Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Minggu, 26 Juni 2016

Menanti Juli, Merindu Januari



JANUARI

ENAM bulan berlalu meninggalkan Januari. Aku rindu seluruh sisi dan rekam jejaknya. Sebab engkau tahu, tak akan pernah ada sendu pada musim hujan yang selalu datang Januari.

Januari selalu datang dengan wajahnya yang paling anggun. Semilir udara fajar berbarengan dengan cahaya jingga di langit timur, memberi asa yang meletup-letup: tentang rindu, hasrat yang memburu, kesepian, kehangatan, dan tarian rasa yang menjelma erotis di atas singgasana mahaindah.

Rerintik hujan mengerling nakal menyaksikan keceriaan pecinta yang menapak rindu di atasnya. Lalu tibalah seluruh kalimat terbelenggu oleh maharasa yang tak pernah terjelaskan. Ombak lalu menari, menghempaskan diri di bibir pantai. Lalu meliuk lihai, kembali bergabung dengan samudera luas.

Pada Juli, Januari akan tetap indah dan sejuk. Ia tak pernah membenci zaman atau bulan-bulan berlalu: sekeras atau selembut apapun hujan datang menderanya.
Wajah ayunya selalu membawa pesan rindu menyembunyikan galau yang kerap menutupi bibir manisnya. Dia tak sedang bermain. Hadir merasakan setiap jengkal keindahan alur yang kerap tak ritmik.

Pun Januari tak pernah membenci historis. Bahkan kerap girang histeris. Serupa bocah memetik ketongkeng saat bermain di sungai berair jernih, berdendang dan menari mengikuti liukan keris. Mereka tak apatis. Ada cinta di antara gerimis. Mereka menuangkannya dalam bahasa tubuh yang sedikit alegoris.

Selamat datang dan selamat tinggal Januariku. Ini sudah Juli, masa perantara dua Januari. Ini tak sedang memparadokskannya. Sebab Januari selalu berbilang. Muncul dengan banyak wajah dan kejutan. Bahagialah bagi mereka yang selalu berkesempatan menyapa Januari.
(***)

Kopi, Senja, dan Kita





Kopi Hitam dan Dialog Senja

26 Juni 2014
Aku mulai menyeruput kopi hitam. Sesuatu yang tak biasa, namun mencoba adalah candu manusia.

Hari ini, aku membayangkan suatu hari, pada sepotong sore, ada dua cangkir kopi di depan kita. Kamu terlihat grogi di depanku sembari meniup uap panas kopi hitammu.

Aku sebenarnya bukanlah penikmat kopi yang setia duduk berhadapan cangkir setiap pagi atau petang. Namun sudahlah, kopi kerap menjadi bagian hidupku, terutama melukis makna-makna yang tak tertuang melalui bibir aneka bentuk manusia. Kopi, sejauh ini, menyimbolkan kehidupan, kebersamaan, dan cinta. Lalu, aku memulai ceritaku.

Kini aku menjadi penikmat, setidaknya sepekan sekali. Lalu imajinasiku berdialog. Aha, wajah serupa delima ranum, akan terlihat di hadapanku, tersipu lalu menatap langit berona jingga di senja itu. Moment lalu mempertemukan pandangan kita, sunset melukis keindahannya

Sementara serombongan camar bersorak di ujung kaki langit. Riuh, seriuh gemuruh perbincangan batin dua anak manusia yang terperangkap dalam labirin kehidupan.

Keduanya sesekali tersenyum lalu hening tiba-tiba. Riam ombak berbuih putih keemasan, memburu-buru cerita kita. Sepoi angin, menyeka wajah sang putri, menggerai rambut indah miliknya. Aku menikmatinya

Aroma air laut dan wangi kopi hitam, memenuhi ujung petang menuju temaram. Ruas jemari kita menyatu. Ahmm..., damai yang hampir sempurna, samar dan kian pasti senyummu. Lalu wajahmu perlahan menghilang raib bersama hembusan angin malam yang datang menyapa.

Senja menggenapkan cahayanya di sela-sela bahagia kita yang berlimpah-limpah. Transisi jingga ke keemasan rembulan, menambah-nambah riangnya rasa kita berdua. Tak hanya bibir kita berdialog, dua hati ini ikut bercengkrama, menyambung cerita yang kerap mengendap di ujung bibir, tak sempat terutarakan. Wajahmu kian memesonaku bersamaan cahaya bulan yang datang menyeka-nyekanya.

Kutetap menanti kopimu di suatu senja nanti, tak sekadar hadir dalam imajinasiku. Kuyakin surga telah menyiapkan bebakian di altar mahaluas. Kelak, kehidupan tentang kopi dan kenikmatannya, kita rasakan di situ. Ya, di kehidupan abadi. (*)