Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Jumat, 30 April 2010

Petugas Sampah Kota Makassar

*Jadi Pemulung Untuk Tutupi Kebutuhan

Mereka memilih bertahan walau gaji pas-pasan. Mereka hanya mengharapkan tunjangan di hari tua nanti, yaitu dana pensiun.

RIDWAN MARZUKI
Jalan Kerung-kerung

Sosoknya tidak begitu tinggi. Ia baru saja memarkir kendaraannya ketika saya menghampirinya di bagian operasional dinas kebersihan Kota Makassar, Kamis, 29 April. Mulanya ia tak mau berkomentar. Alasannya takut mendapat sanksi dari atasannya. Tetapi setelah penulis yakinkan, akhirnya ia bersedia bercerita.

Namanya Kamaluddin. Dia salah seorang sopir pada dinas kebersihan Kota Makssar. Usianya sekitar 40-an tahun. Kini tugasnya sebagai pengemudi mobil truk sampah. Setiap hari itu kerjanya. Tak ada libur sama sekali. Maklum, sampah merupakan barang menjijikkan yang harus dibuang setiap hari. Jika tidak, maka sampah-sampah tersebut pasti akan sangat mengganggu.

Setiap hari, ia bersama beberapa orang rekannya menyisiri jalan-jalan di Kota Makassar. Tentu saja dengan dengan mengemudikan kendaraan truk sampahnya itu. Tujuannya sudah pasti: mengangkut sampah-sampah dari depan rumah-rumah warga metropolitan. Selanjutnya dibawa ke tempat pembuangan terakhir (TPA) di Antang.

Bau sampah yang begitu busuk sudah menjadi langganan keseharian Kamaluddin. Ia tak pernah jijik. Menurutnya, sampah itu adalah berkah baginya. Dari sanalah ia bisa hidup, walau serba pas-pasan. Ia mengaku mensyukuri pekerjaannya.

Kamaluddin kini memiliki empat orang anak. Yang sulung berusia 23 tahun. Anak keduanya berusia 19 tahun. Lalu yang ke tiga berusia 15 tahun. Terakhir, yang bungsu berusia 10 tahun, sedang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar (SD).

Sayang, tiga anaknya putus sekolah. Malah yang sulung tidak sampai tamat SD. Saat ini dia menjadi pemulung karena keterbatasan pendidikan. Dua lainnya hanya tamat sekolah menengah pertama (SMP). Sudah tidak lanjut juga. "Tidak ada dana untuk meneyekolahkan mereka tinggi-tinggi," kata Kamaluddin menjelaskan alasan anaknya tidak lanjut sekolah.

Memang penghasilan Kamaluddin sangatlah pas-pasan. Gaji pokok yang diterimanya hanya Rp 500 ribu per bulan. Padahal, masa pengabdiannya di dinas kebersihan sudah sekitar 28 tahun. Gaji itulah yang dipakai untuk membiayai kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya sehari-hari.

Kamaluddin merupakan salah satu dari sekitar 80-an pegawai honorer pada dinas kebersihan Kota Makassar yang belum terangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Padahal sejak tahun 1984, ia mengabdi di intansi tersebut. Waktu itu usianya baru belasan tahun. Tetapi karena tuntutan hidup sehingga ia terpaksa bekerja walau usianya masih sangat sangat muda kala itu.

Maklum, sejak kecil orang tua Kamaluddin telah tiada. Dengan keadaan begitu, mau tidak mau ia harus bekerja agar bisa terus melanjutkan hidup. Padahal saat itu ia hanya tamat SD. Praktis tak banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan, utamanya yang membutuhkan ijazah yang lebih tinggi. "Karena orang tua tidak ada saat itu, jadi masuk menjadi pekerja sampah," kenangnya.

Tetapi Kamaluddin setidaknya bisa berterima kasih. Ketiga anaknya yang putus sekolah kini sedang mengikuti sekolah nonformal. Lembaga pendidikan tersebut dikelola oleh relawan-relawan dari kalangan mahasiswa. Sekolah ini terdapat di TPA Antang. Namanya Sekolah pemulung. Dominan yang menjadi pesertanya meruapakan anak-anak pemulung dan tukang sampah. Termasuk anak Kamaluddin bersekolah gratis di tempat itu secara gratis.

