Postingan Populer

KUMPULAN TULISAN

Minggu, 22 Desember 2013

Nurhayati Yasin Limpo Tokoh Ibu dan Perempuan asal Sulsel




Selalu Ingatkan Anak tentang Kebaikan, Kini Aktif Urus Lansia

MERAWAT anak-anak dari kecil hingga besar, dilakukannya biasa-biasa saja. Namun orang lain yang menganggapnya luar biasa.


SOSOKNYA sederhana. Ia terbuka berbicara. Bahasanya santun. Setidaknya itulah gambaran singkat mengenai Nuhayati Yasin Limpo. Ibu yang satu ini merupakan salah satu dari sedikit perempuan yang berhasil melahirkan anak-anak yang semuanya sukses.

Semasa anak-anaknya masih kecil, Nurhayati tak pernah mengajarkan mereka menjadi politisi. Ia hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berguna dan membawa kebaikan bagi sesama. Ia pun merawat mereka layaknya ibu-ibu lain merawat anak-anaknya.

Istri almarhum Yasin Limpo ini, masih mengingat jelas bagaimana ia membesarkan tujuh orang anaknya. Ia tak pernah menyewa pembantu atau babysitter untuk membantunya merawat anak-anak yang dilahirkan susul menyusul atau ibarat anak tangga.

"Tidak ada kesulitan dalam merawat anak. Mungkin karena semuanya saya lakukan dengan ikhlas," ujar perempuan bernama lengkap Ince Ratna Nurhayati saat ditemui di kediamannya di Jalan Haji Bau, Sabtu malam, 21 Desember.

Sebagai seorang ibu, setiap saat ia harus memastikan semua kebutuhan dan keamanan anak-anaknya. Bahkan ketika anak-anaknya tidur, ia harus memastikan bahwa mereka nyaman tanpa gangguan. Dalam kehidupan keseharian, saat anak-anaknya mulai bisa bermain di luar rumah, ia juga memastikan bahwa mereka bersama dengan orang-orang yang dikenal.

"Ke mana perginya saya tahu. Perginya juga bersama anak yang saya kenal orang tuanya," imbuh Nurhayati.

Tak ada yang spesial dalam merawat anak. Ia hanya selalu menekankan kepada anak-anaknya agar selalu berbuat baik. Namun wujud kecintaannya kepada anak-anaknya itu, ketika mengantar mereka ke sekolah, kerap becak yang digunakan tak muat. Secara bersamaan ia mengantar anaknya ke sekolah, sementara ia juga tak mau meninggalkan yang masih kecil di rumah.

Saat anak-anaknya dalam usai sekolah, keluarga Yasin Limpo belum memiliki mobil khusus untuk mengantar jemput ke sekolah. Makanya untuk tujuan sekolah, Nurhayati menyewa becak. Ada yang di sebelah kiri, ada yang di kanan. "Ada juga yang kupangku," katanya sambil tersenyum mengenang masa-masa merawat anak.

Nurhayati mengaku, sering kali ada orang yang bertanya mengenai tips merawat anak sehingga semuanya bisa sukses. Namun ia tak bisa menjawab. Baginya, membesarkan anak merupakan kecintaan dan ia melakukannya dengan tulus.

"Saya beranak seperti ibu-ibu lainnya. Saya tidak pernah mengaharapkan mereka menjadi kaya yang penting menjadi anak baik. Mungkin karena kita sendiri yang rawat dengan niat yang baik, Tuhan mendengar suara hati saya," katanya.

Saat Hamil dan melahirkan anak-anaknya, Nurhayati juga sering ditinggal tugas oleh sang suami sehingga kerap ia menjadi single parent. Selaku tentara, suaminya sering pergi bertugas. Ia juga pernah sedang hamil lantas ditinggal. Bahkan ia pernah ditinggal tugas selama setahun.

Nurhayati menikah pada umur 15 tahun. Saat itu, Yasin berusia 24 tahun. Ia mengaku taksaling mengenal karena dijodohkan oleh orang tua. Usai menikah karena saat itu situasi, mengharuskan ia juga terbiasa dalam tekanan terutama saat suaminya dikejar-kejar oleh Belanda.

Puncaknya, saat tiga sudara laki-laki Yasin Limpo, dibunuh oleh Belanda. Praktis, tiga istrinya, tinggal di rumah Nurhayati. Saat itu, ketiga janda tersebut memiliki 14 anak, dan semuanya tinggal di rumah Nurhayati. Ia senang bisa ikut membesarkan anak-anak yatim yang tak lain keponakannya sendiri.

Lalu apa yang dilakukannya saat ada anak-anaknya yang bandel? Nurhayati tak pernah memukul atau memberikan hukuman kasar kepada mereka. Bahkan untuk berkata kasar pun, ia tak mau melakukannya.

"Kalau ada yang nakal, biasa saya masukkan di kamar terus dikunci. Kalau sudah ketuk-ketuk, baru dikeluarkan," katanya.

Bagaimana dengan Syahrul Yasin Limpo dulu? Nurhayati juga tidak pernah memukulnya. Padahal saat Syahrul sudah beranjak remaja, ia sangat gandrung balapan motor. Hal itu yang kadang membuatnya resah. Namun hal itu ia imbangi dengan berpikir positif.

"Dia sendiri yang rakit motor temannya yang rusak. Itu mi yang dipakai balapan," kenangnya.

Salah satu kunci sukses merawat anak, yakni karena Nurhayati bersama suaminya sangat menjaga keharmonisan. Hal ini sangat mendukung anak-anaknya tumbuh dalam ketenangan. Bahkan sampai Yasin Limpo meninggal, ia tidak pernah cekcok.

"Mulai anak lahir, saya sudah doakan mudah-mudahan menjadi orang baik dan beriman," bebernya.

Untuk membuat anak-anak sukses, lanjut dia, doa orang tua juga sangat berpengaruh. Ia menekankan, setiap ibu pasti sama dengan dirinya, cuma caranya membesarkan anak berbeda-beda. Semua ibu menginginkan anaknya menjadi baik.

Nurhayati memiliki tujuh anak, tiga perempuan dan empat laki-laki. Mereka masing-masing Tenri Olle, Syahrul, Tenri Angka, Ichsan, Haris, Dewi, dan Irman. Mereka rata-rata terjun ke dalam politik, padahal Nurhayati tak pernah mengajarkan mereka untuk masuk ke dunia itu.

Tenri pernah menjadi anggota DPRD Gowa dan menjadi Ketua DPRD di periode kedua.

Nurhayati dilahirkan di Parepare, 30 Agustus 1935 atau saat ini sudah berusia 78 tahun. Ayah bernama Ince Manambai Ibrahim dan ibunya bernama Hadawiyah. Saat usia sekolah, ia hijrah ke Makassar karena situasi yang sudah tak aman di kampungnya akibat Belanda yang mengejar-ngejar ayahnya.

Ia lantas masuk Sekolah Rakyat saat itu. Setelah tamat, ia lanjut ke Sekolah Kepandaian Putri (SKP), yakni sekolah nasional yang setara dengan Normal School milik Belanda. Rata-rata anak-anak pejuang bersekolah di SKP.

Di sana, Nurhayati diajar tentang kebangsaan atau nasionalisme. Guru-gurunya juga rata-rata pejuang. Bahkan setiap kali ada kegiatan sekolah, guru-gurunya bergantian ditangkap oleh Belanda. Namun di sekolah ini pula ia mendapatkan banyak ilmu termasuk ilmu menjahit. Saat ekonominya sulit, serta adanya 14 anak yatim yang harus dirawat, ia kerap menjahit baju lalu menjualnya.

"Kalau kekurangan bahan makanan, saya buat keterampilan. Pakaian anak-anak dijual keliling oleh ibu anak-anak yatim itu," kata perempuan peraih Piagam Prestasi Indonesia Award 2001 dari Yayasan Prestasi Indonesia ini.

Secara politik, Nurhayati juga melihat perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama. Namun situasinya sudah berubah saat ini. Dulu, saat ia menjadi legislator, di dalam ruangan, hanya ada tiga atau atau empat legislator perempuan.

"Tetapi tidak pernah merasa minder. Kalau ada pansus, kita juga ikut. Saat ini dengan banyaknya perempuan, mungkin lebih bagus," katanya. Ia menyarankan para politisi agar rajin turun mendengar keluhan rakyat. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui kebutuhan rakyat dan merasakan penderitaan mereka.

