Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Senin, 12 April 2010

ForMedia: Media Kurang Perhatikan Chek and Rechek

MAKASSAR--Media diimbau konsisten menegakkan Kode Etik Jurnalistik. Pasalnya, hasil penelitian Forum Masyarakat Sipil Pemantau Media (ForMedia), menemukan adanya indikasi pelanggaraan terhadap Kode Etik Jurnalistik sebanyak empat pasal yang kerap dilakukan oleh media.

Pasal-pasal tersebut, antara lain pasal satu tentang akurasi dan perimbangan berita. Pasal tiga tentang chek and rechek, pencampuran fakta dan opini, serta penerapan asaz praduga tak bersalah. Dan pasal sembilan tentang privasi narasumber. Serta pasal sebelas tentang melayani hak jawab.

Ekspose hasil penelitian ForMedia selama Januari-Februari 2010 terhadap tujuh surat kabar mainstream di Sulsel, menyimpulkan adanya sekira 30-40 persen media tidak melakukan chek and recheck dalam membuat pemberitaan. Khususnya untuk isu lingkungan, perempuan, tata ruang, dan kelistrikan. Ketujuh surat kabar yang jadi sampel penelitian ForMedia yaitu Fajar, Tribun Timur, Berita Kota Makassar, Ujung Pandang Ekspres, Sindo Sulsel, Pare Pos, dan Palopo Pos.

Muliadi Mau dari ForMedia mengungkapkan jika penelitian tersebut bertujuan untuk memberi masukan dan sekaligus kontrol terhadap media. "Masyarakat bisa berperan serta menciptakan profesionalisme media," ungkap Muliadi.

Ia menambahkan, penelitian yang digunakan melalui pendekatan content analysis. "Yaitu meneliti pesan yang manifest (yang termuat, red) saja. Yang laten tidak. Hanya meneliti yang di atas teks, di balik teks tidak," terang Muliadi.

ForMedia merupakan gabungan dari beberapa ormas atau civil society organization (CSO). Di antaranya, JURnaL Celebes, Yayasan Tifa, Lembaga Studi Informasi (eLSIM), Lembaga Kajian Pengembangan Masyarakat dan Pesantren (LKPMP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LP2EM), Aliansi Gerakan Anti Udara Kotor (A-Gauk), Lembaga Bantuan Hukum Makassar (LBHM), Pokja Tata Ruang Sulsel, LBH Apik, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Pare-pare, Wallacea Palopo, People Care Pare-pare, Wanua Sidrap, dan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI).

Kegiatan ekspose ini menghadirkan penanggap dari Universitas Hasanuddin, Dr Hasrullah. Dalam arahannya, Hasrullah mengimbau ForMedia agar melakukan juga wawancara langsung dengan wartawan yang berhubungan dengan isu yang diteliti. "Content analysis (adalah, red) salah satu cara untuk memetakan asumsi yang dikembangkan oleh media," papar Hasrullah. Kelemahan dari metode ini, lanjut Hasrullah, tidak mengungkap kebijakan redaksi dari suatu media.

Direktur JURnaL Celebes, Mustam Arif menilai jika media paling banyak melanggar soal chek and recheck. "Check and recheck yang paling menonjol. Sekitar 30-40 persen tidak mematuhi check and recheck," terang Mustam.

Mustam juga menegaskan jika hasil penelitian ini merupakan rekomendasi bagi media-media khususnya yang ada di Sulsel. "Rekomendasinya adalah mengimbau kepada media-media berupaya untuk meningkatkan kapasitas pemahaman jurnalistik kepada wartawannya," lanjut dia.

Selain CSO, hadir pula Direktur Fajar Televisi, Nur Alim Djalil, Kepala Biro Kompas Indonesia Timur, Nasrullah Nara, dan Deputi Manager Komunikasi PT PLN (Persero) Sultanbatara, M Yamin. (zuk)

Pak Oga, Sering Dikejar Petugas Tapi Tak Jera












*Berharap Mendapat Pekerjaan Layak


Populasi Pak Oga kian banyak. Padahal mereka tak pernah bercita-cita menjadi Pak Oga. Lalu apa penyebabnya?


RIDWAN MARZUKI
URIP SUMIHARJO

Pada awalnya, menjadi Pak Oga bukanlah pilihan mereka. Seperti anak-anak pada umumnya saat masih sekolah, mereka juga bercita-cita menjadi orang yang sukses. Ada yang ingin menjadi dokter, polisi, tentara, guru, bahkan presiden. Tapi harapan sepertinya jauh panggang dari api. Cita-cita akhirnya mereka kubur karena keterbatasan.

Belum tamat di bangku sekolah dasar, mereka sudah harus banting tulang mencari duit. Pak Oga merupakan sebutan bagi mereka yang menawarkan jasa membantu penyeberangan bagi pengemudi atau pengendara di jalan-jalan raya.