Saat pendataan tenaga honorer, Kamaluddin mengaku sudah melengkapi semua berkas persyaratannya. Ekspektasinya pun kian melambung saat itu bahwa tak lama lagi ia akan menjadi CPNS. Sayang, sejak pendataan tahun 2005 silam, Kamaluddin tak kunjung mendapatkan SK CPNS.

Tak jauh beda dengan Kamaluddin, Dado pun memiliki nasib yang sama. Sudah 20-an tahun ia bekerja pada dinas kebersihan. Tetapi hingga kini belum juga terangkat menjadi CPNS. Padahal ia memiliki SK honorer dari walikota sejak tahun 1997. Dado masuk di dinas kebersihan sejak tahun 1990.

Kedua orang petugas sampah ini mengakui jika gaji mereka pas-pasan. Untuk menutup kebutuhan yang lain, maka mereka menjadi pemulung. Pemulung di sini bukan yang berkeliling dengan becak keluar masuk lorong. Caranya, mereka menjadi pemungut sekaligus pemulung sampah. Sampah-sampah plastik yang dibuang oleh warga kota di tempat sampah, itu mereka pisahkan dengan sampah basah. Selanjutnya setelah terkumpul, sampah-sampah plastik tersebut mereka jual ke pedagang loakan. Hasilnya lalu mereka bagi sesuai dengan jumlah petugas sampah yang ikut dalam satu truk sampah.

Bukan cuma itu, warga juga kadang-kadang empati dengan mereka. Tak jarang ada warga yang memberi mereka tip saat mengambil sampah di depan rumahnya. "Kalau penghasilan mau dihitung, itu tidak cukup, Pak. Tetapi kadang ada masyarakat yang memberi yang diambil sampahnya memberi kita Rp 5.000 sampai Rp 10 ribu. mereka kadang kasihan melihat kita," tutur Dado. Namun begitu, berapapun penghasilannya, ia mengaku mensyukurinya.

Para petugas sampah ini memang sempat melakukakn aksi mogok selama tiga hari. Terhitung sejak Senin sampai Rabu (26-28 April), mereka mogok kerja tidak mengangkut sampah. Walhasil sampah di Kota Makassar ini menjadi menumpuk di mana-mana. Bahkan menyebabkan bau yang cukup menyengat.

Sebetulnya para petugas sampah ini tak bermaksud untuk mogok. Mereka juga tak berniat untuk tidak melayani warga. Hanya saja, aksi mogok tersebut mereka lakukan lantaran tak mendapat perhatian dari pemerintah, utamanya pemerintah kota.

Salah seorang staf di seksi operasional dinas pertamanan dan kebersihan Kota Makassar, M Syahrul S, membenarkan aksi mogok petugas sampah tersebut. Menurutnya, para petugas sampah ini mogok karena menuntut diangkat menjadi CPNS.

Persoalan ini, terang dia, sebetulnya karena badan kepegawaian nasional (BKN) yang belum memberi nomor induk pegawai (NIP) para honorer dinas kebersihan ini. Sementara badan kepegawaian daerah (BKD) tidak bisa mengeluarkan SK CPNS jika NIP tersebut belum ada. "Jadi ini bukan kesalahan BKD kota, tetapi kesalahan BKN pusat," tegas Syahrul.

BKN, kata Syahrul, menganggap para petugas kebersihan ini sebagai pegawai perusahaan. Padahal, para pegawai honorer yang bekerja pada perusahaan daerah (perusda) kebersihan saat itu merupakan pegawai honorer yang diperbantukan. Memang sesuai PP 48 Tahun 2004, pegawai pada perusahaan daerah yang gajinya bukan berasal dari APBD atau APBN tidak bisa menjadi CPNS.

Tetapi menurut Syahrul, itu tidak bisa berlaku pada pegawai di perusda kebersihan Kota Makassar. Alasannya, karena gaji para honorer tersebut bersumber dari APBD dan mereka memiliki SK sebagi tenaga honorer. Mestinya para tenag honorer ini diangkat bertahap menjadi CPNS sejak 2005 lalu. Apalagi, dari 112 tenaga honorer di perusda kebersihan, 18 orang di antaranya sudah terangkat menjadi CPNS dan PNS.

