesi bayang-bayang Timoer yang ada dalam penjara.
Dalam perjalanan selanjutnya, Soraya sering melakukan pertemuan rahasia dengan Timoer. Suatu ketika, ia diprotes oleh suaminya karena pulang larut malam. Saat bebas dari penjara, Timoer masih melanjutkan kebiasaannya. Sinar yang sudah naik jabatannya, akhirnya memimpin langsung pengejaran terhadap Timoer, sahabatnya.
Kejar-kejaran pun terjadi. Hingga akhirnya Timoer ditemukan bersembunyi. Ia lalu kabur, namun jalan yang dilaluinya mentok. Ia terdesak. Sinar lalu mendapatinya di depan sebuah tembok. Timoer lalu berbalik arah menghadap Sinar dengan senyum dan ekspresi kepasrahan. Dorrr! Sinar menembak mati Timoer.
Namun usai membunuh Timoer, Sinar merasa dihantui perasaan bersalah. Ia mulai disorientasi. Konflik batin dalam dirinya kian meruncing. Selain menyesal telah menembak sahabatnya yang tanpa perlawanan, ia juga tak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya sangat mencintai Sinar.
Yang menarik dalam film ini adalah lokasi pengambilan gambar yang dominan dilakukan di Societeit De Harmonie. Tim pembuat film ini mampu mendesain setting bar 1960-an, stasiun, dan gedung-gedung tua tempat Sinar dan Timoer kejar-kejaran, dengan hanya mengambil lokasi di gedung kesenian tersebut.
Nasran Mone, yang juga legislator DPRD Makassar, juga hadir menonton film ini. Ia memuji kreativitas tim yang membuat film sehingga mampu menghadirkan kejutan-kejutan, kendati kadang terjadi lompatan alur yang sangat jauh.
"Ide dan pesannya bagus. Hanya penggarapannya yang kurang. Tetapi itu bisa dimaklumi karena keterbatasan sarana dan infrastruktur. Kreativitas mereka luar biasa," pujinya.
Nasran hanya mengkritik banyaknya adegan merokok dalam film ini. Karena adegan itu, kata dia, penonton bisa saja berasumsi jika film ini disponsori oleh perusahaan rokok. Soal alur cerita yang melompat, menurut Nasra, kondisi inilah yang memberikan nilai tambah bagi film Memburu Harimau. "Memang kesimpulan harus dibuat oleh penonton sendiri," katanya.
Arman sendiri membantah jika filmnya ini disponsori perusahaan rokok. Menurutnya, semua dananya ditanggung bersama oleh tim. Film ini diklaim bergenre noar (Bahasa Francis, red), yang berarti gelap atau kelam. Pencahayaan dalam film ini sangat minim, dan lokasinya juga antah berantah alias tidak disebutkan daerahnya. Setiap penonton dikenanakan Rp10.000 untuk tiket masuk. Uang tersebut bukan untuk komersialisasi, hanya untuk menutupi sebagian ongkos produksi yang mereka tanggulangi sendri.
Arman juga mengharapkan munculnya bioskop indie di Makassar sebagai alternatif bagi masyarakat untuk menonton. Selama ini pemutaran film hanya didonminasi oleh bioskop mapan. "Sudah saatnya memang ada bioskop indie untuk menampung kreatifitas anak-anak Makassar. Kalau di Jakarta ada Blitz. Kita membutuh bioskop indie itu," ujarnya. (ridwanmarzuki@gmail.com)
TAK adil memperhadapakan sineas indie dengan industri kapitalistik film. Sineas lokal tak kalah bakat, hanya akses menembus dominasi yang sulit.
RIDWAN MARZUKI, Societeit de Harmoni
LAYAR menunjukkan adegan film yang mengalir pelan. Sesekali terjadi lompatan alur. Pencahayaan di film tersebut sangat minim. Bisa disebut lebih menonjolkan film hitam putih. Namun menonton film ini, ada kesan lain. Setidaknya Anda harus memfokuskan perhatian karena tertinggal sedikit saja, bisa-bisa kehilangan orientasi film.
Film yang berjudul Memburu Harimau itu memang disetting dengan latar klasik dengan mengambil tema 1960-an. Masa transisi Orde Lama ke Orde Baru seolah-olah lahir kembali menyaksikan film garapan anak-anak Makassar ini. Film ini memang dikerjakan "keroyokan" antara Institut Kesenian Makassar, Mediatif Film Workshop, dan Rumah Media Makassar. Memburu Harimau diprosduksi secara bersama-sama oleh ketiganya.
A Rio Supriadi, salah seorang panitia pemutaran film Memburu Harimau, menjelaskan adanya pelibatan sejumlah tokoh film indie di Makassar. Penulis dan penata kameranya adalah Rusmin Nuryadin, sementara sutradara merangkap produsernya adalah Arman Dewarti.
Arman sendiri menjelaskan bahwa film yang ditayangkan di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, 7-11 April ini, awalnya dikonseptualisasikan untuk diikutkan dalam lomba atau festival-festival film. Pria 45 tahun ini mengeluhkan kurangnya pengharagaan masyarakat lokal terhadap produksi film-film indie. Padahal secara kulitas, mereka tak kalah ide. Persoalannya memang hanya di sarana dan kapital!
