Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Minggu, 18 September 2016

Puisi: Gubuk, Rindu, dan Asa

Description Image: Z Pratiwi



Buih-buih Senja

Langkah menderap-derap di kampung balu
Sampirannya deretan bunga lau
Akasia tertenggeri benalu
Rasa pun merisau

Hendak tak peduli dan abai
Pada kisah sekelumit hati
Nun, jauh di negeri peri
Yang kesadarannya tetap terkini

Duhai,
Hidup serupa ablaut
Serumit perubahan ozon langit
A, S, F, V, Z, Y, T... Tak digit
Tetapi asa selalu melangit

Untuk apa terus memeram
Siluet sore menjanji hangat
Pada mereka para pengharap damai
Serupa riam penuh riang
Menyongsong buih tersasar pantai

Wahai,
Telah dua tombak waktu berlalu
Masih saja kau tersipu
Diam, dingin, bersedu

Tak cukupkah dadu kamu lontarkan
Hitunglah, berapa kemujuran masa
Sebab, bila waktu menggugat balik
Manusia kerap berpura-pura ablepsia

Bangkitlah, kawan!
Bangun dari tengkurap takutmu
Di depan sana
Ada gubuk menantimu

Habiskan senjamu di situ
Parafin akan menjemputmu
Bersama kumpulan bara hangat
Berdianglah dalam sepoi penuh nikmat

(***)





Jumat, 05 Agustus 2016

BERBAUR ISYARAT



UNTUKMU, HENING.....,

Kepada hening yang menyublim
Yang beku oleh embun
Lisan terkelu belenggu
Hanya isyarat hati

Sekiranya engkau bisa menerawang
Lihatlah, betapa elok dan hebatnya
Mendiami rindu yang tak ribut
Namun bergemuruh dalam rasa

Tak juakah engkau mengerti
Per-amsal-an bebuliran padi
Benih-benihnya menjadi subur
Tak berbilang, beranak pinak

Mestikah seluruh tanda
Memaksa labial yang secorong kecil itu
Melantangkan nama terseruak kala
Sungguh, rindu itu berdilema

Dan ketika pijar tak lagi indah
Masih ada sejuk yang dijanjikan pagi
Seumpama perdu gersang setahun
Salam sapamu adalah kehidupan

(***)
Makassar, 6-8-1016
Pukul 05.25 Waktu Hati Ini
^_^



Minggu, 26 Juni 2016

Menanti Juli, Merindu Januari



JANUARI

ENAM bulan berlalu meninggalkan Januari. Aku rindu seluruh sisi dan rekam jejaknya. Sebab engkau tahu, tak akan pernah ada sendu pada musim hujan yang selalu datang Januari.

Januari selalu datang dengan wajahnya yang paling anggun. Semilir udara fajar berbarengan dengan cahaya jingga di langit timur, memberi asa yang meletup-letup: tentang rindu, hasrat yang memburu, kesepian, kehangatan, dan tarian rasa yang menjelma erotis di atas singgasana mahaindah.

Rerintik hujan mengerling nakal menyaksikan keceriaan pecinta yang menapak rindu di atasnya. Lalu tibalah seluruh kalimat terbelenggu oleh maharasa yang tak pernah terjelaskan. Ombak lalu menari, menghempaskan diri di bibir pantai. Lalu meliuk lihai, kembali bergabung dengan samudera luas.

Pada Juli, Januari akan tetap indah dan sejuk. Ia tak pernah membenci zaman atau bulan-bulan berlalu: sekeras atau selembut apapun hujan datang menderanya.
Wajah ayunya selalu membawa pesan rindu menyembunyikan galau yang kerap menutupi bibir manisnya. Dia tak sedang bermain. Hadir merasakan setiap jengkal keindahan alur yang kerap tak ritmik.

Pun Januari tak pernah membenci historis. Bahkan kerap girang histeris. Serupa bocah memetik ketongkeng saat bermain di sungai berair jernih, berdendang dan menari mengikuti liukan keris. Mereka tak apatis. Ada cinta di antara gerimis. Mereka menuangkannya dalam bahasa tubuh yang sedikit alegoris.