Kini, para petugas sampah tersebut hanya bisa berharap. Mereka juga sudah kembali melaksanakan tugasnya setelah sempat melakukan mogok selama tiga hari. Terhitung sejak Kamis, 29 April kemarin, mereka kembali melaksanakan rutinitasnya. Sampai kapan mereka menunggu SK CPNS-nya keluar. (*)
Diskusi AJI Tentang Kesejahteraan Pekerja Pers
*Jurnalis, antara Industri dan Profesi

Diskusi tentang kesejahteraan pekerja pers dianggap tak pernah selesai. Kesannya pun lebih berkonotasi negatif. Karena seolah-olah hanya mengeluh, ingin dikasihani.

RIDWAN MARZUKI
Jalan Sultan Alauddin

Entah sudah berapa banyak diskusi yang membahas kejahteraan pekerja pers. Temanya pun dinilai terjebak pada lingkaran relasi antara pemilik media dan pekerja media atau wartawan. Padahal, mestinya diskusi tentang kesejahteraan pekerja pers saatnya dibahas lebih maju.

Bukan saatnya lagi wartawan mengeluh pada nominal upah yang diperolehnya. Terobosan baru menjadi penting untuk ditemukan sebagai solusi mengatasi kesenjangan ekonomi pekerja pers. Di antaranya, pekerja pers bisa menjadi enterpreneur. Tepatnya disebut wartawan enterpreneur.

Masalah tentang kesejahteraan pekerja pers ini dibahas dalam diskusi yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, di Cafe STIE Nobel, Kamis, 29 April. Diskusi ini mengangkat tema, Kesejahteraan Pekerja Pers di Tengah Perkembangan Industri Media.

Hadir sebagai pembicara antara lain, Syarif Amir dari Tribun Timur, Yusuf AR dari Harian Fajar, Ansar Manrulu dari Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Sulsel, serta Mulyadi Mau dari akademisi dan praktisi media.

Dalam pemaparannya, Syarif Amir menilai jika perkembangan media pascaorde baru cukup signifikan. Hal itu lalu melahirkan konglomerasi media. Dulu, kata dia, sebuah media hanya identik surat kabar. Tetapi sekarang sudah meluas. Satu media kadang memiliki televisi sekaligus radio.

Terkait dengan pengupahan, lanjut Syarif, hal itu sangat tergntung dengan kemampuan dari media tersebut. Semakin mapan sebuah media, maka semakin mampu mengupah lebih tinggi. "Untuk media-media yang sudah mapan karena laba yang cukup signifikan, biasanya reward kesejahteraan wartawannya berbanding lurus," kata Syarif.

Lain lagi dengan Muhammad Yusuf AR. Menurutnya, tema yang diangkat oleh AJI seolah-olah gugatan kepada pemilik media. Jika ingin kaya, kata dia, jangan menjadi wartawan. Tetapi jadilah pengusaha. Yang lebih baik, lanjutnya, seorang wartawan juga berprofesi sebagai pengusaha. "kalau mau kaya jadilah wartawan pengusaha tanpa meninggalkan profesi sebagai wartawan," ungkap Yusuf.

Hanya saja jika menjadi enterpreneur, maka hal tersebut akan mengantar jurnalis berada pada wilayah abu-abu. Tetapi menurutnya, menjadi wartawan enterpreneur itu memungkinkan. "Sangat bisa. Itu sangat memungkinkan. Tetapi lebih baik lagi kalau kita bercita-cita menjadi pengusaha media," imbuh dia.
Soal upah, Yusuf menganggap jika nominal yang jadi ukuran, maka itu tak pernah cukup. Ia mencontohkan, jika dulu gaji satu juta malah sudah bisa ber-HP. Artinya, gaji Rp sejuta pun ternyata mencukupi. Tetapi setelah gaji naik melebihi satu juta, kita merasa belum juga cukup. Makanya yang terpenting adalah wartawan tercukupi kebutuhan dasarnya. Makanya, yang patut diperjuangkan adalah pemerataan kesejahteraan antarpekerja pers.