Nurhayati pernah menjadi anggota DPRD Sulsel tiga periode dan juga menjadi anggota DPR RI dua periode. Selama 12 tahun ia menjadi anggota DPRD Sulsel, yakni sejak 1987 hingga 1999. Selanjutnya menjadi legislator Senayan 1999-2004 kemudian terpilih lagi untuk periode 2004-2009.

Kini, kendati pensiun dari Senayan, namun aktivitasnya tak berhenti. Malah sekarang ia menjadi penggerak organisasi lanjut usia (lansia). Ia mendirikan Himpunan Lansia Sayang Bunda dan menjadi ketua di situ. Organisanisasi ini didirikannya sejak empat tahun lalu.

Ia aktif dalam organisasi itu, mendirikan klinik khusus lansia dan membuatkan mereka koperasi. Baru-baru ini Himpuna  Lansia Sayang Bunda menggelar jambore khusus untuk lansia di Sulsel di Gedung Celebes Convention Centre.

"Sampai sekarang masih aktif organisasi. Senang berbuat apa yang bisa dirasakan orang itu baik. Itu membantu mendapatkan amal," katanya.

Di jambore lansia, mereka bercerita tentang masa lalu, terutama tentang kemerdekaan. "Kalau sudah lansia, mesti banyak bercerita kepada cucu. Mereka kan tidak rasakan pedihnya jadi pejuang. Jadi harus diceritakan," katanya penuh harapan.
(***)


Sabtu, 30 November 2013

Mentransformasi Badik Menjadi Nilai Kearifan







DALAM perjalanan sejarah, badik mengalami transformasi. Senjata khas untuk suku Bugis-Makassar ini, sejatinya memiliki makna yang lebih maju sebagai nilai-nilai universal.

Badik memang memiliki dua sisi pemaknaan. Selain sebagai benda fisik yang difungsikan sebagai senjata, juga sebagai sumber nilai yang menjadi pengontrol dalam kehidupan setiap individu Bugis-Makassar. Dalam badik, ada siri', yakni nilai kearifan lokal tentang harga diri dan malu.

Seseorang yang telah mampu merevitalisasi makna badik dalam bentuk nilai, akan menjadikannya sebagai sumber kebaikan berupa tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, adat, dan keseluruhan nilai peradaban masyarakat Sulsel.

Dulu, badik memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan pertarungan atau perkelahian. Namun badik kemudian direkonstruksi maknanya mejadi nilai moral yang akan menjadi pijakan dalan bertindak, terutama ketika berinteraksi dengan sesama manusia.

"Badik itu hanya benda, tetapi ruhnya adalah siri'. Ruhnya siri' yang lebih dalam adalah ati macinnong (hati jernih)," ujar sastrawan D Zawawi Imron, kepada penulis, tadi malam usai menjadi pembicara pada peringatan haul Anre Gurutta H Ambo Dalle di Gedung Islamic Center, Kota Parepare.

Zawawi Imron merupakan penyair Madura yang banyak menggeluti kebudayaan Sulsel. Tema tentang badik bahkan pernah ia bukukan dalam kumpulan puisinya. Buku kumpulan puisi itu diberi judul "Mata Badik Mata Puisi", yang sempat di-launching di Graha Pena, 2012 lalu.

Banyak nilai-nilai yang dilahirkan dari ruh badik tersebut, misalnya toddopuli, sipakatu, sipatokkong, sipakalebbi, dan lainnya. Perwujudannya adalah sikap menghormati sesama. Dengan begitu, manusia akan menghargai kata-kata yang diucapkannya.

"Orang yang sampai pada hakikat ati maccinong, hati yang bersih, seujung rambut pun tidak akan punya kebencian kepada orang lain. Lebih dari itu tidak punya waktu untuk memfitnah, bertengkar, dan bermusuhan," urainya.

Bagi Zawawi, ati macinnong itu bisa dikembangkan keluar Makassar-Bugis, melampui wilayah Sulsel. Ia menyebut, spirit ati macinnong bisa go nasional dan internasional yang pada akhirnya akan menjadi akal sehat kolektif. "Akal sehat kolektif insya Allah akan sangat berharga untuk memperbaiki keadaan di Indonesia sebagai tanah air yang indah," imbuhnya.

Kalau ingin kehidupan negeri ini indah dan tetap makmur, serta rakyatnya ingin sejathera, orang-orangnya harus memiliki ati maccinnong dan hati yang indah. Ati macinnong ini menjaga badik atau senjata nilai-nilai. Jika manusia memahami, kata dia, maka badik bukanlah sebagai senjata penikam, tetapi untuk menjaga dan merawat.

Terkait penggunaan badik sebagai senjata dan spirit nilai-nilai kebaikan, Zawawi mengaku tak memiliki kapasitas untuk menjawabnya. Sebaiknya, kata dia, hal itu ditanyakan kepada peneliti, sosiolog, dan yang bergelut dalam pengamatan terhadap fenomena badik. Namun sebagai anak cucu dari nenek moyang, badik mestinya direvitalisasi menjadi nilai.

"Aku sangat menghargai pemakai meskipun aku orang luar. Meski begitu, punya nenek moyang. Itu nilai-nilai yang perlu direvitalisasi dan harus dihidupkan kembali," katanya lagi.

Spirit nilai ini akan sangat bermanfaat untuk kembali membangun Sulsel khususnya dan Indonesia pada umumnya.Nilai siapakatu bisa sejalan ahlakul karimah. Artinya, ahlakul karimah merupakan perpaduan budaya dan agama. Dengan begitu, akan lebih mudah melaksanakan akal sehat kolektif. Nilai-nilai Makassar-Bugis berupa siri napacce juga sejalan dan bertemu dengan Agama Islam. Budaya Bugis-Makassar disebutnya bergerak menuju kemuliaan Islam.

Badik yang maknanya ditransformasi akan memberi semangat kerja nyata. Selain itu, manusia memegang prinsip satunya kata dengan perbuatan, serta tidak mengingkari janji. Dalam buku kumpulan puisinya, Mata Badik Mata Puisi, terdapat 140-an puisi yang bertema tentang badik.

Zawawi mencontohkan selarik kalimat sebagai budaya kerja nyata yang berjudul Telur, "Dubur ayam yang mengeluarkan telur, lebih mulia dari mulut intelektual, yang hanya menjanjikan telur."

Sastrawan Sulsel yang pernah membintangi film "Badik Titipan Ayah", Aspar Paturusi, juga melihat badik tidak lagi sebagai benda, tetapi diobjektivikasi. Abstraksi badik menjadi nilai, akan menggerakkan manusia untuk selalu menjaga kehormatan dan kebersihan diri dan hati.

"Badik tidak lagi di pinggang. tetapi disarungkan di hati," katanya. Badik dalam bentuk benda dan berasal dari leluhur, tempatnya adalah di peti. Namun ketika maknanya diangkat, maka hal itu akan membuat manusia memiliki sikap baik yang lebih tajam  untuk menghadapi lingkungan dan situasi yang melingkupinya.

Bahkan badik mesti ditransformasi menjadi ketakwaan pada diri manusia. Nilai badik ini, jika dipegang, akan mampu menjawab semua persoalan zaman yang menyangkut moralitas. Badik juga bermakna ketangguhan menghadapi kesulitan.

Badik tak lagi dimanfaatkan untuk tujuan kejahatan, tetapi untuk menjaga kehormatan. Badik tidak selalu identik dengan harga diri yang diartikan sempit, menjadi keagungan bagi Bugis-Makassar untuk menjaga keimanan dan akhlaknya.

Salah warga Kota Makassar, Omar, merupakan pemuda yang menyimpan badik di rumahnya. Ia percaya bahwa beberapa badik peninggalan leluhur, ada yang mengandung kekuatan gaib. Namun ia tak ingin menyimpan badik jenis itu di rumahnya.

"Kadang-kadang badik memang memiliki kekuatan gaib, terutama ketika digunakan untuk kepentingan ilmu hitam," katanya.

Omar mengaku, badik hanyalah benda biasa yang tak perlu terlalu disakralkan. Namun untuk dijadikan nilai dalam peradaban Bugis-Makassar, maka badik merupakan lokus kebudayaan yang berfungsi menjaga kehormatan diri.