Selamat datang dan selamat tinggal Januariku. Ini sudah Juli, masa perantara dua Januari. Ini tak sedang memparadokskannya. Sebab Januari selalu berbilang. Muncul dengan banyak wajah dan kejutan. Bahagialah bagi mereka yang selalu berkesempatan menyapa Januari.
(***)

Kopi, Senja, dan Kita





Kopi Hitam dan Dialog Senja

26 Juni 2014
Aku mulai menyeruput kopi hitam. Sesuatu yang tak biasa, namun mencoba adalah candu manusia.

Hari ini, aku membayangkan suatu hari, pada sepotong sore, ada dua cangkir kopi di depan kita. Kamu terlihat grogi di depanku sembari meniup uap panas kopi hitammu.

Aku sebenarnya bukanlah penikmat kopi yang setia duduk berhadapan cangkir setiap pagi atau petang. Namun sudahlah, kopi kerap menjadi bagian hidupku, terutama melukis makna-makna yang tak tertuang melalui bibir aneka bentuk manusia. Kopi, sejauh ini, menyimbolkan kehidupan, kebersamaan, dan cinta. Lalu, aku memulai ceritaku.

Kini aku menjadi penikmat, setidaknya sepekan sekali. Lalu imajinasiku berdialog. Aha, wajah serupa delima ranum, akan terlihat di hadapanku, tersipu lalu menatap langit berona jingga di senja itu. Moment lalu mempertemukan pandangan kita, sunset melukis keindahannya

Sementara serombongan camar bersorak di ujung kaki langit. Riuh, seriuh gemuruh perbincangan batin dua anak manusia yang terperangkap dalam labirin kehidupan.

Keduanya sesekali tersenyum lalu hening tiba-tiba. Riam ombak berbuih putih keemasan, memburu-buru cerita kita. Sepoi angin, menyeka wajah sang putri, menggerai rambut indah miliknya. Aku menikmatinya

Aroma air laut dan wangi kopi hitam, memenuhi ujung petang menuju temaram. Ruas jemari kita menyatu. Ahmm..., damai yang hampir sempurna, samar dan kian pasti senyummu. Lalu wajahmu perlahan menghilang raib bersama hembusan angin malam yang datang menyapa.

Senja menggenapkan cahayanya di sela-sela bahagia kita yang berlimpah-limpah. Transisi jingga ke keemasan rembulan, menambah-nambah riangnya rasa kita berdua. Tak hanya bibir kita berdialog, dua hati ini ikut bercengkrama, menyambung cerita yang kerap mengendap di ujung bibir, tak sempat terutarakan. Wajahmu kian memesonaku bersamaan cahaya bulan yang datang menyeka-nyekanya.

Kutetap menanti kopimu di suatu senja nanti, tak sekadar hadir dalam imajinasiku. Kuyakin surga telah menyiapkan bebakian di altar mahaluas. Kelak, kehidupan tentang kopi dan kenikmatannya, kita rasakan di situ. Ya, di kehidupan abadi. (*)


Selasa, 14 Juni 2016

BERHENTILAH MEMBELA TUHAN

EFEK KONFLIK. Inilah salah satu korban bom di Turk, 17 Februari 2016 lalu. Intoleransi mahzab mengakibatkan umat Islam saling bunuh. Kita beruntung di Indonesia, toleransi masih kuat sehingga tetap kuat. (AFP PHOTO)

Tuhan Tak Perlu Dibela


Tulisan ini merupakan argumentasi di sebuah kelompok diskusi milik HMI (MPO) tentang Syiah dan non Syiah.

Ada kawan yang kebencian terhadap Syiah-nya sangat  besar. Menurutku, kawan ini belum pernah dengar sejarah penggunaan kata "himpunan". HMI tidak menggunakan kata "ikatan", "front", dll, karena memang HMI sifatnya hanya menghimpun. HMI menghimpun mahasiswa Islam yang bercerai-berai, berserakan, dan kubu-kubuan karena keyakinan.

HMI percaya bahwa Islam adalah agama nilai, tidak sekadar agama ritual (salat, puasa, haji, dll). Islam sebagai nilai, sifatnya lebih universal, umum, dan berlaku untuk semua dalam arti kemanfaatannya.

HMI ingin mengukuhkan himpunan orang muda intelektual Islam memperjuangkan nilai, bukan fiqih. Kasih sayang, memberi rahmat, membawa kesalamatan, cinta, welas asih, damai, empati, memberi, mengangkat, memajukan, menyejahterakan, dll, merupakan nilai Islam.

