Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Kamis, 23 Mei 2019

Kumpul Ceria ala Rushers Sulawesi



Ngabuburit dan Buka Puasa

MAKASSAR--Tak pernah lelah, selalu semangat. Kalimat ini cocok disematkan kepada Rushers –istilah pengguna mobil Rush– di Makassar.

Terutama untuk salah satu member asal Kabupaten Pinrang, Sulsel, Muh AidiL Eka Putra
. Mewakili Toyota Rush Club Indonesia (TRCI) Chapter Ajattapareng, pemilik nomor punggung (nopung) 391 ini, datang ke Makassar.

Sekadar diketahui, jarak Pinrang-Makassar sekitar 140 kilometer. Namun, pada kesempatan buka puasa bersama komunitas Toyota Owners Club (TOC) di Mall Nipah, Jl. Urip Sumoharjo, Makassar, Kamis, 23 Mei 2018, dia menyempatkan datang. Sengaja datang lebih tepatnya.

Buka puasa bersama ini digagas Toyota Kalla, lalu mengundang perwakilan komunitas otomatif di bawah bendera brand Toyota. Salah satu yang berpartisipasi adalah TRCI, baik Korwil Sulawesi, Chapter Makassar, dan Chapter Ajattapareng.

Untuk Makassar, Ketua TRCI Chapter Makassar Rahmat Sugiharto, juga datang, bersama Sekretarisnya Wawan. Ada pula member TRCI Chapter Makassar Margiat dan keluarga, serta beberapa member TRCI lainnya.

Perwakilan Toyota Kalla, Firman, juga hadir. Selain buka puasa bersama dan ngabuburit, pertemuan ini sekaligus menjadi ajang silaturahmi para member komunitas TOC di Makassar. (***)




Bocah Penantang Bencana



JADILAH ANAK
BIJAK DAN KUAT

Suasananya masih seperti tahun lalu, Nak. Mama dan attamu sedang menikmati keindahan puasa. Sabtu, 26 Mei 2018 atau 10 Ramadan 1439 H. Pukul 12.04 Wita.

Kini, kami memasuki hari ke-19 Ramadan 1440 H. Milad kamu yang setahun, Nak.  Betapa senang dan bahagia kami, orang tuamu. Usia 10 bulan, kamu sudah belajar jalan. Meski masih jatuh bangun.

Kamu bayi yang kuat, Nak. Usai seminggu, kamu sudah melewati perjalanan. Dari Palu, Sulawesi Tengah, ke Makassar, Sulsel. Nyaris 1.000 kilometer perjalanan kita tempuh bersama.

Attamu sedikit membalap kendaraan karena mengejar jadwal akikah yang telah disiapkan kakek dan nenekmu. Buka puasa dan sahur di jalan.

***

EMPAT WASTU

Anak ini lahir dalam situasi multikultural melampaui diskursus. Ayahnya berdarah Makassar, Bugis, dan Mandar. Ibunya, percampuran Bugis, Toraja, Pattinjo (Letta).

Bukan. Bukan di situ letak pluralitas utamanya. Ayahnya tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, ibunya di Palu, Sulawesi Tengah. Hanya seminggu setelah lahir di RS Palu, lalu berangkat ke Pinrang, tanah kelahiran kakek dari ibunya.

Di Palu, sebagai daerah membangun, kemajemukan itu menjadi mitra keseharian. Di samping rumahnya, banyak pura yang dibuat umat Hindu di halaman rumah mereka. Ada juga gereja. Masjid apalagi.

Soal suku, lebih banyak lagi. Banyak perantau kini bermukim di sana. Kota yang terkenal dengan Pantai Talise-nya. Tak pernah ada riak lintas etnis atau agama di situ. Kecuali daerah tetangganya, Poso. Sensitivitas emosional agak meninggi di daerah tempat "perjuangan" Santoso cs itu.

Di Makassar, kota kelahiran ayahnya, heterogenitas bahkan telah tumbuh berabad-abad, bahkan sepanjang sejarah lahirnya hub terbesar di Indonesia timur: Pelabuhan Makassar.

Arab, Pakistan, Tiongkok, India, dan lainnya, bahkan lebih awal datang sebelum Indonesia merdeka. Datang saat Gowa sedang menjadi imperium besar dan kerajaan paling disegani di tengah-tengah Nusantara itu.
***

Ujian terbesarmu datang ketika gempa, likuefaksi, dan tsunami melanda kota kelahiranmu, Nak. Ibunya nyaris jadi korban. Mengalami luka karena saat guncangan 7,4 SR, 28 September 2018, sedang berada di dapur. Tembok runtuh.

Kamu diselamatkan tantemu. Yang sedang menemanimu bermain di teras. Seketika ia menyambarmu, lalu lompat ke jalan. Terhuyung-huyung mereka. Rumah-rumah berguncangan, lalu rubuh.

Jalanan bergerak, mirip ular yang sedang merayap. "Air....! Aaaaiiiirrr....!!!" teriak orang-orang berlarian ke arah bukit.

Mamamu berhasil lolos dari dapur. Sepeda motor yang terparkir di depan, langsung di-starter-nya. Lalu sedikit membalap, dia bawalah kamu ke bukit bersama tantemu.

Atta yang sedang di Makassar, langsung memutuskan ke Palu. Sayang, akses ke sana sulit. Gempa Palu yang berpusat di Laut Donggala, juga berdampak ke Sulbar dan Sigi, termasuk Poso. Akses darat riskan.

Mulanya, atta hendak via darat. Menyetir sendiri. Sayang, informasi mengenai terputusnya jembatan di Topoyo, Sulbar, mengurungkan niat itu itu. Pilihannya adalah AURI. Ada pesawat Hercules stand by di sana.

Malam itu juga, atta putuskan ke Lanud Hasanuddin, Mandai, Maros. Setelah meminta izin kepada teman-teman di redaksi dengan mengajukan diri sebagai reporter peliput bencana Sulteng. Sesuatu yang tak biasa sesungguhnya. Sebab, biasanya yang meliput di lapangan adalah reporter. Sementara atta, posisinya sebagai redaktur halaman satu.

Beruntung, setelah diskusi, redaksi membolehkan atta yang berangkat. Tiba di Lanud, antrean manusia begitu panjang. Tim medis, SAR, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dari berbagai daerah juga sedang menunggu tumpangan.

Pasukan TNI, Polri, serta kelompok wartawan media nasional juga menunggu pesawat. Juga keluarga korban yang banyak mengantre di situ. Penumpang menumpuk di Lanud karena penerbangan komersil tutup. Bandara SIS Al Jufri, Palu, rusak parah akibat gempa. Hanya Hercules yang bisa mendarat. (bersambung)