Persamaan persepsi antara wartawan dengan pemilik media juga penting. Itu untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak. Wartawan juga jangan cuma menuntut kesehteraan sementara melupakan kapabilitasnya. Wartawan dituntut untuk selalu meningkatkan kompetensinya.

Yusuf mengklasifikasikan wartawan dalam dua kutub. Satu sisi wartawan berada dalam industri media, di sisi lain memiliki peran profesional. Sebagai karyawan dalam perusahaan, posisi wartawan sama dengan buruh. Tetapi dalam peran wartawan sebagai profesi, maka wartawan dituntut untuk memiliki kompetensi. Wartawan dituntut untuk lebih profesional.

Sementara itu, Ansar Manralulu dalam pemaparannya menilai jika buruh dengan pekerja pers memiliki kesamaan. Walaupun ada spesifikasi yang dimiliki oleh pekerja pers atau jurnalis. "Walaupun ada spesifikasi bagi jurnalis, tetapi pada umumnya sama dengan buruh," tegas dia.

Persamaan tersebut, lanjut Ansar, misalnya pada adanya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), tingkat kesejahteraan, serta perlindungan kerja. Hal tesebut dalam kaitannya media sebagai industri. Menurutnya, sekitar 70 persen wartawan, gajinya masih di bawah upah minimum provinsi (UMP). "Makanya dari pemerintah harus ada standar upah untuk pekerja media," ungkapnya.

Selain itu kesejahteraan pekerja pers juga harus diperhatikan oleh perusahaan media. Bentuknya bisa berupa kepemilikan saham bersama atau pembagian hasil atau laba dari perusahaan. Di sinilah signifikansi adanya serikat kerja. "Serikat pekerja bukan cuma berkaitan dengan kesejahteraan, tetapi juga berhubungan dengan penguatan kapasitas (buru, red)," tambahnya.

Ansar juga menekankan perlu adanya keterwakilan pekerja pers dalam dewan pengupahan. Ini bertujuan untuk memperjuangkan standar upah sektoral untuk pekerja media.
Pembiacara selanjutnya, Mulyadi Mau, menjelaskan jika peran media atau pers itu mengalami perluasan arti dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Sebelumnya pers memiliki fungsi pendidikan, sosial, dan kontrol. Tetapi dalam undang-undang tersebut peran pers bertambah, yaitu fungsi industri.

Oleh karena itu, wartawan memiliki dua peran sekaligus. Yakni, wartawan sebagai pekerja industri dan sebagai pekerja sosial atau profesi. Sebagai pekerja industri, maka acuanya adalah UU perburuhan. Sedangkan fungsi sosial, maka acuannya adalah profesionalisme. Mulyadi menyebut fungsi jurnalis dengan economic profit dan social profit. "Jadi posisi jurnalis tidak betul-betul sama dengan buruh," kata dia.

Jurnalis sebagai pekerja profesional, diikat oleh UU Pers dan etika jurnalistik. Gaji jurnalis berhubungan dengan industri. Sedangkan tunjangan jurnalis berhubungan dengan profesi. "Ketika ia (jurnalis, red) memenuhi syarat-syarat profesional, maka ia berhak mendapatkan tunjangan fungsional," imbuh Mulyadi. Makanya, profesionalitas juga mesti ditakar untuk menuntut gaji yang tinggi.

Jurnalis, lanjut Mulyadi, juga dituntut untuk meningkatkan pendidikan dan pengetahuannya. Ini untuk meningkatkan keprofesionalannya. Menurut dia, profesional itu orientasinya kemanusiaan. Wartawan tidak dituntut karena kerja-kerja industri. Tetapi dibayar mahal karena fungsi kemanusiaannya.
Mulyadi juga mengemukakan jika menekankan pentingnya upah kepada pekerja pers. Sebaiknya, kata dia, 30 persen dari ongkos produksi media diberikan kepada pekerja pers. Lalu, setiap tahun idealnya, gaji juga naik karena faktor inflasi.

Seorang peserta diskusi, Mukhtar, juga ikut memberi saran. Menurutnya, kesejahteraan itu merupakan persoalan belakangan. Yang paling penting, lanjut dia, adalah terjaminnya kepastian kerja terlebih dulu. Itu karena tingginya gaji belum menjadi jaminan bekerja. Pekerja pers bisa saja di-PHK secara tiba-tiba. "Makanya harus ada serikat kerja dalam perusahaan media," kata dia.