Jika perbedaan fiqih dan padangan ideologi yang dipertentangkan, maka Islam tidak akan mampu bangkit karena kesibukannya akan habis bertengkar, berdebat, dan berkonflik. Lalu di mana letak "tayyibah wa robbun ghofur" jika dunia diisi dengan ketegangan dan eskalsi konflik?

Saudaraku, Tuhan itu sangat Maha Kuasa. Tanpa dibela pun, Dia tetaplah berkuasa. Akankah kita mengambil alih tugas Tuhan mengkafirkan, melaknat, dan memasukkan mereka yang berbeda dengan kita ke dalam neraka? Itu prerogatif Tuhan, kawan. Itu hak absolut-Nya.

Kita terganggu oleh pandangan dan keyakinan mereka yang berbeda dengan kita? Jawabnya mungkin iya. Dan bagi kawan Hidayat, mungkin jawabnya pasti. Tetapi, bagaimana jika dibalik, mereka juga menyalahkan kita, menganggap kita sesat, lalu mengampanyekan, menyebarkan, dan menggalang dukungan haters?

Sepanjang tak mengganggu keimanan dan cara kita berkeyakinan, biarkan mereka melaksanakan keyakinan sendiri yang mereka anggap benar. Ingat kawanku, iman membuat orang kadang rela mati mempertahankannya jika merasa diganggu.

Anda takut karena pengikut keyakinan yang berbeda dengan Anda semakin banyak? Itu tidak bisa disalahkan. Sepanjang yang bergabung masuk dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan. Justru dakwah Islam ala ahlusunnah wal jamaah Anda yang patut dipertanyakan, kenapa sampai banyak orang yang masuk keyakinan yang berbeda dengan Anda.

Kawan...., dunia Islam ini butuh ketengangan, kedamaian, dan ketentraman untuk merebut peradaban. Saya lebih resah negara-negara Islam terus berperang, konflik, saling bunuh, padahal sesungguhnya baratlah yang mendapatkan keuntungan di atas semua itu.

Timur Tengah menjadi zona paling tegang sebab potensi minyak bumi terbesar ada di sana. Setelah Saddam Husain jatuh, AS mengambil alih kendali produksi dan pasar minyak. Goalnya: kapital!

Sementara kita, ikut-ikutan terjebak memelihara konflik, mempertajam perbedaan, dan meruncingkan prasangka buruk. Itukah tujuan Islam.

Kawan, saya dibesarkan dalam tradisi Muhammadiyah dan ketika kuliah masuk dalam tradisi NU. Saya mengikuti salafi, ikut kajian Islam progresif hingga radikal. Bahkan ikut kajian syiah. Namun saya bukan syiah dan sunni. Saya Islam, saya NU dan Muhammadiyah.

Sampai kapan kebencian terus kita sebar, kawan? Sampai seluruh yang berbeda dengan kita habis dibantai, dibunuh, dan dibakar? Lalu di mana substansi Islam jika kita melulu memperjuangkan artifisialnya?

Kawan, mari bermuhazabah. Tuhan tak perlu dibela. Orang-orang tertindaslah yang menunggu jihad kita, menunggu ilmu kita untuk diterapkan agar mereka mampu terangkat dari kubangan kemiskinan dan ketertinggalan. (RD)

Minggu, 12 Juni 2016

PUISI: KESUCIAN RINDU



KESUCIAN RINDU

Agak sulit menghadirkan
Cahaya hangat pada larut pekat
Di himpitan sesak yang bernama rindu
Andai bisa, ingin kupintal saja
Kumasukkan dalam kelim kain

Ini malam ke-7
Seluruh angan datang melabuh
Di dermaga hati serupa tempat para buruh
Mereka menaruh harap berpeluh-peluh
Hingga nyaris lupa waktu subuh

Malam ini benar-benar hening
Hampa tanpa sejuk sapa mesramu
Terkadang riuh gemuruh
Saat semua menumpah resah

Ini Ramadan ke-7
Aku tak hendak mengeluh
Tak juga kehilangan ruh
Namun ini tentangmu, cinta menumbuh
Terus-menerus hingga melupuh

Aku tak peduli ruang dan jarak
Hatiku berisi tumpukan bayang
Membisik sepanjang waktu
Mesra, dekat, mendekap
Aku merindumu

****










Selasa, 10 Mei 2016

Puisi: Epik Tak Tuntas



EPIK TAK TUNTAS

Mungkin diam adalah kawan
Kala berseteru dalam kesenyapan
Sua yang tak pernah nyata
Di labirin rindu nan menyiksa

Kita, sebenarnya, tidak sedang merenung
Serupa bulan malam pertama
Berdendang lirih lembut menggaung
Usai merihat, muncul dengan wajah ceria

Namun tidak!