"Gagasan awal produksinya adalah untuk festival. Harapan kita ini bisa lolos di berbagai festival. Ini salah satu strategi kita bahwa Makassar juga bisa mencipta film. Pengakuan luar akan membangkitkan minat dan penghargaan terhadap karya Makassar," ujar Arman di sela-sela pemutaran perdana Memburu Harimau di Societeit De Harmonie, Sabtu, 7 April.
Film ini diperankan Uchi Sagita sebagai Soraya, Andreuw Parinnusa sebagai Sinar, Sese Lawing sebagai Timur, serta sejumlah tokoh lainnya. Semuanya aktor lokal. Namun jangan meremehkan mereka, karakter yang ditampilkan dalam film ini sangat realis. Tokoh Sinar, Soraya, dan Timur memang mendominasi alur cerita dalam film Memburu Harimau. Ada cinta segi tiga di dalamnya yang mampu "memainkan" emosi penonton.
Arman sendiri mengatakan, film ini terinspirasi oleh maraknya penembakan misteius pada 1980-an. Peristiwa itu lalu digabung dengan cerita cinta segi tiga yang dikemas dalam setting 1960-an.
Cerita bermula dari persahabatan antara Sinar dan Timoer. Kedua pemuda ini lalu memilih jalan berbeda. Timoer menjadi preman, sementara Sinar menjadi aparat yang membasmi preman-preman, khususnya yang bertato. Soraya dan Timoer saling jatuh cinta. Mereka pacaran. Namun belakangan muncul Sinar yang juga menyukai dan jatuh hati pada Soraya. Melalui pendekatan keluarga, Sinar mampu meyakinkan orang tua Soraya hingga lamarannya diterima. Sinar menikahi Soraya.
Proses menikah keduanya juga tak mulus. Soraya dan Timoer hampir saja kabur (kawin lari), namun urung. Timoer lebih dulu di tangkap sebelum sampai di stasiun tempat mereka janjian sebelum kabur. Perkawinan paksa ini membawa beban sendiri bagi Sinar, terutama setelah jabatannya semakin tinggi. Soraya terus terobsesi bayang-bayang Timoer yang ada dalam penjara.
Dalam perjalanan selanjutnya, Soraya sering melakukan pertemuan rahasia dengan Timoer. Suatu ketika, ia diprotes oleh suaminya karena pulang larut malam. Saat bebas dari penjara, Timoer masih melanjutkan kebiasaannya. Sinar yang sudah naik jabatannya, akhirnya memimpin langsung pengejaran terhadap Timoer, sahabatnya.
Kejar-kejaran pun terjadi. Hingga akhirnya Timoer ditemukan bersembunyi. Ia lalu kabur, namun jalan yang dilaluinya mentok. Ia terdesak. Sinar lalu mendapatinya di depan sebuah tembok. Timoer lalu berbalik arah menghadap Sinar dengan senyum dan ekspresi kepasrahan. Dorrr! Sinar menembak mati Timoer.
Namun usai membunuh Timoer, Sinar merasa dihantui perasaan bersalah. Ia mulai disorientasi. Konflik batin dalam dirinya kian meruncing. Selain menyesal telah menembak sahabatnya yang tanpa perlawanan, ia juga tak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya sangat mencintai Sinar.
Yang menarik dalam film ini adalah lokasi pengambilan gambar yang dominan dilakukan di Societeit De Harmonie. Tim pembuat film ini mampu mendesain setting bar 1960-an, stasiun, dan gedung-gedung tua tempat Sinar dan Timoer kejar-kejaran, dengan hanya mengambil lokasi di gedung kesenian tersebut.
Nasran Mone, yang juga legislator DPRD Makassar, juga hadir menonton film ini. Ia memuji kreativitas tim yang membuat film sehingga mampu menghadirkan kejutan-kejutan, kendati kadang terjadi lompatan alur yang sangat jauh.
"Ide dan pesannya bagus. Hanya penggarapannya yang kurang. Tetapi itu bisa dimaklumi karena keterbatasan sarana dan infrastruktur. Kreativitas mereka luar biasa," pujinya.
Nasran hanya mengkritik banyaknya adegan merokok dalam film ini. Karena adegan itu, kata dia, penonton bisa saja berasumsi jika film ini disponsori oleh perusahaan rokok. Soal alur cerita yang melompat, menurut Nasra, kondisi inilah yang memberikan nilai tambah bagi film Memburu Harimau. "Memang kesimpulan harus dibuat oleh penonton sendiri," katanya.
Arman sendiri membantah jika filmnya ini disponsori perusahaan rokok. Menurutnya, semua dananya ditanggung bersama oleh tim. Film ini diklaim bergenre noar (Bahasa Francis, red), yang berarti gelap atau kelam. Pencahayaan dalam film ini sangat minim, dan lokasinya juga antah berantah alias tidak disebutkan daerahnya. Setiap penonton dikenanakan Rp10.000 untuk tiket masuk. Uang tersebut bukan untuk komersialisasi, hanya untuk menutupi sebagian ongkos produksi yang mereka tanggulangi sendri.
Arman juga mengharapkan munculnya bioskop indie di Makassar sebagai alternatif bagi masyarakat untuk menonton. Selama ini pemutaran film hanya didonminasi oleh bioskop mapan. "Sudah saatnya memang ada bioskop indie untuk menampung kreatifitas anak-anak Makassar. Kalau di Jakarta ada Blitz. Kita membutuh bioskop indie itu," ujarnya. (ridwanmarzuki@gmail.com)
Langganan:
Postingan (Atom)