Serikat kerja, lanjut dia, merupakan wadah untuk melakukan diskusi dengan pemilik perusahaan. Tujuannya agar pekerja pers juga memilik bargaining position dalam perusahaan tersebut. (zuk)

Tender Elektronik Masih Berisiko

MAKASSAR--Tender lewat elektronik dianggap masih

memiliki kelemahan. Selain gangguan jaringan,

manipulasi berkas juga kerap terjadi. Cukup banyak

vendor yang sering melakuikan pemalsuan berkas.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi mengenai

tender elektronik yang digelar oleh Ujungpandang

Express, Kamis, 29 April. Diskusi meja bundar ini digelar

di Studio Mini Ujungpandang Ekspres.
Hadir sebagai pembicara antara lain, Ketua

Lembaga Pengadaan Sistem Elektronik (LPSE)

Universitas Negeri Makassar (UNM), M Kahar A

Palinrungi, koordinator LPSE Kota Makassar, Ahmad

Kafrani, Ketua Lembaga Pengadaan Jasa Kontruksi

Daerah Sulsel, Ir Panguriseng, dan ketua Asosiasi Aspal

Beton Indonesia (AABI), Ir Untung siradju.
Menurut Untung, kelemahan dari sistem tender

elektronik tersebut karena kadang-kadang tidak bisa

terhubung. Alamat situs tender kadang kala tidak bisa

diakses. "Sistem ini ada kemungkinan tidak bisa

terhubung," kata dia.
Hal itu menurutnya, pernah dialaminya. Bahkan
LPSE Pemprov pun pernah mengalami hal yang sama.

Selama dua hari situs situs LPSE Pemprov mengalami

gangguan.
Untung menilai tender via elektronik ini bagus

karena membuka peluang persaingan yang sehat. Selain

itu, tender elektronik juga membuar vendor lebih efisien

dan efektif dalam mengikuti tender. (zuk)
Dari Lokakarya ICMC Tentang Perdagangan Orang
*Polisi, Jaksa, dan Hakim Kurang Memahami UU No. 21/2007

MAKASSAR--Tindak kejahatan perdagangan orang (human trafficking) terus saja terjadi. Korbannya dominan perempuan dan anak-anak. Mereka diperdagangkan layaknya binatang dan barang dagangan lainnya. Padahal undang-undang terkait sudah banyak yang mengatur. Salah satu diantaranya adalah UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Kejahatan perdagangan orang ini bisa juga disebut sebagai perbudakan zaman modern atau the form of modern day slavery. Masalah ini tidak hanya menjadi perhatian di Indonesia tetapi mendapat perhatian serius dibeberapa negara, termasuk badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB).
 
Tetapi sayang, dalam penegakan hukumnya di Indonesia, seringkali aparat penegak hukum kurang memahami UU Nomor 21 Tahun 2007 tersebut. Mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim. Tak jarang terjadi salah penafsiran antara ketiga institusi tersebut. Sehingga, mengakibatkan kasus-kasus yang berkaitan dengan human trafficking, tidak tertangani dengan baik. Malah beberapa kasus, tersangkanya bebas padahal barang bukti dan saksi mencukupi.

Masalah perdagangan orang dan substansi UU Nomor 21 Tahun 2007 ini dibahas dalam lokakarya yang digelar oleh International Catholic Migration Commission (ICMC) Indonesia. Lokakarya ini digelar di Hotel Sahid Jaya, 28-29 April.

Hadir menjadi pembicara pada lokakarya tersebut antara lain dari program manager ICMC Jakarta, Sally Kailola. Lalu ada juga kepala unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) Polda Sulsel, Kompol Hj Jamilah. Selanjutnya, key note speech disampaikan oleh aspidum Kajati Sulsel, Djoko Widodo SH, dan pelaksana tugas wadir reskrim Polda Sulsel yang juga kabag analisis, AKBP Drs Miyanto SH.

Menurut Djoko Widodo, praktik perdagangan orang dilakukan dengan berbagai cara. Korban biasanya diperdagangkan dengan cara dipaksa, disekap, dijerat dengan utang, ditipu, dibujuk rayu, atau diming-imingi. Hal seperti ini bukan saja terjadi dalam negeri, tetapi korban kadang kala dikirim ke luar negeri.