"Saya menyimpan badik di rumah hanya untuk berjaga-jaga terhadap pelaku kejahatan yang mungkin saja datang. Saya simpan badikku di bawah kasur," bebernya. (*)



Jumat, 04 Oktober 2013

NAM-NAMA ARAH MATA ANGIN

1) Utara-U (North-N)
2) Utara Timur Laut-UTL (North Northeast-NNE)
3) Timur Laut-TL (Northeast NE)
4) Timur Timur Laut-TTL (East Northeast-ENE)
5) Timur-T (East-E)
6) Timur Menenggara TM (East Southeast-ESE)
7) Tenggara-TG (Southeast-SE)
8. Selatan Menenggara-SM (South Southeast-SSE)
9) Selatan-S (South-S)
10) Selatan Barat Daya-SBD (South Southwest-SSW)
11) Barat Daya-BD (Southwest-SW)
12) Barat Barat Daya-BBD (West Southwest-WSW)
13) Barat-B (West-W)
14) Barat Barat Laut-BBL (West Northwest-WNW)
15) Barat Laut-BL (Northwest-NW)
16) Utara Barat Laut-UBL (North Northwest-NNW)

Sabtu, 28 September 2013

Pancasila, Masihkah Relevan?

Pemuda Indonesia Tak Hafal Sila Pancasila

PANCASILA kembali jadi perbincangan seputar relevansinya dengan kondisi bangsa saat ini. Sayang, sudah banyak generasi muda yang bahkan tak hafal silanya.

"Pancasila, satu... Awalnya apa? Lupa..." ujar Nurul, salah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi saat ditemui di kampusnya di Jalan Pandang Raya, Sabtu, 29 September.

Nurul sempat berpikir sesaat namun kunjung mampu mengingat sila pertama Pancasila. Ia lalu meminta bantuan. Setelah diberi tahu, ia baru bisa menyebutkannya. Namun lagi-lagi tak bisa tuntas.

Usai membacakannya hingga sila keempat, mahasiswi semester pertama ini, kembali lupa sila kelima. Sila keempat pun ia tak bisa menyebutnya secara sempurna. Alumni SMA Negeri 8 ini terpaksa harus dipandu lagi untuk menyebut sila kelima.

Hal sama terjadi pada Jhia, salah seorang alumni Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni UNM. Saat diminta untuk menghafal Pancasila, ia hanya mampu menyebut sila pertama. "Pancasila. Satu, ketuhanan yang Maha Esa. Hadehhh, jangan mi deh, grogi ka," ujar Jhia sambil berlalu.

Demikian fakta yang terjadi mengenai pemahaman Pancasila bagi kalangan muda bangsa. Miris sebetulnya karena ini mengindikasikan bahwa Pancasila seolah-olah telah hilang dalam "peradaban" kepemudaan. Padahal, jika menelusuri sejarah, Pancasila merupakan produk sangat berharga dari pada founding father bangsa Indonesia.

Rangga, alumni Fakultas Olahraga UNM, juga mengkritik hilangnya orientasi ideologi kaum muda. Namun menurutnya, pemuda tak bisa sepenuhnya disalahkan. Ketidakmampuan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila pada kalangan pemuda, merupakan cerminan dari pemerintahan yang korup dan kehilangan antipati persoalan sosial dan religi.

"Kita memiliki ideologi tetapi sebetulnya telah kehilangan. Pemerintahan kita yang menjadi cerminan kesemrawutan sosial," ujar Rangga.

Ia beranggapan, masyarakat bukanlah struktur yang paling patut disalahkan atas tidak terimplementasinya nilai-nilai Pancasila. Ada persoalan kompleks yang terlibat di dalamnya. Makanya, perlu adanya otokritik mengenai sistem runtutan yang berkaitan dengan praktik berpancasila.

Meminjam teori Thomas S Kuhn mengenai paradigma, maka Pancasila juga memungkinkan untuk dikaji pada level implementasinya. Paradigma Kuhn menawarkan cara radikal mengatasi gejala-gejala penghambat. Teorinya menawarkan strategi riset atau prosedur metodologi yang baru untuk mengumpulkan data empiris yang mendukung paradigma yang ada.

Otokritik ala paradigma Kuhn ini pada akhirnya akan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang muncul yang terkait dengan "diabaikannya" Pancasila dalam kehidupan paling riil masyarakat. Tak ada lagi pembeda antara warga penganut Pancasila dengan ideologi lainnya.

"Ada paradigma dalam implementasi ideologi kita, yakni Pancasila yang mesti diperbaiki," tandas aktivis HMI (MPO) Cabang Makassar ini.

Ni Putu Dewi, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, menyarankan perlunya rekonstruksi sistem untuk meneguhkan Pancasila sebagai ideologi. Yang paling bertanggung jawab, kata dia, adalah dunia pendidikan. Mestinya, dunia pendidikan mengenalkan peserta didik pada nilia-nilai Pancasila.

Perempuan berjilbab panjang yang juga Ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Walhi Sulsel ini, mengatakan, pada dasarnya Pancasila sebagai ideologi negara sudah bagus, masih relevan hingga kini. Di dalamnya sudah paripurna karena membahas tentang ketuhanan, kemanusiaan, hingga keadilan.

"Manusianya saja yang tidak mengimplementasikannya, bukan Pancasilanya yang salah," ujar petugas penghubung Komisi Yudisial (KY) Sulsel ini.

Ia melihat absennya penanaman nilai-nilai pancasila dalam lembaga pendidikan. Sebagai ideologi, mestinya nilai-nilainya dijadikan sebagai standar utama dalam menjalankan sistem kenegaraan. Makanya ia mengkritik dunia pendidikan yang dianggap gagal mengonstruksi masyarakat yang pancasilais.

"Problemnya ada pada masyarakat yang menjalankan. Di sektor pendidikan kita, guru kita banyak yang hanya sekadar pengajar bukan pendidik. Pendidik menceriminkan nilai-nilai kepada yang didik, pengajar hanya menyampaikan materi," papar Ni Putu Dewi.

Ketua Dewan Nasional Walhi, Dadang Sudarja, juga angkat bicara. Sebagai negara yang berideologi Pancasila, maka sudah seharusnya semua praktik berkehidupan merujuk ke sana. Antara setiap sila dalam Pancasila, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Antara Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, sistem demokrasi, dan keadilan sosial, merupakan satu kesatuan yang sejatinya menjadi ruh dalam interaksi kehidupan sosial. Makanya, masyarakat yang apatis terhadap Pancasila, mesti disadarkan.

"Sampai kapan pun pancasila itu akan tetap relevan. Problemnya hanya pada implementasi," katanya.

Sudah saatnya didorong satu mekanisem penanaman nilai-nilai Pancasila yang tak lagi memisahkan para pemuda dengan ideologinya itu. Negara harus hadir memberikan teladan sehingga sistem bisa benar-benar jalan ke arah yang semakin lebih baik.

"Kuncinya ada pada pendidikan. Perlu pengejawantahan nilai-nilai dalam kehidupan. Ini yang harus diperbaiki. Substansi dan metodologi direkonstruksi dan mendetailkan sisi ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan itu," tutupnya. (*)

Senin, 05 Agustus 2013




Darurat, Stok Darah PMI Semakin Menipis

Persediaan darah di Unit Donor Darah (UDD) PMI Kota Makassar, mengkhawatirkan. Stok yang tersedia, tidak sebanding dengan  pesanan darah yang masuk.

Kondisi darurat ini telah terjadi selama dua pekan. Apalagi, sumber pasokan darah untuk Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, juga sudah kehabisan stok normal sejak pekan lalu. Diperkirakan, kebutuhan darah akan semakin meningkat menjelang Hari Raya Idulfitri ini.

Kepala Bagian (Kabag) Humas Unit Donor Darah PMI Kota Makassar, Sultan, mengungkapkan, saat ini, total stok yang tersedia, hanya 600 kantong. Itu pun hanya didominasi golongan darah B, yang jumlahnya 300 kantong. Sementara golongan darah A dan O yang paling banyak dicari, stoknya sangat terbatas.