Wajah-wajah letih merangkak laun
Menyusuri ilalang setengah basah di kebun
Penyaksi gadis pemintal dirayu pembayun
Merintih, lalu elegi mengalun

Kita adalah epik tak tuntas
Cerita yang tertunda waktu
"Nihilkan ruang," katamu
Sebab angkasa menanti kita saling mendaras

Barangkali itu antitesismu
Tentang ruang semu nan hambar
Di sebuah istana putri pemalu
Mungkinkah itu nilai tawar?

(***)

Malam di redaksi, 01.25 Wita



Senin, 04 April 2016

Puisi: LIPATAN RINDU

LIPATAN RINDU

Senja belum usai
Jika kamu mencariku, aku di sini
Di seberang rindu
Meringkuk sepi

Aku ada di lipatan temaram bernama masa lalu
Tak pernah bisa bebas
Sebab auramu serupa bumbu
Menjadi candu sepanjang waktu

Aku merasa nyaman dihinggapi
Kerinduan yang tak pernah tumpul
Terus-menerus bergumul
Dalam hasrat yang selalu membadai

Resah hanya musuh lampau
Belatung segagah apapun, tetaplah seram
Cukup diam, menantimu
Di sini, di ujung kehampaan malam
(***)

Minggu, 03 April 2016

MENGHINDARI SAMBARAN PETIR

MEMATIKAN. Petir bisa menyambar apa saja yang ada di sekelilignya, termasuk manusia. Hindari berada di daerah lapang sendirian.


MENGHINDARI SAMBARAN PETIR

SERING kali kita membaca atau menonton berita tentang seseorang atau sekelompok orang yang tewas tersambar petir. Itu memang fakta. Petir kerap menyambar manusia.

Namun sebetulnya, kecelakaan naas itu bisa dihindari. Berikut beberapa tips yang dapat kita lakukan untuk menghindari sambaran petir.

1. Jika Anda melihat kilat atau mendengar geledak guruh, segeralah menuju bangunan yang telah dilindungi dengan penangkal petir atau mendekatlah ke mobil atau truk,

2.Pakailah sepatu kulit atau karet yang tidak bocor, usahakan untuk memakai kaus kaki kering sebagai upaya pemisah tubuh kita dari tanah sehingga petir enggan melalui tubuh kita,

3.Jika Anda berada di luar rumah hindari area terbuka, tempat ketinggian, berada di lokasi yang berair,di bawah pohon yang  tinggi dan benda logam yang menjulang tinggi,

4.Jika tempat berlindung tidak diperoleh, Anda harus jongkok tapi hindarkan tangan anda menyentuh tanah dan jangan berbaring karena akan memudahkan penyaluran tenaga petir,

5.Jika anda berada di luar ruangan jangan berdiri  bergerombol dengan orang lain buatlah jarak sekitar lima meter,

6.Jika Anda di tempat terbuka dan merasakan rambut anda berdiri itu pertanda petir akan menyambar Anda, maka anda harus melakukan gerakan rukuk yaitu menekuk badan kearah depan dan menempatkan tangan di atas kedua lutut,

7.Jika Anda dalam ruangan jangan berada dekat dengan pintu, jendela, dan tempat yang berair,
8.Barang-barang elektronik eperti televisi, radio, komputer, dll., sebaiknya dimatikan dan dicabut kabel power dari stop kontak listrik.Jika peralatan elektronik tersebut tidak memungkinkan untuk dicabut seperti telepon maka jaga jarak,

9.Jika Anda membawa handphone, HT, dan radio dalam saku anda maka matikan segera untuk mengurangi rangsangan petir yang menyambar. (bs)


Jumat, 05 Februari 2016

Puisi: PIPIT BELANTARA


PIPIT BELANTARA

Tak ada yang bisa menyerupai
Kepak sayapmu yang lembut
Indah bak berukir
Kuat, mengempas, bahkan badai sekalipun

Kamu pernah terbui
Bukan terbuai
Sangat lama itu terjadi
Lalu masihkah kamu berpatri?

