Forum ini hanya kepingan kerikil dalam bantaran sungai yang luas. Tapi inspirasi kemudian selalu muncul untuk mengantar pada indahnya mencoba berpikir untuk orang lain.
Postingan Populer
-
TANGGA SERIBU. Salah satu tantangan bagi petualang gua adalah tangga seribu undakan yang harus dilewati sebelum akhirnya sampai di Gua Sum...
-
*Mau Sukses, Harus Jujur SIFAT jujur punya peranan besar dalam kesuksesan seseorang. Utamanya bagi entrepreneur pemula. Jujur merupakan m...
-
Dok. Fajar MAKASSAR -- Bagi pencinta olahraga golf, tidak usah terlalu pusing untuk mencari stik atau tongkat pemukul. Di Mal Ratu Indah...
-
*Akan Dibangun Mirip Klenteng Usianya sudah 250 tahun. Tercatat sebagai salah satu masjid tertua di Sulsel selain Masjid Katangka di Sun...
-
Ini Detail Arti Emo Emoji sangat efektif digunakan untuk menegaskan perasaan dan ekspresi ketika “mengatakan” sesuatu di aplikasi pesan in...
-
MAKASSAR--Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Nitro kembali mewisuda alumninya, Rabu, 2 Juni. Prosesi wisuda digelar di Hotel Sahid Jaya, J...
-
MAKASSAR--Universitas Muslim Indonesia (UMI) menggelar zikir akbar dan doa untuk Palestina, Jumat, 11 Juni. Acara zikir akbar dan doa ini d ...
-
TIDAK ada kata tidak ada bagi ibu-ibu kader lingkungan Rukun Warga (RW) I, Kelurahan Pattunuang Kecamatan Wajo. Walaupun dana terbatas, teta...
-
Eksotisme di Ujung Takalar TELUK Laikang kini telah berubah. Dulu hanya kawasan pesisir yang kumuh, kini diubah menjadi area wisata eks...
-
*Melestarikan Lingkungan Bisa Dilakukan Siapa Saja BANYAK cara melestarikan lingkungan. Salah satunya dengan mendaur ulang sampah atau bar...
KUMPULAN TULISAN
Senin, 26 November 2018
PUISI: NOVEMBER
Merelungi Dimensi
Langit masih saja kelabu
Mengiringi hati yang sendu
Bersama hujan yang tak malu
Membasahi lembut wajahmu
Pengujung November merangkak
Beberapa hari atau jam lagi
Seperti senyummu jarang terkuak
Mengharapnya dalam bahasa elegi
Inilah kisah paling romantis itu
Kala bibirmu tak lagi mengatup
Meriuhkan cintamu dengan gerutu
Tapi sungguh, hati meletup-letup
Tetaplah bertahan di sini
Ruang sunyi tanpa prasasti
Hanya ada dua bahasa hati
Asmara dan jenaka sejati
Buka payung itu
Hujan belum reda
Relungi dimensi waktu
Jangan biarkan ia menjeda
Hingga November benar berlalu
Eh, namun tunggu!
Aku masih merindu
Menanti dirimu...
(*)
Selasa, 17 Juli 2018
INTELEKTUALISME DAN AIR MATA TUMPAH
Credit Photo: Idham Ama |
Selamat Jalan, Sang Mahaguru
AMBULANS berhenti di lobi. Tepat di pintu masuk kaca yang buka-tutup dua sisi.
Sang sopir membuka pintu belakang ambulans. Sebuah peti cokelat bervernis tergeletak di tengah. Para pengiring lalu menjejakkan kaki ke lantai.
Serombongan orang menyambut peti itu. Sebagian menjulurkan dari atas. Sebagian lagi menyambutnya di bawah. Ukuran peti pas-pasan di sela kursi mobil. Tak ada ruang di kiri-kanan untuk mengangkat.
Enam belas orang, sebagian besar karyawan FAJAR, mengangkat peti itu. Tiba di pintu masuk yang terbuat dari kaca bening itu, hanya tiga belas orang yang muat. Tiga lainnya mundur.
Mereka dalam kesedihan dan duka yang medalam. Ingin menunjukkan penghormatan terakhir kepada Sang Mahaguru: Doktorandus Ishak Ngeljaratan.
Di depan pintu kaca, sebuah altar telah disiapkan. Melintang ke arah barat. Kira-kira empat puluh sentimeter tingginya. Lebarnya semeter. Peti diletakkan di atasnya.
Wajah-wajah yang tadi berhias senyum, kini berubah. Sedih yang meluap-luap. Duka yang mendalam-dalam. Kehilangan yang cukup menyayat-nyayat.
Deretan manusia penunggu ini memang telah bergerombol di area lobi Graha Pena sejak sejam lalu. Memenuhi area altar yang disediakan khusus untuk penghormatan Sang Maestro Budaya.
Saya bediri di bagian timur peti. Di deretan kedua barisan pelayat dan pengagum sosok yang telah terbaring di dalam peti cokelat berpelitur itu.
Seorang perempuan bekerudung hitam, berdiri di deretan pertama. Agak ke kanan dari posisiku. Berhadapan langsung dengan peti jenazah. Kedua tangannya mengatup, menutupi mulut dan hidungnya. Mirip pengabdi Tuhan yang sedang berdoa pasrah.
Suaranya tertelan oleh kesedihan yang menggelombang dalam jiwa dan hatinya. Ekspresi kepiluannya itu tergambar dari raut wajahnya yang basah oleh derai mutiara sedih.
Dialah sang juru bicara pihak keluarga. Luna namanya. Usia sekitar 30-an. Kisah pendeknya pada kesempatan menyampaikan pesan kepada para pelayat yang memenuhi lobi, mengukuhkan pandangan saya tentang kebaikan Ishak Ngeljaratan, sosok teman diskusi sangat indah setiap kali berkunjung ke redaksi.
"Terima kasih kepada FAJAR telah menampung dan menerbitkan tulisan-tulisan bapak selama ini. Tulisan-tulisan itu adalah obat dan pelipur bagi bapak..." suara Luna terhenti.
Saya yang mengenakan jaket hitam, larut dalam kenangan tentang sosok sang idola. Bulir sejuk mengucur dari sudut mata. Air mata tumpah. Saya sedih, pilu, dan merasakan duka yang sangat hebat.
Oh, Tuhan. Beginilah rasanya kehilangan itu. Kehilangan yang sangat membekas, begitu terasa, dan memaksa tangis ini pecah.
Tak banyak yang dapat kami balas kepadamu, Romo Ishak. Engkau adalah oase hati dalam kerasnya kehidupan. Penyejuk diri dalam gersangnya jiwa. Peneduh kalbu dalam keringnya spiritualitas.
Kritik-kritik sosialmu, dongeng-dongeng filosofismu, dan saduran-saduran pengetahuan latinmu, sungguhlah menjadi ilmu yang tak akan pernah sanggup kami gapai sepertimu.
Keikhlasan dan kerianganmu untuk selalu menghadiri forum-forum diskusi, sangatlah menjadi sebuah teladan yang mungkin susah kami ikuti. Tanpa honor dan transportasi.
Kesetianmu membagi ilmu dan memotivasi kalangan muda untuk selalu haus pada pengetahuan, merupakan sebuah monumen yang tak akan pernah raib dari kenangan dan ingatan kami.
Selamat jalan, Sang Mahaguru. Selamat beristirahat dalam senyum indahmu. Kami selalu mendoakanmu, di sini.
Makassar, Rabu, 18 Juli 2018.
Langganan:
Postingan (Atom)