Di masyarakat, golongan darah paling banyak yakni O, disusul golongan darah A dan B di tempat ke dua. Kedua golongan darah ini, jumlahnya hampir sama banyak. Sementara golongan darah AB, merupakan yang paling sedikit, sehingga permintaannya dari rumah sakit juga kurang.

"Dua minggu ini, golongan darah A dan O yang paling banyak dicari," ujar Sultan di Kantor PMI Kota Makassar, Senin, 5 Agustus.

Tidak semua permintaan darah tersebut bisa diayani PMI karena memang stok yang kerap habis. Kalau pun ada, maka tidak sesuai dengan jumlah pesanan yang angkanya naik signifikan jelang lebaran ini.

Sultan mengungkapkan, sebelum memasuki Ramadan, pesanan normal darah, antara 80 sampai 100 kantong. Namun memasuki Ramadan, khususnya jelang Idulfitri, angkanya naik menjadi 100 sampai 150 kantong permintaan darah per hari.

Ia mengaku, dari sejumlah kegiatan penggalangan darah donor dari masyarakat, itu belum mampu menutupi kebutuhan permintaan darah di rumah sakit. Apalagi sejak Ramadan ini, animo masyarakat mendonorkan darah memang relatif terbilang menurun. Hal ini pula yang menyebabkan stok habis.

"Antara jumlah darah yang masuk dan yang keluar, tidak sebanding. Lebih banyak yang keluar dibandingkan yang masuk," tandas Sultan.

Ia mengatakan, sebelum Ramadan golongan darah O yang paling banyak stoknya. Namun menjelang Idulfitri, justru stoknya habis bersama dengan golongan darah A. Sultan menyebutkan, pesanan darah banyak berasal dari pasien demam berdarah dengue (DBD), operasi, dan kecelakaan lalu lintas.

"Kemarin, kantong darah yang masuk hanya 26 kantong. Kita masih kekurangan 8-10 persen dari kebutuhan darah. Apalagi sekarang kita terdesak karena stok darah di Wahidin kosong," paparnya.

Sultan mengatakan, Unit Pelayanan Transfusi Darah Sulsel yang memasok darah ke RS Wahidin, sudah dua minggu kosong. Oleh karena itu, pasien yang membutuhkan darah, keluarganya dirahkan langsung memesan di PMI Makassar. Namun karena stok yang minim, sehingga keluarga pasien mesti membawa keluarga yang memiliki golongan darah sama.

"Karena kosong di sana, sehingga keluarga pasien yang langsung datang bawa pengantar," imbuh dia. Selama Ramadan ini, lanjut Sultan, PMI Makassar mendapatkan pasokan darah dari tiga tempat, yakni Masjid Almarkaz, Amirul Mukminin Losari, dan Syekh Yusuf Sungguminasa.

Di Masjid Almarkaz, sejak awal Ramadan hingga kini, total darah yang terkumpul, yakni 654 kantong, sementara Masjid Amirul Mukminin sebanyak 283 kantong, dan Masjid Syekh Yusuf hanya 57 kantong. Dari empat jenis darah, yakni  trombosit (darah putih), TRC (darah merah), WB (darah lengkap), dan plasma (cairan), trombosit yang paling banyak dibutuhkan.

"Dalam sebulan, darah yang masuk hanya 2.500-2.800 kantong, sementara pelayanan di atas 3.000 kantong. Jadi kita masih sangat kekurangan," tandasnya.

Sultan mengatakan, bisanya, selama Ramadan, gereja yang banyak mendonor darah. Namun untuk Ramadan tahun ini, partisipasi gereja agak turun karena telah mendonor sebelum masuk Ramadan. Makanya, Sultan berharap bagi relawan donor yang telah tiba jadwal donornya, segera mendonorkan darahnya.

Apalagi beberapa hari ini, pasien yang butuh darah, membawa keluarga sendiri ke PMI. Itu masih mujur jika ada keluarga yang golongan darahnya sama dan layak donor. Seperti yang dialami salah seorang warga, Asifayanti. Pamannya yang sedang dioperasi membutuhkan golongan darah A, namun stoknya habis. (zuk)

Lebaran dalam Kepedihan Hidup

Jangan Sedih, Lebaran Milik Semua

SEJATINYA lebaran merupakan milik semua umat Islam, apa pun kondisinya. Sebab Idulfitri membawa makna kemerdekaan dan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa.

Memang tak sedikit umat Islam yang merayakan Idulfitri dalam situasi yang penuh keterbatasan, bahkan sangat tak nyaman dan jauh dari harapan. Banyak di antara mereka terpaksa merayakannya di tengah situasi bencana, bahkan ada juga tanpa ditemani keluarga.

Namun lebaran bukanlah persoalan situasi yang muncul dalam dimensi ruang dan waktu. Lebaran terkait erat dengan sisi metafisika. Lebih tepatnya, Idulfitri adalah persoalan spiritual, yakni relasi ketuhanan antara manusia dengan Sang Pencipta.

Nur, 37 tahun, merupakan salah satu warga Kota Makassar yang akan merayakan Idulfitri dalam kesederhanaan. Ia merupakan warga Jalan Pandang Raya, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakkukang, salah satu wilayah yang merupakan kawasan kumuh di Makassar.

Nur bersama suami, Sahabu, 41 tahun, dan tiga orang anaknya, tinggal di rumah kumuh yang ia sewa di tempat itu. Rumah panggung yang ia tinggali dibangun di atas rawa-rawa, tanpa sanitasi yang memadai. Untuk air minum konsumsi, ia harus membeli pada tetangganya yang telah memiliki jaringan PDAM.

Rumahnya sungguh sangat jauh dari ukuran layak huni. Namun ia bertahan di sana bersama puluhan warga lain. Nur merupakan warga urban yang telah puluhan tahun tinggal di kawasan kumuh Pandang Raya.

Ada juga warga lainnya, Hamsinah, 40 tahun. Berbeda dengan Nur, Hamsinah menempati rumah semipermanen yang dibangunnya sendiri di salah satu lahan kosong milik pengusaha. Ia diberi izin tinggal sementara di situ. Dulunya, Hamsinah serumah dengan Nur, namun karena sudah tak mampu menyewa, sehingga lebih memilih mendirikan lapak-lapak, dengan memanfaatkan potongan-potongan balok, papan, dan bambu bekas.

"Alhamdulillah, kami masih bisa dipertemukan Ramadan, malah mau mi lagi lebaran," ujar Hamsinah, kemarin.

Ia bersyukur karena selama puluhan tahun tinggal di kawasan kumuh Pandang Raya, empati masyarakat, terutama kelas atas, tak pernah terhenti. Setiap Ramadan, selalu saja ada penderma yang datang membagi-bagikan mereka rezeki. Kadang berupa uang, kerap juga berbentuk seperti sabun, beras, bahkan pakaian bekas.

Sebetulnya, Hamsinah bersama suaminya, Aco, 48 tahun, serta tujuh orang anaknya, juga sangat berharap bisa tinggal di rumah layak. Namun dengan profesinya sebagai buruh serabutan (rata-rata menjadi tukang cuci keliling), itu sungguh sangat jauh dari harapan.

Ia berbangga pada empati warga lainnya yang lebih mampu yang sering membantunya. Menurutnya, tidak semua orang berada itu pelit, bahkan ada yang sangat baik di mata warga Pandang Raya ini. Kini, mereka juga tengah bersuka cita akan menyambut Idulfitri, kendati tak ada bahan kue yang akan diolah sebagai penganan yang akan dihidangkankan pada hari lebaran nanti.

Namun sayang, sejak Ramadan hingga jelang Idulfitri ini, belum ada satu pun penderma yang datang menyumbang. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, setiap kali Ramadan, selalu ada orang yang datang bagi-bagi sedekah kepada mereka.

"Tahun lalu, ada orang pake mobil ke sini, na bagi-bagikanki ta' 20 ribu-ta (maksudnya Rp20 ribu per orang, red)," katanya dalam logat Sulsel yang kental.

Nur, Hamsinah, dan puluhan warga kawasan kumuh Pandang Raya, merupakan potret subordinasi dan ketersisihan di tengah geliat ekonomi Makassar yang angka pertumbuhannya hingga sembilan persen itu. Mereka merupakan tangan-tangan kecil yang tak kuasa mencengkeram rotasi mesin-mesin kapital di Makassar.