Terbang, terbang, terbanglah....
Biarkan mereka melihatmu basah
Hujan adalah intro pelawan gelisah
Dan kamu telah melaluinya semringah

Sangkar bukan lagi tempatmu
Mayapada menantimu berkicau
Menyanyi, walau suaramu ceracau
Di lain waktu akan memukau

Lihat, lihat, lihatlah....
Diameter langit menyuguhi gerhana merah
Mirip wajahmu yang tak pernah gerah
Di segala situasi selalu indah

Duhai, kamu... Pipit senjaku
Tanpa bui, kamu itu kebebasan tak baku
Melanglang, enggan berpaku
Kau tak 'kan lelah menopang malu beku

****

Kehidupan memberimu arti
Tentang pertentangan logika dan rasa
Tetang komitmen dan ketidakpastian
Tentang kesungguhan dan kepura-puraan

Telah kamu saksikan
Seluruh alam memujimu semu
Mungkin ada yang abadi
Tapi sekadar artikulasi perindu
Atau mungkin juga penggoda

Rindumu diisi oleh hamparan kebutaan
Laut, rimba, dan gurun
Telah meluaskan sekat cintamu
Namun tidak dengan hatimu

Pipitku, ingatlah kesenjaan
Tempat berbalik saat penat
Atau saat sejuk berubah badai salju
Tak lagi dingin, tapi kelu

Kamu tetap merdeka
Bebas menukik dan berakrobat
Tapi ingatlah, Pipitku
Langit terlalu luas untuk kamu itari

****

Corak jingga merelung di ufuk
Keriuhan langit berubah kepanikan
Langit gelap: awan dan malam
Kamu harus kembali, bukan?

Pulanglah, Pit...
Tubuh mungilmu harus tetap kuat
Kembalilah...
Kumpulkan energimu untuk esok

Petualanganmu belum tuntas
Kembalilah mereso
Esok menatimu beraso
Kamu pantas.....

(***)
Asal coret
(Sabtu, 6 Februari 2016)



Kamis, 21 Januari 2016

Miris, Inilah Kisah Perjuangan Guru di Pulau Terpencil (2-Selesai)


Tiga Kali Ganti Mesin Perahu, Pemerintah Terkesan Acuh


KENDATI tak mendapatkan support dari pemerintah, para guru ini tak pernah patah arang. Mereka patungan membeli perahu.

RIDWAN MARZUKI
Pangkep

CERITA tentang guru apung ini memang memiriskan. Pengabdian mereka untuk dunia pendidikan, khususnya untuk wilayah pesisir dan kepulauan, tak dihargai sepadan oleh pemerintah. Setiap kali mesin perahu mereka rusak, para guru ini harus berkongsi atau patungan uang untuk membeli mesin baru.

Perahu jolloro yang mereka pakai dari Pangkajene ke Pulau Pandang Lau, ini sudah dua kali berganti nama. Dulu, mereka menamainya Ayu Tinting saat penyanyi Ayu Tingting mulai naik daun dengan lagu Alamat Palsu-nya. Belakangan baru diganti lagi menjadi Gunung Jati saat diservis dan catnya diperbaharui. 

Perahu ini juga sudah tiga kali ganti mesin dengan tetap menggunakan badan perahu sebelumnya. Anggaran pembelian mesin bari didapatkan dari swadaya mereka sendiri. Kini, mesin ketiga juga sudah mulai bermasalah. Butuh waktu dan tenaga ekstra setiap kali hendak di-starter atau dinyalakan. Jika pun menyala, suara mesinnya begitu bising dan kasar. Tak bisa lagi dipaksakan, terutama ketika kecepatannya ingin dikebut.

Jolloro tersebut sudah sangat tak layak dipakai, namun tak kunjung ada perhatian dari pemerintah.  Selain membeli perahu, para guru ini juga patungan membeli bahan bakar minyak (BBM) berupa solar. Tak ada anggaran dari dinas pendidikan untuk operasional perahu mereka. Jadi selain harus membeli perahu, mengganti mesin, bahkan BBM yang dipakai pun menggunakan uang saku mereka sendiri sebab tak ada bantuan dari pemerintah.

