Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Kamis, 29 Juli 2010

Go Iwata, Mahasiswa Jepang Peneliti Budaya Siri’ na Pacce di Galesong Takalar

*Terkesan Budaya Sipakalabbiri, Anggap Makassar Kampung Halaman Kedua

BOLEH dibilang belum ada peneliti asing yang serius meneliti budaya siri’ na pacce secara mendalam. Mahasiswa Jepang ini justru menghabiskan waktu selama dua tahun untuk menelitinya. Ia begitu takjub dengan dinamisasi masyarakat Sulsel.

LAPORAN RIDWAN MARZUKI


SOSOKNYA sederhana. Perawakannya tinggi. Ia begitu ramah dan murah senyum. Dengan fasih ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ia bernama Go Iwata, peneliti asal Jepang yang telah menetap di Sulsel selama dua tahun untuk melakukan penelitian mengenai budaya siri’ na pacce. Dia mampu menjawab setiap pertanyaan dengan lancar dalam tiga bahasa; Indonesia, Makassar, dan Bugis. Tetapi dibandingkan bahasa Bugis, bahasa Makassar lebih dikusasainya.

Mahasiswa S2 di Kyoto University ini berada di Makassar untuk melakukan penelitian sejak Oktober 2008. Dia begitu tertarik dengan konsepsi siri’ na pacce yang dianggapnya lahir dari sebuah masyarakat dinamis. Penelitiannya telah ia rampungkan, dan September ini ia akan kembali ke negaranya, Jepang. Untuk merampungkan tesis, katanya.

Lokasi penelitian Iwata di daerah Galesong, Takalar. Sebelumnya, tepatnya saat masih S1 di Jurusan Kajian Indonesia Fakultas Kajian Asing, Tokyo University of Foreign Studies pada kurun waktu 2002-2006, dirinya intens mempelajari Bahasa Indonesia. Juga mempelajari budaya dan sejarah negeri beribu pulau ini. Terkhusus mempelajari budaya Bugis-Makassar yang terkenal sebagai perantau, banyak memiliki pahlawan, dan memiliki jiwa patriotisme tinggi.

“Dari situ saya tertarik untuk meneliti budaya Bugis-Makassar. Saya ingin tahu apa yang melatarbelakangi sehingga Bugis-Makassar ini bersifat begitu dinamis,” ungkap Iwata saat penulis bertemu dengannya, Senin 20 September 2010 lalu.

Bukan hanya mempelajari budaya Bugis-Makassar, tetapi kebudayaan Jawa juga tak urung menjadi bagian yang dipelajari dan menarik perhatiannya. Hanya saja, penelitiannya fokus pada budaya Bugis-Makassar, yaitu konseps siri’ na pacce (Makassar) atau siri’ na pesse (Bugis).

Siri’ na pacce, kata dia, merupakan tema umum yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sulsel, khususnya etnis Bugis-Makassar. Iwata menjelaskan, pada mulanya, siri’ na pacce merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari. Yakni jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan siri’ dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tumasiri’, yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari).

Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang selanjutnya disebut a’bajik. Jika ini belum dilakukan, maka status tumasiri’ tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika a’bajik sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang mengganggunya akan dicap sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukum adat.

“Inti budaya siri’ na pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri’ na pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar,” ucap pria kelahiran Jepang, 21 September 1983 ini.

Siri’ na pacce, imbuhnya, juga berfungsi mencipatakan hubungan harmonis serta melahirkan kerukunan antar sesama, baik dalam relasi antar-individu, kelompok, maupun kemasyarakatan. Konsep itu, kata lelaki bujang ini, berkaitan erat dengan saling menghargai atau sipakatau atau sipakalabbiri (Makassar). Intinya, kata dia, budaya siri’ na pacce mengarahkan manusia untuk saling menghargai dan menghormati harga diri masing-masing, serta saling mengasihi dan menyayangi.

Dan itu, imbuhnya, sampai kini tidak mengalami pergeseran berarti, kecuali pada wilayah ekspresif atau simbol. Dalam Bahasa Indonesia, siri’ biasa diterjemahkan dengan malu, harga diri, kehormatan. Tapi menurut Iwata, semua itu tidak pas mewakili makna siri’ yang sebenarnya.

“Sering saya dengar orang terutama di media-media mengatakan bahwa budaya siri’ na acce itu telah pudar. Tetapi menurut saya, keberadaan wacana seperti itu membuktikan bahwa perhatian terhadap budaya ini masih sangat tinggi. Mengapa? Karena orang di sini sendiri menganggap budaya ini sebagai suatu konsep yang begitu tinggi, yakni suatu nilai budaya yang sangat penting,” urainya.