Para anak dan perempuan ini lalu dieksploitasi dan dilacurkan. Termasuk dieksplotasi seksual phedofilia bagi anak-anak. Mereka juga digunakan dalam bisnis prostitusi baik di jalan, bar, rumah bordil, tempat pijat, dan sauna. Ada juga yang dipekerjakan sebagai buruh migran di perkebunan dan pabrik, restoran, atau pekerja rumah tangga. Mereka juga kerap dipakai dalam industri pornografi dan pengedaran obat terlarang.
Kebanyakan yang menjadi korban adalah perempuan dan anak yang berasal dari desa. "Mereka dijanjikan pekerjaan, lalu dibawa ke luar negeri. Modusnya, mereka mencari korban di desa. Kejahatan ini lintas negara atau trans-national crime," ungkap Djoko.

Sebetulnya, lanjut Djoko, sudah banyak undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan perempuan. Di KUHP, ada pasal 297 tentang larangan memperdagangkan perempuan dan laki-laki yang belum dewasa. Lalu pasal 324 tentang larangan memperniagakan budak belian. Selain itu, ada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Sealnjutnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT dan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

Tetapi undang-undang tersebut dianggap belum paripurna. KUHP dan peraturan perndang-undangan lainnya tidak merumuskan pengertian trafficking manusia secara tegas dan lengkap serta sanksi yang ringan. Oleh karena itu UU Nomor 21 Tahun 2007 diaggap lebih memadai.

Selain itu, ancaman pidanya lebih berat karena ancaman penjara dan denda bisa diterapkan sekaligus. Undang-undang itu juga menetapkan batas minimum khusus dari sanksi pidana yang dijatuhkan dalam putusan hakim. Yaitu, minimal penjara tiga tahun dan denda Rp 120 juta.

Walaupun dalam proses perekrutan korban setuju, tetapi itu tidak menghilangkan tuntutan pidana kepada pelaku perdagangan orang. Alat buktinya juga bisa berupa informasi yang diucapkan, dilihat, didengar, dibaca seperti data dan rekaman. Bisa juga berupa foto, huruf, tanda, dan angka atau simbol yang memiliki makna. Keterangan satu saksi juga sudah bisa membuktikan terdakwa.

Sementara itu, Miyanto dalam sambutannya menjelaskan, UU Nomor 21 Tahun 2007 ini memberi keleluasaan kepada penyidik. Di antaranya kewenangan untuk melakukan penyadapan. Ia mengapresiasi lokakarya ini. "Jadi kita berharap lokakarya ini bisa meningkatkan kapasitas penyidik," kata dia.
Di Sulsel sendiri, lanjut Miyanto, korban trafficking manusia sepanjang 2007 hingga 2010, mencapai 73 orang. Beberapa di antaranya merupakan anak-anak dibawa umur. Sementara jumlah tersangkanya mencapai 28 orang.

Jamilah dalam pemaparan materinya menjelaskan beberapa penyebab terjadinya trafficking manusia. Kemiskinan dianggap sebagai faktor utama seseorang diperdagangkan. Lalu, faktor budaya juga mempengaruhi, seperti kawin muda, mencari pekerjaan, dan life-style. Pendidikan yang rendah juga dinilai sebagai salah satu penyebab.

Menurut Jamilah, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) swasta paling berkontribusi dalam perdagangan manusia tersebut. Utamanya PJTKI yang ilegal. Sehingga, lanjut dia, perusahaan penyalur tenaga kerja harus diawasi ketat.

Beberapa bentuk eksploitasi, utamanya kepada perempuan dan anak yang sering terjadi di antaranya dijadikan pekerja seksual. Dipekerjakan melebihi batas waktu dan gaji tidak dibayar. Kadang juga dijadikan penari erotis.

Salah seorang peserta lokakarya dari LBH Apik, Sri Wahyuningsih, menyoroti proses hukum bagi pelaku perdagangan orang. Menurutnya, sejak awal penyidikan perkara, restitusi atau ganti rugi sudah harus ditekankan. Karena kadang-kadang hakim tidak memperhatikan hal itu dalam persidangan.(*)