Pun demikian, para guru pemberani ini masih tetap bersyukur di tengah ironi dunia pendidikan. Dengan menggunakan perahu sendiri, biaya operasional tidak sebesar dibandingkan menggunakan perahu komersial. Jika menggunakan perahu operasional, pada 2008 saja, tarifnya Rp40 ribu sekali jalan. Artinya butuh Rp80 ribu PP. Itu tarif tujuh tahun lalu. Kini, nominal tarifnya telah naik berkali lipat.


Nama-nama guru yang mengajar SDN 57 Pandang Lau dan setiap hari naik perahu menuju dan balik sekolah yakni Iqbal (guru penjaskes), Jamaluddin (guru kelas IV), Naima Yuniwati (guru kelas VI), Taufan Muin (guru kelas V), Rifay (guru kelas III), Erniwati (guru kelas II), Siti Atifah (guru kelas I), Rusli (guru agama), Rahmawati (guru muatan lokal), dan Mukhtar (guruPendais) namun baru saja pindah mengajar ke tempat lain.

Saat hujan datang, apalagi jika terjadi badai, kerap mereka harus menunggu situasi aman baru berangkat atau meninggalkan sekolah. Ini untuk mengantisipasi terjangan ombak, terutama di sekitar Pandang Lau yang berbatasan langsung dengan laut lepas. Namun kondisi apapun yang terjadi, para murid tak boleh diabaikan. Mereka mengupayakan semua cara agar bisa sampai ke sekolah.

"Pakai jas hujan di atas perahu kalau hujan. Kita stand by-kan jas hujan," ujar Rifay, salah seorang guru SDN 57 Pandang Lau saat FAJAR ikut menumpang di atas perahu mereka.

Perahu yang mereka pakai bermesin 10 PK. Sebenarnya sudah sangat tidak layak. Sekeliling mesin sudah karatan dan menghitam. Butuh beberapa kali starter baru bisa menyala. Belum lagi badan perahu yang sudah lapuk. Rencananya, mereka akan meminta bantuan pemerintah lagi.

Namun jika permohonan tak juga direspons, maka mereka akan kembali menabung dengan menyisihkan gaji yang mereka terima untuk membeli perahu baru yang lebih layak. Rata-rata,guru ini harus bolak-balik Pangkajene-Pandang Lau sebab mereka memiliki keluarga dan anak yang telah bersekolah. Tak ada SMP dan SMA di Pandang Lau.

Naima, misalnya. Dia punya dua anak yang saat ini sudah di duduk di SMP dan SMA. Kenyataan ini yang mengharuskannya bolak-balik. Lagipula, kendati di Pandang Lau ada mes guru, namun sangat jauh dari layak. Dua unit mes guru tersebut ukurannya sangat kecil kira-kira 5x4 meter berlantai tanah, dan seluruh dindingnya telah keropos. Lubang di mana-mana dan hampir ambruk. Belum lagi susahnya air bersih di pulau ini dan listrik di pulau ini.


Saat Gunung Jati telah bersandar, di gerbang sekolah, murid-murid menunggu kemudian menyambut. Bergiliran mereka menyalami para guru. Punggung tangan para guru ini dicium oleh para murid. Suasananya sangat menenteramkan melihat bocah-bocah masa depan pulau yang menjadi tumpuan harapan mengangkat daerah mereka dari kubangan kemiskinan. Selanjutnya, mereka secara teratur masuk ke dalam kelas. Setelah membaca doa, pelajaran dimulai.

Tak begitu banyak alat peraga di sekolah ini. Peralatan mengajar juga seadanya. Tak ada perpustakaan lengkap, apalagi laboratorium. Sebetulnya, SDN 57 Pandang Lau dua tahun lalu mendapatkan bantuan renovasi. Lantainya telah ditegel. Model bangunannya berbentuk huruf L. Namun itu tak maksimal. Tak ada fasilitas bermain karena ketiadaan lapangan. Lahan kosong depan sekolah dijadikan kolam penampungan air hujan oleh warga setempat. 