Memang, dominan anak-anak yang jadi Pak Oga berasal dari keluarga yang kurang mampu. Jangankan untuk sekolah, untuk kebutuhan hidup sehari-haripun mereka kesulitan. Tak heran jika kebanyakan Pak Oga merupakan anak-anak yang putus sekolah. Jangankan sekolah di SMP, SD pun tak tamat. Rata-rata begitu.

Seperti dengan Hafid. Kini usianya 30 tahun. Sehari-hari ia menjadi Pak Oga di depan Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), Jalan Urip Sumiharjo. Saban hari ia mangkal di tempat itu. Tujuannya tentu saja meraup rupiah dengan sedikit mengandalkan keberanian. Dikatakan begitu, karena menjadi Pak Oga terbilang beresiko. Pak Oga harus menyetop kendaraan yang datang dari arah lain agar kendaraan yang akan diseberangkan olehnya mendapat prioritas. Dengan mengandalkan sepotong kayu kecil, ia menghadang kendaraan yang datang dari arah lain.

Hafid mengaku jika profesi sebagai Pak Oga telah dijalaninya sejak belasan tahun silam. Pekerjaan ini digelutinya sejak masih anak-anak. Hafid menceritakan jika di UMI, ia tidak bekerja sendiri. Menjadi Pak Oga, lanjut dia, adalah pekerjaan satu tim. Ada beberapa orang yang harus ditemani kerja sama. Khusus untuk Hafid,timnya beranggotakan tujuh orang Pak Oga. Sebut saja namanya antara lain Herman, Tiar, Ipin, Sam, dan Ike. Ini dibentuk tim karena mekanisme kerja mereka juga menganut system rooling atau bergantian. Setiap tiga jam, ada dua atau tiga orang Pak Oga yang bertugas. Yang lainnya istirahat. Demikian pembagian tugas mereka setiap hari. Hasil pendapatan mereka selanjutnya dibagi rata dengan anggota tim yang bertugas.
Dalam sehari, lanjut Hafid, pendapatan mereka dikisaran Rp 15 ribu sampai Rp 50 ribu.

Penghasilan mereka tergantung banyaknya pengendara yang menyeberang dan mengupah jasa mereka. “Pendapatan tergantung banyaknya mahasiswa yang masuk kampus (UMI, red), Pak. Kalau banyak mahasiswa yang masuk kampus, biasanya agak lumayan juga kita dapat,” ungkap Hafid, Jumat, 9 April.

Kini Hafid telah memilki isteri dengan lima orang anak. Hasil dari profesi sebagai Pak Oga itulah yang dipakainya membiayai kebutuhan isteri dan anak-anaknya. Walaupun ia menyadari itu tak cukup, tetapi menurut Hafid, ia berusaha mencukupkan penghasilannya dengan jalan berhemat. Hingga kini, Hafid masih tinggal menumpang sama orang tuanya. Walaupun sebetelnya ia juga memiliki obsesi kelak bisa punya rumah sendiri.

Selain itu, Hafid juga mengaku sering dikejar oleh petugas. Tetapi, lanjutnya, ia dan teman-temannya tak mau kapok. Masalahnya tak ada keahlian lain yang mereka miliki. “Di sini tommi (jadi Pak Oga, red) pendapatan, Pak. Kelebihan Cuma ini. Cuma ini yang bisa kami kerjakan,” terang Hafid.

Hal senada juga diungkapkan Wawan dan timnnya. Wawan jadi Pak Oga di depan Kantor Gubernur Sulsel. Menurutnya, dengan pendidikan hanya sampai SD bahkan tak tamat, praktis tak ada keahlian yang mereka miliki. Apalagi jika pekerjaan itu membutuhkan ijazah, otomatis mereka tak memenuhi syarat. “Tetapi kami juga berharap bisa dipekerjakan, seperti cleaning service,” harap Wawan.

Para pak Oga ini juga menolak dikatakan sering membuat kemacetan atau biang kemacetan. Menurutnya, apa yang mereka lakukan sebetulnya untuk memperlancar arus lalu lintas. “Kami tidak bikin macet. Justru saat demo mahasiswa itu yang bikin macet. Malahan kita yang bantu Pak Polisi mengatur jalan,” terang Hafid.

Menurut para Pak Oga ini, mereka tak pernah memaksa pengendara untuk membayar jasa penyenberangan. “Dikasi atau tidak, disyukuri. Inilah penghasilan kita kasian,” kata Wawan. Mereka juga tidak pernah memasang tariff per sekali menyeberang. Semua tergantung keikhlasan pengemudi atau pengendara yang mereka seberangkan. Biasanya, berkisar antara Rp 500-Rp 10 ribu. (*)