Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Rabu, 11 Oktober 2017

Menjejak Manusia Pertama di Sulsel


MENELUSURI JEJAK MANUSIA PURBA SULSEL



EVOLUSI manusia dan peradabannya di Sulsel begitu panjang. Soppeng menjadi daerah pertama didiami manusia awal.

NAMUN, tak benar-benar tinggal. Kehidupan manusia purba nomaden. Memanfaatkan gua sebagai rumah. Hasil penelusuran menunjukkan, ada beberapa daerah tempat muasal manusia Sulsel.

Soppeng, Maros, dan Pangkep. Tiga kabupaten yang menjadi lokasi penemuan jejak-jejak manusia dan peradaban purba. Ada juga penelitian dan bukti awal manusia purba di Bone, Bantaeng, dan Luwu Timur.

Di kawasan pegunungan karst Pangkep-Maros, ditemukan sejumlah gua yang menyimpan bukti-bukti peradaban manusia prasejarah.

Adanya fragmen, perkakas purba, dan perhiasan temuan  memang menguatkan bahwa dulu kawasan ini merupakan area perlindungan bagi kaum nomad tersebut.

Fragmen itu selanjutnya menjadi petunjuk bahwa manusia pada saat itu juga sudah memiliki peradaban dan budaya terutama dalam hal penuangan deskripsi indrawi ke dalam asosiasi atau media.

Mereka telah mampu menuangkan realitas yang terlihat menjadi sesuatu yang bernilai seni, yakni membuat lukisan. Bahkan, mereka juga sudah mampu mendeskripsikan bagian-bagian tubuhnya ke dalam fragmentaris.

Di Maros, hasil ekskavasi menemukan adanya liontin yang diasumsikan sebagai perhiasan manusia lampau. Penelitan telah dan terus dilakukan untuk lebih memastikannya.


Bukti Empiris di Soppeng

Dosen Arkeologi Unhas, Iwan Sumantri, menjelaskan ada dua ras umum manusia yaitu homo erectus, dan homo sapiens. Homo erectus mendahului homo sapiens.

Namun, ras homo sapiens yang modern seperti sekarang ini. Untuk homo sapiens di Sulsel, jejak kebudayaan tertuanya ada di Soppeng.

Ia membeberkan manusia modern pertama, homo sapiens yang muncul pertama ada di Afrika. Akan tetapi, terjadi migrasi yang disebut out-of Africa (keluar Afrika). Itulah manusia migrasi pertama.

"Ada yang ke Eropa melahirkan Neanderthalensis, nenek moyangnya orang Eropa. Kemudian ada yang terus ke Asia, turun sampai ke Indonesia, itu yang disebut austro-melanesoid," ujarnya.

Bukti premis itu adalah ditemukannya lapisan kebudayaan perkakas batu di situs Talepu, Soppeng, pesisir Wallanae dengan lapisan kebudayaan 118 ribu atau 200 ribu tahun lalu.

"Itu jelas sekali, kalau dihubungkan dengan out of Africa, maka bisa dihubungkan orang-orang austro-melanesoid sampai di situ," ujarnya.

Sehingga saat ini, jejak kebudayaan yang tertua manusia purba (homo sapiens) yang pernah ditemukan arkeologi berada di Soppeng. Ditemukan alat batu atau artefak batu yang berusia 118 ribu tahun.

"Sebenarnya di Indonesia, jejak manusianya lebih tua di Jawa, tapi bukan homo sapiens, melainkan homo erectus," ungkapnya.

Pada gelombang migrasi berikutnya, berlangsung
70 ribu tahun lalu, ada yang terjadi di Paiwan, Taiwan Utara.

"Lalu keluar dari sana, masuk Asia. Ada juga turun Taiwan, ke bawah, masuk Filipina lalu sampai ke Sulawesi. Kemudian, mereka mendesak Austro-Melanesoid ini. Sisa-sisa Austro-Melanesoid ini kita masih ditemukan di Aborigin, Australia," ungkapnya.

Dan ditemukan oleh arekeologi di Sulawesi utamanya di Maros dan Pangkep, sisa peradaban kebudayaan austro melanesoid yang lapisan-lapisan pleistosen

"Yang berusia 20 ribu hingga 40 ribu tahun. Bahwa kalau ditemukan di Soppeng dengan 118 ribu atau 200 ribu, jika dihubungkan dengan  out of Africa, maka orang-orang Austro-Melanesoid yang sampai di situ," urainya.

Namun di sejumlah tempat lainnya juga ditemukan jejak purba. Seperti, di Gua Uhallie Desa Langi, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone; Batu Ejayya, Kabupaten Bantaeng; dan Danau Towuti, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur.

"Tapi Bone, Bantaeng, Luwu Timur belum dideting. Di sana juga ditemukan lukisan tangan seperti Maros dan Pangkep," urainya.


Gua Jadi Saksi

PENINGGALAN masa lampau ditemukan di Sumpang Bita, Kelurahan Balocci Baru, Kecamatan Balocci, Pangkep. 