Setiap hari, tinja kambing terlihat berserakan di ubin sekolah. Warga yang memasukkan kambing ke situ. Di sekolah ini juga tak ada listrik meski ada komputer sebagai inventaris sekolah. Di Pandang Lau, warga belum menikmati layanan PLN. Mereka memanfaatkan genset umum yang hanya menyala tiga jam sehari, pukul 18.00-21.00.

Sebetulnya ada genset kecil di kantor sekolah. Ini digunakan untuk menyalakan komputer. Hanya saja, karena minimnya anggaran operasional genset dengan peak power 1000 W, sehingga para guru terkesan jarang memanfaatkannya. Jumlah murid di sekolah ini hanya 50-an orang.


Tokoh masyarakat Pandang Lau, H Sampara, juga prihatin dengan kondisi para guru. Ia bahkan berkali-kali mengajukan dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) agar para guru dibantu perahu operasional. Sayang, tak pernah direalisasikan. Pandang Lau dihuni oleh 80-an KK dan terdapat 70-an rumah. Luas areanya mencapai 15.000 meter persegi.

"Penduduk di sini 100 persen nelayan. Cuma air bersih memang tidak ada. Harus  beli di luar dengan harga Rp1000 per jerigen diangkut pakai perahu," katanya. 

Kepala SDN 57 Pandang Lau, Muh Idris, juga pernah meminta bantuan perahu. Sayang, dinas pendidikan beralasan, tidak ada nomenklatur untuk itu dalam APBD. Jika demikian, apakah selamanya para guru ini akan bertaruh nyawa demi ikut mencerdaskan anak-anak pulau? Tak ada kebijakan lebih humanis untuk membantu mereka? Pemerintah pasti bisa menjawabnya. Selamat Hari Pendidikan Nasional! (*)

Miris, Inilah Kisah Perjuangan Guru di Pulau Terpencil (1)

Gunakan Perahu Usang, Setiap Hari Menantang Maut

Dedikasi butuh perjuangan, bahkan nyawa pun dipertaruhkan. Inilah risiko yang dihadapi 11guru di Pulau Pandang Lau, Pangkep.

RIDWAN MARZUKI 
Pangkep

Dermaga Parang-parang di Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep, masih sepi. Beberapa perahu terlihat masih tertambat. Di antara perahu itu, ada satu perahu yang tampak sangat usang. Mulai lapuk. 

Catnya sudah pudar. Awalnya kuning, kini berubah menjadi warga krem. Badan perahu yang terbuat dari kayu berkualitas rendah itu sudah berlubang di beberapa sisi. Bentuknya tak lagi utuh. Kayu-kayu dinding perahu sudah lapuk dan keropos. Banyak bagian yang telah patah. Perahu ini berjenis jolloro, perahu tradisional yang banyak digunakan nelayan Sulsel.

Jolloro yang diberi nama Gunung Jati inilah yang digunakan para guru yang mengajar di SDN 57 Pulau Pandang Lau. Ada 11 guru yang mengajar di sekolah itu. Pandang Lau merupakan nama perkampungan dengan jumlah penduduk tak sampai 500 orang. 

Di pulau ini, hanya ada satu sekolah, itupun cuma SD. Minimnya infrastruktur membuat para guru ini harus bolak-balik daratan-pulau setiap hari. Rutin, setiap hari pukul 06.30 Wita, para guru ini telah berkumpul di dermaga. Di situ, ada rumah warga. Para guru saling menunggu di sana. Jika telah lengkap, barulah mereka berangkat. Suasana kebersamaan begitu terasa. 

Dalam perjalanan, sesekali muncul suasana tegang. Dengan perahu kecil dan tak lagi normal itu, ada kekhawatiran sewaktu-waktu mesin perahu mati atau bahkan oleng diterjang ombak.


Taufan, salah seorang guru yang berperan menyalakan mesin setiap kali mereka akan berangkat. Ia mulai memutar mesin dengan gagang khusus. Beberapa kali ia berupaya, mesin tak kunjung menyala. Ia memutar gagang tersebut sekuat tenaga, namun tak kunjung menyala. 

Keringat mengucur dari dahinya. Baju seragam PNS yang ia kenakan juga mulai dibasahi keringat. Ketiga kali mencoba menyalakan mesin, lagi-lagi gagal. "Mesinnya sudah tua," ujar Naima Yuniwati, guru lainnya, rekan Taufan, kepada penulis yang menyertai perjalanan mereka ke Pandang Lau.