Menurut Iwata, ada kemiripan budaya malu antara orang Jepang dan Bugis-Makassar. Orang Jepang, katanya, selalu memperhatikan pandangan orang lain terhadap dirinya sementara orang Sulsel (Makassar), kehormatan atau harkat keluarga begitu dijunjung. Rasa persaudaraan orang Sulsel juga dinilainya sangat tinggi.

Sebagai contoh, ungkapnya, tidak seorang pun yang menolak kehadirannya di Galesong selama hampir dua tahun. Dia bahkan sangat terkesan dengan sikap Camat Galesong yang ditinggalinya selama melakukan penelitian. “Saya mengerti keadaan kamu karena saya juga pernah kuliah di Jawa, yakni di Universitas Gajah Mada,” ujar Iwata menirukan perkataan Camat Galesong, saat menolak pembayaran sewa rumahnya.

Begitu berkesannya Sulsel baginya, sehingga suatu saat ia berharap dapat kembali ke Indonesia mengunjungi orang Makassar. Ia malah menganggap Sulsel sebagai kampung halaman keduanya. Oleh karena itu, kepulangannya ke Jepang dianggapnya bukan sebuah perpisahan, melainkan langkah atau jenjang untuk melanjutkan hubungan yang lebih erat dan lebih dalam lagi.

“Jadi itu juga wujudnya persaudaraan orang Sulawesi Selatan ini. Sekali kenal baik, maka ikatan persaudaraannya akan sangat kuat. Makanya saya harus kembali lagi ke sini, atau orang sini yang ke Jepang. Pappala’ doangngang mamaka,” ucapnya dalam Bahasa Makassar yang berarti minta didoakan. (*)
=================================================

SDI Unggulan Toddopuli Terima 60 Siswa Baru

Pendaftaran siswa baru di SDI Unggulan Toddopuli akan dilaksanakan pada 5-8 Juli. Pengumuman hasil seleksi akan dipercepat, yaitu 9 Juli. Kepala Sekolah SDI Unggulan Toddopuli, Idrawati, mengakui pengumumannya memang dipercepat.

"Pengumuman SD Unggulan memang mendahului sekolah lainnya. Tahun ini kita menerima 60 siswa baru. Kita memiliki dua kelas, setiap kelas 30 siswa. Itu sudah ketentuan," terang Indrawati, Rabu, 30 Juni.

Hanya saja persyaratan untuk mendaftar di SDI Unggulan Toddopuli belum ditentukan. Menurut Indrawati, hal itu baru mau dibahas dalam rapat panitia penerimaan siswa baru (PSB). "Nama-nama panitia PSB sudah ada, tetapi belum di-SK-kan. Teknis penerimaan segera kita rapatkan, rencananya hari Minggu panitia akan rapat. Hasilnya kita akan umumkan," tambahnya.

Terkait biaya pendaftaran, Indrawati mengakui hal itu tidak ada lagi. "Tidak ada pungutan sama sekali. Semuanya gratis karena sudah ada dana pendidikan gratis. Semua iuran-iuran sudah tidak ada. Formulir pendaftaran juga gratis," ujarnya sambil menambahkan bahwa uang komite sekolah juga sudah tidak ada lagi. (zuk)

Kuota PSB SMAN 5 Makassar 288 Kursi

SMAN 5 Makassar akan menerima 288 siswa baru dalam tahun ajaran 2010/2011. Jumlah tersebut sudah termasuk siswa yang tinggal kelas. Siswa baru akan menempati sembilan ruangan kelas yang tersedia dengan kapasitas setiap kelas sebanyak 32 siswa. Pendaftaran akan dilaksanakan selama tiga hari, yaitu 5-8 Juli.

Kepala Sekolah SMAN 5 Makassar, A Abd Fattah, mengungkapkan seperti tahun-tahun sebelumnya, persyaratan pendaftaran antara lain nilai ujian Nasional (UN) dan ijazah yang telah dilegalisir dan pas foto ukuran 3x4 dua lembar. Khusus untuk nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA, nilai rata-ratanya harus 7,5.

"Tes dilaksanakan 9 Juli dan pengumuman hasil tes 11 juli. Selanjutnya setelah lulus dan diterima, masih ada wawancara," terang A Abd Fattah.