Di dalamnya, terdapat dua situs gua prasejarah. Yaitu, Leang Sumpang Bita dan Leang Bulu Sumi. Ditetapkan sebagai situs cagar budaya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1998 silam. 

Sumpang Bita ini juga, telah dimasukkan dalam daftar invetaris Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar. Mulai dipugar oleh Laboratorium Sub Direktorat Pemeliharaan Ditlinbanjarah pada 1985.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pangkep, Ahmad Djamaan, mengatakan, dahulu, gua di Sumpang Bita merupakan tempat tinggal dari manusia Toala atau Suku Toala.

Toala adalah manusia pertama yang mendiami kawasan Pangkep. Hal itu terjadi sekitar 5.000 tahun yang lalu. Toala juga berarti orang hutan atau orang yang tinggal di dalam hutan. 

Penjelasan itu berdasarkan penelitian Mr Sarasin dari Swiss. Namun, hasil penelitian terbaru menyebutkan bahwa kehidupan Toala sejak 40.000 tahun silam.

Pada zaman Pleistosen, Pangkep merupakan lautan yang secara periodik mengalami proses sedimentasi. Sehingga menyebabkan terbentuknya gua akibat gerusan ombak.

"Sangat banyak gua di Pangkep. Ada beberapa yang terdapat bukti peninggalan masa lampau," katanya. 

Juru pelihara situs Sumpang Bita, Jabbar, mengatakan, dahulu, Toala yang bermukim di dalam gua. Peninggalannya masih ada dalam gua Sumpang Bita. Lukisan mereka masih abadi di dinding gua. 


Peralatan Purba

BUKTI adanya kehidupan awal di Soppeng bisa dilihat dari hasil penelitian yang menemukan sejumlah alat berburu dan bertahan hidup manusia purba.

Banyak ditemukan ilmuwan di sekitar Sungai Walanae. Di tempat ini pulah, fauna-fauna purba menyeruak dari kedalaman tanah.

Ada gajah purba (Elephascelebensis), ikan pari raksasa, buaya purba (Crocodylussp), babi purba (Celebochoerusheekereni), hingga artefak batu. Temuan tersebut tersimpan di situs purbakala Calio, Cabbenge.

Fosil-fosil fauna vertebrata ini ditemukan pertama kali tahun 1947 oleh Van Heekeren, arkeolog Belanda, di Kampung Beru, jalan poros Cabenge-Pampanua Kabupaten Soppeng. Van Heekeren bersama timnya, GJ Barstra dan DA Hoijen.

Temuan ini, terus berkembang yang akhirnya menyibak ribuan fosil vertebrata di aliran sungai itu.
Penjaga situs purbakala Calio, A Toto menjelaskan temuan berbagai fosil dan artefek batu melalui beberapa kali ekskavasi. 

Ekskavasi pada 1989 di situs Jekkae, GJ Barstra (situs Kecce dan Paroto), dan dilanjutkan situs Marale (1990). Van Heekeren menemukan fosil gajah Celebochoerus (1991) dan hasil rekonstruksi fosil oleh JP Bemkering

"Alat itu diyakini digunakan saat evolusi manusia homo sapiens 250.000 tahun silam. Peneliti hanya menemukan alatnya dan belum menemukan tulang manusia purba," kata A Toto.

Pada zaman Eosen awal sekitar 50 juta tahun lalu, Sulawesi masih jauh dari bentuk yang sekarang. Semenanjung Sulawesi (Sulawesi Selatan) masih merupakan garis lurus hingga ke semenanjung utara (Sulawesi Utara). 

Sedangkan semenanjung tenggara (Sulawesi  Tenggara) masih berhubungan dengan Teluk Bone. Sementara bagian timur Kalimantan masih berhubungan dengan bagian tengah Sulawesi. 

Semenanjung timur (Banggai dan Sula) masih merupakan pulau tersendiri. Pada 40-30 juta tahun lalu, terjadi cekungan antara Kalimantan dan Sulawesi yang membentuk Selat Makassar. 

Sekitar 34 juta tahun lalu, terjadi pengangkatan daratan dan membentuk beberapa delta sungai dan menjadikan Banggai menyatu dengan Pulau Sulawesi.

Kondisi inilah yang diperkirakan, menjadi titik awal kedatangan fauna karena perairan dangkal Selat Makassar, sebagai jembatan darat ke Sulawesi dari Paparan Sunda. 

Mamalia besar seperti Babyrousa (Babi Rusa) diperkirakan telah mendiami Sulawesi bagian tengah bersama nenek moyang Tarsisus. Hingga masa Miosen akhir dan awal Pliosen antara 5 hingga 4 juta tahun lalu, Sulawesi akhirnya terbentuk menyerupai bentuknya saat ini. 


Menelusuri Peradaban dari Liontin 

LEANG Bulu Bettue, kawasan Prasejarah Leang-leang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Maros, kini menarik perhatian.