Empat guru perempuan dan dua guru laki-laki penuh harap agar mesin bisa segera hidup. 
Kepala sekolah hanya datang mengecek sebelum akhirnya harus balik lagi ke kota karena ada rapat dengan Dinas Pendidikan. Satu lainnya, guru agama, telah pindah. Lalu seorang guru olahraga, memilih menggunakan perahu dari arah Kabupaten Maros.

Karena tak kunjung menyala, Muh Idris, sang kepala sekolah hendak membantu. Dengan sekuat tenaga, ia memutar gagang mesin. Mula-mula pelan-pelan, lalu dipercepat, lantas diputar sangat kencang. Ia tak berhasil. Sesaat ia menarik napas, memperbaiki posisi, lalu mencoba lagi melakukan starter. Sayang, mesin tak kunjung menyala. Peluh terlihat mengucur deras dari keningnya. Ia menyerah.

Taufan mengambil alih kembali gagang. Celana panjang di ujung kaki kirinya dilipat ke atas. Ia memasang kuda-kuda. "Bismillahir rahmani rahim," dia memutar gagang sekuat tenaga. Pada putaran terakhir, mesin mulai "batuk-batuk" lantas menyala. Wajah para guru semringah. Satu per satu mereka naik ke perahu.

Taufan dibantu guru lainnya, Rifay, mulai menjalankan jolloro menyusuri sungai yang di sisi kiri dan kanan ditumbuhi bakau. Semua mengatur posisi. Tak boleh bergerak berlebihan. Jika itu dilanggar, dipastikan perahu akan oleng dan bisa terbalik.

Baik Taufan maupun Rifay, sama-sama memegang kendali. Taufan menyetir dari arah belakang, sementara Rifay di bagian depan memegang kayuh. Mereka berbagi peran sebab dari dermaga sebelum tiba di laut lepas, ukuran sungai sangat sempit. Banyak perahu lalu lalang di situ. Karena bentuknya yang berkelok-kelok, maka haluan belakang harus dibantu di depan.

Beberapa kali, perahu yang digunakan sempat beriringan dan berpapasan dengan perahu dengan nelayan. Pada situasi seperti itu, Taufan yang mengatur kecepatan, akan menurunkan laju. Ini untuk menghindari senggolan atau bahkan tabrakan dengan perahu lain. 

Para guru ini terbilang nekat. Dengan kondisi perahu yang sangat mencemaskan terutama karena mesin dan badan perahu yang telah rusak, tentu sangat membahayakan. Sewaktu-waktu bisa terbalik atau bahkan tenggelam sebab kebocoran di dinding samping sudah parah. Kenekatan mereka juga terlihat dengan tidak adanya seorang guru pun yang memakai pelampung.

Demi pengabdian, mereka mempertaruhkan nyawa. Jika sudah berada di atas perahu, hanya pasrah yang bisa mereka lakukan. Hanya tudung kepala yang mereka pakai. Ada yang menggunakan caping, ada juga yang memakai helm untuk mengurangi sengatan matahari saat pulang nanti.


Taufan dan Rifay berkali-kali harus berjuang menghindari pukat-pukat milik warga yang dipasang sebelum sampai ke laut terbuka. Juga selalu waspada menghindari cabang-cabang dan akar-akar bakau yang menjulur keluar. Butuh 20 menit untuk sampai ke laut lepas. Ombak sudah mulai menyergap perahu. Tak satupun yang bersuara. Semuanya memercayakan kepada Taufan dan Rifay.

Kira-kira 40 menit, perahu tiba di dermaga Pandang Lau. Taufan menyandarkan jolloro. Satu per satu naik ke dermaga. Perahu jenis jolloro yang diberi nama Gunung Jati ini usianya telah tua. Dibuat pada 2008 lalu. Tak ada ada perawatan khusus sebab harus ditambatkan di dermaga, sementara mereka tinggal jauh dari lokasi. Perahu ini dibeli oleh para guru SDN 57 Pandang Lau secara swadaya lantaran beberapa kali mengajukan permohonan bantuan ke pemerintah, tak pernah digubris. (*)


Baca juga:
http://lingkarstudyrumput.blogspot.co.id/2016/01/miris-inilah-kisah-perjuangan-guru-di_21.html