Namun jangan melihat mereka dari sisi negatif. Dua putri Nur, misalnya, rata-rata telah khatam Alquran. Mereka, kendati miskin secara ekonomi, namun sangat religius. Putri Nur yang masih sekolah, merupakan remaja masjid di kawasan itu.

Hamsinah sendiri mengaku, kendati tanpa baju baru bagi dirinya, terutama bagi anak-anaknya, namun sukacita datangnya Idulfitri merupakan kebahagiaan yang tak terperi. Semangat bahagia menyambut lebaran terpancar dari keceriaan wajah-wajah mereka yang dibalut pakaian lusuh dan sangat sederhana.

Mereka merupakan warga resmi Kota Makassar, kendati awalnya merupakan kaum urban. Mereka sudah terbiasa dalam keterbatasan dan sadar diri di tengah keterbatasan pendidikan dan skill, hanya bisa mengikuti derik roda kehidupan berputar yang entah kapan akan terhenti.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel, Dr HM Arfah Shiddiq MA, secara khusus memberikan siraham rohani kepada semua warga Sulsel yang merayakan Idulfitri dalam keterbatasan. Ia, sekali lagi menegaskan, bahwa Idulfitri bukan persolan ekonomi, yang hanya bisa dirayakan oleh kalangan berada atau masyarakat kaya.

"Mereka juga mesti menikmati kegembiraan di tengah keprihatinan itu. Tetapi sebaliknya, kita juga jangan sampai melupakan mereka, harus kita bantu," urai akademisi UMI Makassar ini.

Arfah Shiddiq menjelaskan, Idulfitri adalah kemenangan seluruh umat Islam setelah Ramadan. Idulfitri merupakan hari kembalinya manusia pada kesucian atau fitrah dan bersih dari noda. Idulfitri yang disebut juga lebaran ini, harus dirayakan bersama, satu jagat.

Makanya, karena ini merupakan kemenangan bersama, sehingga Islam mengajarkan agar pada hari itu tidak boleh ada umat Islam yang bersedih karena kekurangan atau bahkan kelaparan. Sebab di dalam Ramadan, umat Islam diwajibkan berzakat fitrah yang esensi ajarannya, memberikan kesadaran bagi umat untuk berbagi kepada yang tak mampu, agar mereka juga bisa bersukacita di hari raya.

"Tidak boleh ada diskriminasi hari itu, semua harus berbahagia. Bahkan orang yang haid pun bisa datang ke lapangan di mana salat id digelar," imbuh Arfah.

Pembantu Rektor IV UMI ini menjelaskan, baik kaya maupu miskin, mesti bersukacita di hari raya. Oleh karena itu, saat Ramadan, umat Islam juga sangat dianjurkan memperbanyak sedekah, bahkan melunasi zakat harta atau zakat mal. Sebab orang yang mengeluarkan zakat mal akan membersihkan harta yang dimiliki, juga pahalanya berlipat-lipat.

Zakat dan sedekah inilah yang diharapkan bisa mengurangi beban umat yang kurang mampu. Alangkah bahagianya warga yang tengah dilanda bencana, berada dalam kubang kemiskinan, bahkan merayakan Idulfitri di tahanan, rumah sakit, dan lainnya, jika mendapatkan rida dari yang mampu.

"Jangan sampai karena keprihatinan itu sehingga menghalangi mereka merasakan kemenangan. Makanya, kita harus peduli bagi mereka yang kurang mampu atau bagi saudara-saudara kita yang sedang dilanda bencana," imbuhnya.

Begitu sucinya Idulfitri sehingga bayi yang baru lahir pun diwajibkan bagi orang tuanya untuk membayarkan zakat fitrah. Pesan yang dikandungnya bahwa yang mampu harus berbagi kepada yang tak mampu.

"Seluruh orang lemah harus ikut bergembira karena Idulfitri itu bukan milik orang yang mampu saja," katanya. (zuk)


Minggu, 28 Juli 2013

Tradisi Warga Penuhi Kebutuhan Jelang Idulfitri

MUDIK. Aktivitas masyarakat Indonesia yang ramai-ramai mudik setiap kali memasuki Hari Raya Idulfitri.




Paling Mudah Dapatkan Uang dengan Gadai Emas

KEBUTUHAN warga meningkat signifikan setiap kali akan memasuki Hari Raya Indulfitri. Cara instan menutupi kebutuhan yang tidak linear dengan kemampuan tersebut, yakni dengan menggadai barang berharga.

RIDWAN MARZUKI
Makassar

SATU per satu warga terlihat memasuki kantor keuangan itu. Situasi masih sepi karena saat itu sedang istirahat siang, pelayanan disetop sementara waktu, kira-kira sejam lamanya.

Namun mereka yang datang itu, yang kebanyakan dari kaum perempuan, tetap sabar menunggu tak menggerutu. Kendatipun terlihat kesan buru-buru dari wajah-wajah mereka. Maklum, mereka yang rata-rata ibu rumah tangga tersebut masih memiliki urusan lain.

Situasi ini yang terjadi di salah satu kantor gadai perhiasan, Rabu, 24 Juli 2013. Tepatnya di Kantor Pegadaian Cabang Panakkukang. Lembaga gadai ini merupakan salah satu yang ramai dikunjungi warga untuk menggadaikan barang berharga dan berbagai jenis perhiasan lainnya.

Aktivitas gadai perhiasan memang relatif meningkat di pengujung Ramadan. Kendati umat Islam menjalankan puasa, namun pada bulan ini kebutuhan warga tak dapat dipungkiri, meningkat. Apalagi, Ramadan tahun ini bersamaan dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB).

Hal ini ikut memengaruhi jumlah pengeluaran rumah tangga, terutama mereka yang memiliki anak yang melanjutkan pendidikan, baik ke SMA maupun kuliah. Salah satu jalan paling instan ditempuh oleh warga untuk menutupi kebutuhan mereka tersebut, yakni dengan menggadaikan barang berharga yang dimiliki.

Salah seorang yang sering memanfaatkan kemudahan mendapatkan dana tuai saat sedang tiba-tiba butuh duit, yakni Unga Lili. Ibu rumah tangga asal Sudiang ini mengaku memiliki beberapa barang yang telah dititip di Pegadaian. Namun barang-barang tersebut tak semua miliknya, kendati atas namanya.

Mulanya, Unga enggan mengenalkan namanya. Namun setelah mengetahui bahwa penulis sedang melakukan survei dan peliputan grafik tingkat kebutuhan masyarakat jelang lebaran, akhirnya ia mau bicara.

Di tengah kenaikan harga-harga akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, Unga mengaku banyak ibu rumah tangga yang kesulitan secara ekonomi. Itu lantaran kenaikan tersebut membawa implikasi langsung bagi kebutuhan pokok di pasaran. Apalagi itu dilakukan pemerintah sesaat jelang masuknya Ramadan yang kemudian akan disusul Idulfitri.

"Memang banyak orang menggadai emasnya, termasuk orang kaya," ujar Unga yang mengaku ke Pegadaian untuk membayarkan premi gadai ibunya yang tinggal di Jalan Hertasning.

Sebetulnya ia sangat berharap harga BBM tidak naik agar harga kebutuhan pokok tidak begitu terpengaruh memasuki Ramadan dan menyambut Idulfitri. Kendatipun saat ini harga telah naik, namun ia memiliki ekspektasi kiranya tak ada lagi kenaikan susulan.

Unga menuturkan, menggadai barang berharga, terutama perhiasan, relatif lebih mudah dilakukan di Pegadaian. Jika dilakukan di bank, meskipun bisa mendapatkan sejumlah dana, namun prosesnya dianggap lebih rumit. Makanya ia bersama keluarganya cenderung lebih memilih Pegadaian.

Sebelum-sebelumnya, ketika tak memiliki cukup dana terutama untuk memenuhi kebutuhan lebaran, termasuk menyiapkan perlengkapan sekolah anak-anaknya, maka menggadai perhiasan merupakan jalan yang paling mudah. "Kalau di bank, bukannya tidak bisa, tapi agak sulit," tuturnya.

Hanya saja, Unga yang mengaku suaminya seorang pensiunan ini, tak selalu menggadaikan barang berharga setiap kali akan memasuki lebaran. Itu hanya dilakukan saat kebutuhan sangat mendesak dan tak ada dana langsung yang bisa digunakan.