Menurut Fattah, dalam wawancara tersebut, siswa didampingi oleh orangtuanya. "Ada wawancara setelah diterima. Siswa didampingi orang tuanya bertujuan supaya orang tua juga mengetahui profil sekolah (SMAN 5, red)," imbuhnya.

Terkait biaya pendaftaran, Fattah mengaku formulir bisa diambil gratis. Pembayaran hanya dikenakan, setelah komite sekolah melakukan rapat dan sudah menentukan besaran iuran yang harus dibayar oleh siswa. "Tidak ada pembayaran SPP. Yang ada hanya iuran komite yang besarannya ditentukan oleh hasil rapat komite sekolah," terangnya.

Fattah menambahkan, tidak ada pembayaran sampai jutaan rupiah. Partisipasi orangtua siswa dalam mebiyayi program-program sekolah ditentukan sendiri oleh orangtua siswa melalui rapat komite sekolah. "Kalau ada yang ditemukan membayar sampai jutaan rupiah, kasih saya datanya. Kepada siapa, di mana, dan berapa yang dibayar," pungkasnya. (zuk)

LSM Tuding Kadisdikpora Jeneponto Mengada-ada

*Kasus Pelarangan LSM Memeriksa Dana BOS

MAKASSAR--Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan (Lepemiskot) menganggap tindakan yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Kadisdikpora) Kabupaten Jeneponto, Mukhtar Nonci, melarang melakukan pemeriksaan dana bantuan operasional sekolah (BOS), mengada-ada.

Pasalnya Lepemiskot mengaku tidak pernah melakukan pemeriksaan sesuai yang dituduhkan. Hal tersebut disampaikan pengurus Lepemiskot, A Sanjaya Purwanto, bersama Sekretaris Umum Lembaga Monitoring Kinerja Aparatur Negara Indonesia (Lemkira) Sulsel, Muhammad Ahyar, saat bertemu penulis, Rabu, 30 Juni.

Sanjaya mengatakan, sejauh ini Lepemiskot tidak pernah melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan keuangan. Yang dilakukan hanyalah pemantauan. "Seperti jumlah siswa, kami harus melihat langsung ke kelas untuk mengetajui realisasi jumlah sasaran sesuai yang ada dalam anggaran BOS," katanya.

Menurut Sanjaya, LSM melakukan pemantauan langsung ke lapangan untuk mengetahui kesesuaian jumlah siswa yang dilaporkan kepala sekolah dengan kondisi faktual yang ada. "Ini adalah pemantauan. Jadi kita bukan memeriksa keuangan, tetapi mengawasi realisasi penggunaan anggaran sesuai dengan kenyataan yang ada," imbuhnya.

Terkait dengan rekomendasi pemeriksaan yang dikeluarkan Saleh Gottang saat menjabat wakil kepala Dinas Pendidikan Sulsel yang saat ini jabatannya sudah ditiadakan, hal tersebut di nilai oleh Lemkira dan Lepemiskot, masih tetap berlaku. Hal itu karena rekomendasi tersebut dikeluarkan secara institusi oleh Dinas Pendidikan Sulsel.

Apalagi saat ini, Lepemiskot sudah mengantongi surat rekomendasi terbaru yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendidikan Sulsel, Patabai Pabokori, dengan nomor surat: 978/PD4/257A/2010.

"Saya menyayangkan pelarangan ini, apalagi yang dipermasalahkan adalah surat rekomendasi. Padahal meskipun tanpa rekomendasi, LSM berhak untuk mendapatkan informasi dari setiap lembaga publik, termasuk sekolah," tandas Ahyar. Hal itu katanya sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang informasi publik dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik.

Lepemiskot dan Lemkira mengimbau Mukhtar agar membedakan antara memeriksa dan memantau. Tuduhan terhadap Lepemiskot melakukan pemeriksaan keuangan sekolah, mereka nilai sebagai upaya Mukhtar untuk melarang LSM melakukan pemantauan. "Kalau bukan itu yang dipakai, tidak ada alasannya untuk melarang LSM melakukan pemantauan," tambahnya.

Lepemiskot dan Lemkira juga meminta semua LSM agar terus melakukan pemantauan dan pengawasan penggunaan seluruh anggaran pendidikan. Mereka juga meminta kejaksaan agar melakukan pemeriksaan dana pendidikan di Kabupaten Jeneponto. "Apalagi ini menjelang penerimaan siswa baru," ujar Ahyar. (zuk)

Seicy, Sekolah Pemulung dan Anak Miskin

PENDIDIKAN merupakan hak setiap anak. Tetapi itu belum sepenuhnya terwujud. Anak-anak miskin memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas. Hal inilah yang mendasari lahirnya Sekolah Seicy atau Skill and Education Improvement for Children and Youth di Kampung Lette, Kecamatan Mariso.