Ditemukan fosil berupa tulang kuskus yang dijadikan liontin. Dipercaya sebagai perhiasan manusia purba yang mendiami Maros pada masa awal.

Temuan itu menegaskan tingginya rasa seni, kreativitas, dan ikatan manusia gua Sulawesi dengan alam pada masa itu.

Bulu Bettue berjarak sekitar satu kilometer di utara  Timpuseng, lokasi ditemukannya lukisan purba di dinding gua. Usia lukisan diperkirakan 40.000 tahun. 

Arkeolog Unhas, Iwan Sumantri, mengatakan untuk tahun 2017 ini, penelitian dan ekskavasi melibatkan sekitar 51 orang dari berbagai instansi terkait serta mahasiswa. Mereka mencari jejak manusia purba.

Namun, untuk jejek kebudayaan, sudah ada ditemukan yakni berupa fosil dan lukisan dinding gua pada penelitian dan ekskavasi sebelumnya.

"Pertanyaannya sekarang, di mana manusianya? Itu masih kita cari tahu," jelasnya.

"Saat kita lakukan penggalian tahun 2015 lalu, kita temukan satu benda kecil, tapi cukup bombastis," sambungnya.

Sebab, pada 30 ribu tahun lalu, sudah ada kehidupan. Pada masa itu, mereka sudah menggunakan  tulang kuskus sebagai liontin. "Itu menandakan mereka sudah lama berhias," paparnya.

Jika dikorelasikan antara temuan di Leang Timpuseng (lukisan dinding yang usia 39.900 tahun) dan temuan tulang kuskus yang dijadikan liontin 30 ribu tahun lalu di Bittue, maka bisa diartikan bahwa pada masa itu manusia purba sudah bisa mengekspresikan diri atau bisa memperlihatkan cara berekspresi.

"Apakah itu lewat lukisan atau perhiasan dari tulang kuskus," katanya.

Adapun temuan yang hampir sama dengan sebelumnya dan paling banyak ditemukan, adalah artefak litik dan artefak fauna.

"Temuannya juga ada beberapa tulang binatang yang diperkirakan pernah dikonsumsi oleh manusia purba yang bermukim di Leang Bulu Bettue," sebutnya.

Sementara di lokasi lainnya, yakni Rammang-rammang yang berlokasi di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, terdapat tiga gua prasejarah.

"Ada tiga gua prasejarah, yakni Pasaung, Barakka, dan Bulu Tianang," katanya. (*)
 (TIM PELIPUT: SAKINAH-ARINI-ASRIADI-ILHAM)


Temuan di Kawasan Leang

-serpihan tulang-tulang atau artefak
-bentuk dan goresan pada belulang itu diyakini tidak alami atau sengaja dibuat manusia
-fungsinya sebagai perhiasan
-usianya 22 ribu--30 ribu tahun
- dibuat di zaman Pleistosen atau zaman es
-modelnya berupa liontin, manik-manik untuk kalung, dan batu yang dibentuk geometris
-liontin berasal dari tulang jari tengah kuskus
-salah satu ujung tulang untuk liontin dilubangi guna memasukkan tali 
-manik-manik yang ditemukan berasal dari potongan melintang taring salah satu hewan khas Sulawesi, Babirusa (Babyrousa)
-taring dipotong dan dilubangi
-pemotongan dan pelubangan itu dilakukan memakai batu sangat keras (gamping kersikan yang banyak ditemukan di sekitar leang atau gua)
-artefak tulang panjang yang tengahnya berongga 
-ditemukan jejak berwarna  merah dan hitam di dalam tulang
-merujuk temuan serupa di Eropa, fungsi tulang ini diduga sebagai pipa penyemprot warna 
-analisis menunjukkan bahwa warna mineral alami itu juga digunakan untuk membuat lukisan batu di zaman es yang sebelumnya ditemukan disekitar Leang Bettue

Ornamen.
-Empat batu putih berukir dengan motif geometri sederhana
-diduga kuat juga berasal dari zaman es
-keempat batu tersebut fungsinya sebagai benda seni. (tim)

PUISI: CERITA LALU

CREDIT PHOTO: ALIEXPRESS

MENENGAHI JARAK

Aku tak lelah melantunkan puisi
Seluruh lariknya pun masihlah candu
Membelai di semua sisi
Dan hingga kapan rasa ini beradu

Langit kini banyak becerita
Kamu tak perlu lagi membaca
Sejejalan keluh di banyak media
Sebab, kita kuat oleh cinta

Bilakah cemburu menyergap
Tersesat, lalu pesonanya menyekap
Mestikah kita tetap berharap
Saat seluruh gundah berkabut gelap

Aku tetap percaya pada awan
Menengahi jarak
Antara bumi, horizon, dan hujan
Dan seluruh alam bergerak

Suatu petang,
Kita berdendang
Di situlah, rasa mendulang
Memahat rindu yang kini menerjang

Tak perlu menyalahkan siapa
Cinta bukan aljabar atau algoritma
Hanya butuh diselami dengan gembira
Hingga tiba saat mengulminasikannya

(***)