Ia pun tak menyebut jumlah emas yang ia gadaikan di Pegadaian. Yang pasti, kata dia, secara umum sering kali setiap jelang lebaran, banyak kebutuhan yang biasanya dibutuhkan untuk dibeli. Ibu empat anak ini berharap kiranya pemerintah bisa menekan harga-harga sebelum semkain dekatnya lebaran. Apalagi, dari empat anaknya, masih ada dua yang menjadi tanggungan penuhnya, dua lainnya telah menikah.

Ibu rumah tangga lainnya yang memanfaatkan gadai untuk mendapatkan uang tunai adalah Nur. Perempuan 56 tahun ini juga sempat mendatangi Pegadaian untuk menggadai emasnya. Ia mengaku, sudah ada beberapa keping emas yang ia gadaikan, namun belum sempat ditebus.

Namun untuk gadai kali ini, ia mengaku kebutuhan duitnya bukan untuk belanja kebutuhan Idulfitri. Uang itu akan digunakan untuk membantu anaknya yang sedang menjalankan bisnis rental mobil, sementara armada yang dipakai merupakan barang kredit.

Warga Jalan Tidung IX ini mengaku, dari total delapan unit mobil yang sedang dikredit oleh anaknya untuk dimanfaatkan berbisnis, enam di antaranya masih dalam proses pembayaran kredit. Makanya, ketika secara bersamaan tagihan kreditnya akan jatuh tempo, sementara pemasukan tak mencukupi, maka jalan praktis yakni dengan menggadaikan emas.

"Sudah banyak emasku di dalam (Pegadaian, red)," ujar ibu empat anak ini yang hari itu mengenakan gaun terusan hijau dengan balutan jilbab hitam.

Pensiunan Dinas Sosial Sulsel ini, menguraikan, menjalankan bisnis, pemasukannya tidak selalu normal. Kerap banyak keuntungan, namun kadang pula kurang. Saat banyak, ia memilih menebus perhiasannya di Pegadaian, bahkan saat diperlukan, menambah dengan perhiasan baru.

Begitu kurang pemasukan dan bersamaan dengan jatuh tempo kredit, maka perhiasan-perhiasan itulah yang menjadi "dewa penyelamat". Setelah digadai, maka bisnis anaknya bisa jalan lagi dan begitu seterusnya siklus yang terjadi. Namun ia bersyukur, dua mobil anaknya sudah lunas hasil pembelian dengan cara kredit.

Nur juga mengakui, emas merupakan barang yang paling banyak dan paling mudah digadaikan. Memiliki emas berarti mudah mendapatkan saat membutuhkannya secara mendadak.

"Emas paling gampang," katanya. Ia juga mengeluhkan naiknya harga kebutuhan pokok di pasar sehingga menyulitkan masyarakat. Terutama harga bawang merah, kata dia, yang melambung sangat tinggi.

Salah seorang karyawati Kantor Pegadaian Cabang Panakkukang, Riris, mengakui banyaknya emas yang digadaikan warga. Namun menurutnya, jelang Hari Raya Idulfitri, justru banyak juga ibu rumah tangga yang menebus perhiasannya.

"Mungkin mau dipakai lebaran. Setelah lebaran, baru dimasukkan lagi," ujarnya dengan senyum semringah di depan etalase emas lelang. Riris memang ditugaskan di bagian lelang emas, yakni perhiasan yang tidak ditebus oleh penggadai hingga tiba masa jatuh tempo. (*)

Selasa, 23 Juli 2013

Pendiri Facebook Berduka


Josef Desimone, Sang "Koki" Kecelekaan

Secara mengejutkan, pendiri situs sosial Facebook, Mark Zuckerberg, menyampaikan kesedihannya melalui status yang ia buat. Ia berduka lantaran salah satu eksekutif Facebook meninggal.

Statusnya tersebut ia unggah sekitar pukul 04.00 Wita. Di situ, ia menyampaikan kesedihannya karena Josef Desimone, salah satu tokoh berpengaruh di Facebook yang banyak membuat desain dalam tampilan. Josef bahkan disebut sebagai koki. Ini status Mark Zuckerberg:

Saya akan berbagi berita yang sangat sedih.

Pagi ini Josef Desimone, "koki" eksekutif kami, terlibat dalam kecelakaan sepeda motor. Mohon maaf, Saya harus menyampaikan bahwa Josef telah meninggal.

Josef adalah legenda dan institusi Facebook. "Chef Josef" bergabung dengan kami pada tahun 2008 dan dia yang membangun tim kuliner kami dari beberapa karyawan di kafe tunggal menjadi tim global dengan puluhan restoran kelas dunia. Dia tidak pernah berkompromi pada persoalan kualitas, tetap total menjaga perhatian terhadap detail.

Josef memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan budaya kita selama tahun-tahun pertama dan sampai sekarang ini.

Jauh dari Facebook, Josef merupakan energik dan pendorong. Hampir setiap akhir pekan ia menjadi relawan organisasi veteran, sang pemadam kebakaran, atau menjadi pencetus hal-hal berharga lainnya.

Dia memiliki keyakinan yang kuat dan memberikan lebih banyak tentang hidup daripada yang ia dapatkan, dan itu ia tunjukkan pada semua orang yang berkabung untuk dia hari ini.

Kami akan menemukan cara abadi menghormati warisan Josef di Facebook, segera. Untuk saat ini, mari kita mengingat dan berkabung berpulangnya teman baik, mentor setia, dan pemimpin inspirasional itu. (int-zuk)


Kamis, 18 Juli 2013

Menjejak Genealogi Pesantren di Sulsel

Sejarah Panjang

LAHIR dan berdirinya pesantren di Sulsel, memiliki sejarah tersendiri. Dari sejumlah pesantren pelopor, mereka memiliki kesamaan orientasi, yakni mencerahkan umat.

Berbicara tentang pesantren pelopor, maka tak ada yang bisa membantah bahwa Pesantren As'adiyah di Wajolah yang merupakan peletak dasar menyebarnya ajaran pesantren di Sulsel. Dari As'adiyahlah tradisi pesantren di Sulsel meluas hingga ke daerah lainnya.

Gagasan dan ruh pesantren ditanamkan di As'adiyah sehingga dengan cepat pesantren berkembang, kendati pada generasi awal, masih terbatas pada daerah-daerah tetangga Wajo. Sejumlah santri terbaik yang berguru di As'adiyah satu per satu berhijrah dan mendirikan pesantren baru untuk memperluas ajaran Islam.

BACA JUGA: Hampir Satu Abad, Ini Kondisi Pesantren di Sulsel

Apalagi, kehadiran pesantren pada masa dulu memang relevan di tengah situasi ketertinggalan masyarakat. Selain karena penjajahan Belanda dan juga Jepang yang datang belakangan, faktor aksesibilitas pendidikan juga masih menjadi sesuatu yang sangat elite pada zaman dulu.

Setelah Pondok Pesantren (Ponpes) As'adiyah yang didirikan pada 1930, muncullah pesantren lain, seperti Ponpes DDI Mangkoso Barru (1938) dan Ponpes Perguruan Islam (Pergis) Ganra Soppeng (1940). Setelah itu, pendirian ponpes lantas semakin menyebar hingga berbagai daerah di Sulsel.

Ponpes As'adiyah memang yang tercatat banyak melahirkan tokoh yang belakangan juga mendirikan ponpes. Misalnya ada nama KH Harisah HS pendiri Ponpes An-Nahdlah Makassar, KH Abd Rahman Ambo Dalle pendiri Ponpes Darud Da'wah wal Irsyad (DDI) Pare-pare, Pinrang, dan Barru, dan KH Daud Ismail pemimpin sekaligus pendiri yayasan perguruan Yasri di Watang Soppeng.

Ada juga nama KH M Abduh Pabbaja pimpinan dan pendiri Ponpes Al Furqan Pare-pare, KH Lanre Said pendiri pesantren 77 Bone, KH Mahmud pemimpin perguruan Islam UMI di Donggala Sulteng, termasuk saat ini Wakil Menteri Agama (Wamenag) Prof Dr Nasruddin Umar, juga alumni Ponpes As'adiyah.