Sekolah ini bernaung di bawah sebuah yayasan yang diberi nama Seicy Foundation. Didirikan oleh salah seorang dosen muda Fakultas Teknik Unhas, bernama Yashinta Kumala Dewi Sutopo. Sejak 2006 lembaga ini digagas dan mulai diaktifkan pada 2008. Totalitas pelaksanaan program dimulai pada 2010, di mana program yang diterapkan menggunakan pendekatan integrasi pendidikan.

Dikatakan terintegrasi, karena di lembaga ini, para pesertanya bukan cuma diajarkan pelajaran umum, tetapi juga diberi pelajaran lainnya yang berkaitan dengan moralitas. Ditambah dengan materi yang tentang soft-skill serta beberapa keahlian lainnya. Pada intinya, pendidikan di Seicy merangkum tiga hal sekaligus, yakni psikomotorik, kognitif, dan afektif. Tetapi, khusus untuk anak usia sekolah dasar, penekanan materinya pada aspek afektif, yaitu penguatan materi-materi keagamaan.

Yashinta beralasan, moral value atau nilai moral yang bersumber dari nilai keagamaan akan berdampak secara signifikan dalam menuntun arah masa depan seorang anak. Agama akan menjadikan manusia selalu berada dalam koridor yang baik karena memiliki akhlak.

"Suatu saat kami ingin lihat Kampung Lette menjadi wilayah yang dibanggakan. Anak-anaknya sehat dan cerdas walaupun tidak kaya," ujar Yashinta, Minggu, 27 Juni saat Fajar berkunjung ke lokasi kegiatan belajar-mengajarnya.

Jika awal 2010 lalu, program Seicy masih pada pemberdayaan anak-anak dan remaja Kampung Lette, kini programnya telah ditingkatkan. Selain program pendidikan, saat ini Seicy sudah menambah program kesehatan dan pengelolaan sampah. Walaupun terbilang program baru, tetapi sudah mulai berjalan.

"Setelah melihat prioritas masalah yang ada di Kampung Lette, kita temukan bahwa kesehatan harus menjadi fokus perhatian. Akses pendidikan anak-anak juga, utamanya bahasa inggris dan matematika," lanjut Yashinta.

Kesehatan, kata Yashinta, berkorelasi besar dengan tingkatan kesadaran masyarakat terhadap kebersihan. Persoalan kebersihan sendiri, berkaitan dengan sejauh mana pengelolaan sampah bisa diterapkan dengan baik. Dalam arti, ketika masyarakat sadar untuk mengelola sampah, maka derajat tingkat kesahatan dala wilayahnya juga akan membaik.

Manajemen Seicy, membagi tiga kelompok garapan di Kampung Lette. Kelompok A, bertugas mengurusi pendanaan atau anggaran yayasan. Kelompok B, bertugas dalam pelaksanaan program bimbingan. Semua yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan, skil, dan moral, dikelola oleh kelompok ini. Dan terakhir, kelompok C, bertugas mengurusi fasilitas atau infrastruktur belajar.

Sekira 40-an orang yang masuk dalam jajaran pengurus inti yayasan. Semuanya volunteer atau relawan dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, dosen, karyawan, hingga ibu rumah tangga. Belum termasuk relawan-relawan lainnya yang bisanya datang memberi bimbingan kepada anak-anak dan remaja Kampung Lette.

Untuk program pengelolaan sampah, Seicy bekerja sama dengan Sustainable Building and City (Subuicy) Planning Laboratory, lembaga riset di jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unhas. Hasil penelitian Subuicy tentang sampah selanjutnya akan dicoba untuk diterapkan di Kampung Lette. "Kita ingin menggugah dan melihat kepedulian masyarakat terhadap sampah," ujar Yashinta.

Untuk program penyuluhan sampah, koordinatornya bernama Sherly Nurwidyawati. Sedang program kesehatan umum, gizi, dan anak, koordinatornya bernama Syahril Samad. Minggu terakhir setiap bulan, warga diberikan penyuluhan kesehatan termasuk pemeriksaan dan pengobatan gigi gratis. Seicy bekerjasama dengan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, juga dengan mahasiswa jurusan arsitektur Fakultas Teknik Unhas. (zuk)