Termasuk, di Makassar juga bermunculan pesantren yang susul-menyusul. Tak ada data pasti mengenai pesantren tertua di Makassar, namun untuk ukuran pesantren yang dibangun tanpa afiliasi alias bukan cabang dari pesantren-pesantren lain yang terlebih dahulu dibentuk, muncul Lembaga pendidikan Islam dan Bahasa Arab pada 1969 di Bontoala.

Awalnya, cikal bakal Ponpes Ma'hadud Dirasatil Islamiyah wal Arabiyah (MDIA) ini merupakan rabitatul ulama Sulsel, yakni tempat perkaderan calon-calon ulama di kawasan Sulsel. Dulu, lembaga ini diketuai oleh KH Ahmad Bone.

Untuk angkatan pertama, ada enam nama ulama yang sempat dilahirkan dari lembaga ini. Mereka masing-masing KH Abu Hurairah (sekarang di Manado), KH Zaid Muzammah, KH Hamzah, KH Djafar Marzuki, KH Abdullah Humairi, dan KH Abdullah.

Pada 1986 boleh dibilang menjadi sejarah kebangkitan pesantren di Makassar. Secara bersamaan, Ponpes An-Nahdlah dan MDIA, bangkit. MDIA awalnya sempat vakum, sehingga pada 1984 KH Abd Mutthalib mengambil alihnya. Ia dipercaya oleh KH Abd Kadir Halid sang pendiri pertama ponpes tersebut. (*)

Berikut hasil penelusuran tim kami terkait genealogi pesantren di Sulsel (Lina, Asriadi, Hamdani, Arini, dan Ridwan)

 1. Wajo: Pesantren As'adiyah

Eksis Sejak 1930, Sudah Miliki 500 Cabang

PONDOK Pesantren As'adiyah yang menelorkan banyak ulama ternama, membuat Wajo digelari sebagai Kota santri. Ya, Sengkang cukup familiar dengan sebutan Kota Santri. Keberadaan Pondok Pesantren As'adiyah, sebagai mesin pencetak para mubalig maupun ulama, itu dikenal di seantero nusantara ini. Selain melahirkan ulama, juga banyak alumninya yang jadi ilmuwan.

Bagaimana sejarahnya? Madrasah As'adiyah merupakan jelmaan dari Madrasatul Arabitaul Islamiyah (MAI), resmi didirikan oleh Al-Allamah Asysyek HM As'ad pada Mei 1930, meski aktivitas pengajian dimulai pada tahun 1928. Penamaan As'adiyah di ambil dari nama pendirinya KH.M As'ad, dia merupakan putra pasangan H. Abd Rasyid dan Sitti Shalehah seorang ulama berdarah Bugis Wajo yang menetap di Mekah.

M. As'ad kecil sendiri lahir dan besar di tanah Mekah . Awal menginjakkan kaki di tanah kelahiran kedua orangtuanya , KH.M.As'ad masih berusia sekitar 22 tahun. Karena dididik di lingkungan para ulama di Mekah sehingga penguasaan ilmu pengetahuan di bidang agama sangat mumpuni , bahkan telah menghafal Alquran 30 juz pada usia masih tergolong belia, 14 tahun .

Wakil ketua Pengurus Besar As'adiyah Sengkang, KH Abunawas Bintang beberapa waktu lalu menceritakan sebelum menjadi Madrasatul Arabiatul Islamiah (MAI) awalnya hanya pengajian biasa di kediaman Gurutta (sapaan KH.M.As'ad oleh muridnya , red) namun semakin hari muridnya semakin banyak hingga turun ke masjid yang sekarang bernama menjadi Masjid Jami' di Tokampu, Sengkang .

Masjid yang saat ini berdiri megah memiliki dua lantai. Lantai dua merupakan tempat belajar MTS I Puteri As'adiyah Sengkang , dan lantai I juga ada MTS II Puteri Sengkang . Untuk mengenang sebagai penghormatan atas jasa-jasanya dalam pengembangan Islam di Wajo, maka nama KH.M.As'ad diabadikan sebagai nama jalan ruas yang memanjang di sekitar Mesjid Jami, Sengkang . Di sinilah awal terbentuknya sekolah bernama MAI yang tempatnya difasilitasi oleh Arung Matoa Wajo. Saat itu ada lima tingkatan kelas.

Menurut pria kelahiran Kajuara, Bone, 1946 ini, perkembangan MAI semakin hari semakin pesat, masyarakat dari pelbagai pelosok daerah berbondong-bondong datang untuk belajar karena tertarik pada kesohoran KH.M.As'ad yang tidak hanya dikenal di Wajo atau di Sulawesi saja sebagai tokoh ulama yang cerdas tapi juga dari daerah luar. Sehingga tidak mengherankan jika banyak yang datang dari luar provinsi seperti Sumatera dan Kalimantan .

Singkat cerita setelah KH.M.As'ad meninggal dunia pada 1952, saat itu usianya baru menginjak 48 tahun. Setelah itu MAI  dinisbahkan menjadi Madrasah As'adiyah. Kepemimpinan beralih ke KH Daud Ismail. Dia merupakan murid langsung angkatan pertama KH.M.As'ad bersama KH Abdul Rahman Ambo Dalle yang juga merupakan mantan anggota MPR RI 1982-1987 sekaligus pendiri perguruan Darud Da'wah wal Irsyad (DDI) yang ada di Parepare, Pinrang, dan Ponpes Mangkoso di Barru.

Pada 1973, Kota Sengkang terbakar termasuk Sekolah Madrasah As'adiyah, sehingga setelah itu, Pondok Pesantren As'adiyah pindah ke Jalan Veteran, Kelurahan Lapongkoda, Sengkang pada 1966 kala itu  sampai sekarang. Saat ini, Pondok pesantren As'adiyah punya jenjang pendidikan formal untuk setiap tingkatan, mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Bahkan, As'adiyah mengembangkan diri untuk penyebaran syiar islam di seluruh wilayah di Indonesia, tercatat sudah memiliki sekitar 500 cabang yang tersebar di sejumlah daerah lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulbar, Sulawesi Tengah, NTT, hingga Papua. (tim)

Miliki Kurikulum Khusus, Pengajian Halaqah

Pondok Pesantren As'adiyah Sengkang tidak hanya menggembleng para santri di bidang agama  melalui pendidikan formal, tapi juga membina penghafal Alquran yang dipersiapkan untuk jadi imam dan Mahad' Aly (pengkaderan ulama) untuk jadi mubalig. Sehingga, As'adiyah memang sudah diakui sebagai mesin pencetak ulama.

Sejak berdirinya sudah menelorkan ribuan alumni, ada yang mubalig hingga imam masjid. Bahkan tidak sedikit alumni yang mendirikan pondok pesantren baru di daerah lain atau minimal jadi pembina pesantren dan banyak juga alumninya yang menjadi guru besar di sejumlah perguruan tinggi Islam seperti UIN Alauddin Makassar.


Selain itu, sejumlah tenaga pengajar dan guru besar di UIN Alauddin Makassar, salah satunya adalah Prof Kamaruddin Amin dan Anre Gurutta (KH) Prof Dr H. Raffi Yunus Martang yang juga merupakan Ketua Umum PB As'adiyah, Prof Dr Karim Hafid, Dr Kamaluddin Abunawas, Prof Dr Abustani Ilyas, dan lainnya .

KH. Abunawas Bintang mengaku, rata-rata alumni As'adiyah yang dulu-dulu kualitasnya diakui khalayak, seperti bacaan Alqurannya saat menjadi imam salat, begitu pun juga saat jadi mubalig dari satu daerah ke daerah lain. Apalagi pada bulan suci Ramadan, para mubalig dan imam shalat tarawih dari As'adiyah disebar ke seluruh daerah yang ada di Indonesia sesuai permintaan, bahkan pernah ada yang dikirim ke luar negeri seperti Malaysia.

"Dulu, tidak ada ulama yang tidak lahir dari rahim As'adiyah. Kalaupun tidak pernah belajar secara formal di As'adiyah, tapi minimal pernah balajar di alumninya As'adiyah ," ujarnya .

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada setiap momentum bulan suci, As'adiyah selalu menyebar imam tarawih dan mubalignya yang berasal dari berbagai tingkatan, mulai tsanawiyah/sederajat SMP, Madrasah Aliyah, Mahasiswa, Mahad Ali yang dibina As'adiyah, bahkan  ada dari alumni. Khusus untuk penghafal Alquran, mereka dikoordinanasikan oleh pembina masing-masing di Masjid Jami, Sengkang.

Jumlah yang tersebar tergantung permintaan, tidak hanya di Wajo saja, tapi banyak dari luar provinsi. Jadi, selama sebulan penuh, tidak ada aktivitas di dalam pondok pesantren, hanya masjid di dalam kompleks saja yang dimanfaatkan untuk salat lima waktu.

Ketua Panitia Ramadan Pondok Pesantren As'adiyah, Muhiddin Tahir, mengatakan, untuk tahun ini mubalig yang disebar ada 510 orang dan imam tarawih ada 75 orang. Selain di Wajo, juga ada disebar di Sulawesi Tenggara,  Kaltim, Kupang, hingga Papua.

Namun, ada hal unik yang dimiliki oleh As'adiyah dan tidak dimiliki oleh pondok pesantren lainnya. Dalam proses belajar-mengajar di pendidikan formal menggunakan kurikulum khusus. Namanya, pengajian halaqah, itu dilakukan setelah salat magrib dan setelah salat subuh yang diajarkan dalam Bahasa Bugis. Itu diajarkan mulai jenjang Madrasah Tsanawiyah, Aliyah, hingga Ma'had Ali.

Menurut Muhiddin Tahir,  kurikulum itu ada sejak ada Pondok Pesantren As'adiyah, model pengajarannya, ada kitab khusus yang dibaca oleh guru dan kitab yang sama harus berada di depan semua para santri. Biasanya, pengajian halaqah ini dilaksanakan di masjid khusus yang ditunjuk, ada enam masjid, yakni Masjid Raya, Masjid Jami, Masjid Macanang dan 3 masjid di Kelurahan Lapongkoda. (tim)

2. Pesantren DDI-AD Mangkoso, Serambi Cairo

Bagi masyarakat Sulawesi, khususnya bagian Selatan, Barat, Tengah dan Tenggara, tentu tidak asing dengan Pondok Pesantren DDI Mangkoso atau yang saat ini dikenal dengan DDI Ambo Dalle Mangkoso. Terbukti, dari puluhan ribu  santrinya, kebanyakan berasal empat daerah tersebut.

Pesantren yang berdiri 78 tahun silam tersebut memiliki sejarah tersendiri. Menurut pengurus Ponpes DDI AD, Ahmad Rasyid Amberi Said, ihwal berdirinya Ponpes ini bermula ketika pada
tahun 1932,  Muhammad Yusuf Andi Dagong diangkat menjadi Arung (raja) di Swapraja Soppeng Riaja (sekarang salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan).

Tiga tahun kemudian, ia mendirikan tiga buah masjid dalam wilayah kekuasaannya, salah satu berada di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, masjid tersebut  kurang berisi jamaah karena rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam. Untuk mencari solusi, diadakanlah pertemuan di Saoraja (rumah besar/kediaman raja) Mangkoso.

Pertemuan itu menyepakati untuk membuka lembaga pendidikan dengan meminta Anregurutta Haji Muhammad As’ad, seorang ulama yang memimpin Pesantren Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Sengkang Wajo agar mengirim seorang muridnya, yaitu Gurutta Haji Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengelola lembaga pendidikan (Bugis: Angngajiang) yang akan dibuka di Mangkoso.

Lalu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938, Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle resmi membuka pesantren di Masjid Jami Mangkoso dengan sistem halaqah (Bugis: Mangaji Tudang). Kemudian, pada 20 Zulkaidah 1357 H ataul 11 Januari 1939 dibuka tingkatan Tahdiriyah, Ibtidaiyah, Iddadiyah, dan Tsanawiyah. Pesantren tersebut diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso.

Dalam perkembangannya, MAI membuka cabang di berbagai daerah, misalnya di Pangkep, Soppeng, Wajo, Sidrap, Majene, dan berbagai daerah lainnya. Tahun 1947, berdasarkan  hasil pertemuan alim ulama / Kadhi se-Sulawesi Selatan serta  guru-guru MAI tanggal 16 R Awal 1366 H atau 7 Februari, nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso dan cabang-cabangnya diubah menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), sebuah organisasi  pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan yang berpusat di Mangkoso.

Dua tahun kemudian, atas permintaan Arung Mallusetasi yang memintanya menjadi Kadhi di Parepare, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle pindah ke Parepare dan menunjuk Anregurutta H.Muhammad Amberi Said sebagai penggantinya memimpin Pesantren DDI Mangkoso.
Tanggal 1 Muharram 1369 H (1949) Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle selaku Ketua Umum DDI memindahkan Pengurus Pusat DDI dari Mangkoso ke Parepare.

Sementara Pondok Pesantren DDI Mangkoso diberi status sebagai Cabang Otonom dengan kewenangan penuh mengatur dan mengelola pesantren, namun secara organisasi tetap berada di bawah struktur PP DDI. Sejak itu, DDI semakin berkembang dan mengelola puluhan pesantren dan ratusan madrasah yang tersebar di berbagai provinsi, khususnya di Kawasan Timur Indonesia.

Atas kesepakatan para tokoh dan pendiri DDI, tanggal 17 Ramadan 1424 H atau 12 November 2003 ditambahkan nama Abdurrahman Ambo Dalle di belakang nama DDI sehingga menjadi DDI Abdurrahman Ambo Dalle (DDI-AD).

"Penambahan nama tersebut, selain untuk mengenang dan mengabadikan nama AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle sebagai Pendiri Utama, juga dimaksudkan untuk melestarikan nilai dasar perjuangan beliau dalam membangun dan mengembangkan DDI hingga menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia Timur," tutur, Ahmad sapaan akrabnya.

Ahmad menuturkan, salah satu ciri khas DDI AD Mangkoso yang membedakannya dengan pesantren lainnya adalah Kajian Kitab Kuning (Klasik dan Kontemporer) serta Ilmu Alat Bahasa Arab dengan tipologi Salafiyah-Khalafiyah. Ini sesuai dengan visi Ponpes tersebut untuk mewujudkan DDI-AD sebagai Serambi Kairo.

"Semua kurikulum kepesantrenan DDI-AD Mangkoso dalam proses Muadalah dari Perguruam Al-Azhar Kairo, Mesir," ungkapnya.

Dalam penyebaran santrinya, DDI AD tak ketinggalan, selain mayoritas melanjutkan pendidikan  pada salah satu perguruan tinggi yang ada di Timur Tengah, khususnya  di Mesir. Beberapa di antaranya juga melanjutkan pada  perguruan tinggi Islam negeri  maupun swasta di seluruh Indonesia.

"Saat ini, alumni yang tercatat melanjutkan di berbagai PTAI, di antaranya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN dan UII Jogjakarta, IAIN Surabaya, UIN dan UMI Makassar, dan sebagainya," katanya.

Di samping itu, kata Ahmad, tidak sedikit  alumni DDI-AD Mangkoso menyebar di berbagai perguruan tinggi, di antaranya UI Jakarta,  Gunadarma Jakarta, ITB Bandung, IPB Bogor, UGM Yogyakarta, UII Yogyakarta, Unair dan ITS Surabaya, Unhas, UNM Makassar, dan sebagainya.

Selama Ramadan, lanjutnya, para santri berkiprah di tengah-tengah masyarakat, baik sebagai mubalig maupun tenaga guru. Banyak alumni maupun mahasiswa STAI DDI-AD Mangkoso yang dikirim ke berbagai daerah, baik di Sulawesi Selatan maupun di luar provinsi, untuk memenuhi permintaan masyarakat sebagai dai dan tenaga pengajar pada madrasah atau pesantren cabang.
(tim)

Perpaduan Salafiyah dan Khalafiyah


Seiring perkembangan zaman, Pondok Pesantren DDI-AD Mangkoso terus bermetamorfosis. Tetapi, pembenahan yang dilakukan lebih ke pengembangan sarana dan prasarana belajar. Sebab sejak jauh hari  pesantren ini telah memadukan antara sistem pendidikan salafiyah (tradisional) dengan sistem khalafiyah (modern).

Ini terlihat dari kurikulum yang diajarkan. Terlihat jelas perpaduan antara Kurikulum Pesantren dengan Kurikulum Nasional (Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional). Ditambah lagi, saat ini berbagai kegiatan keterampilan (ekstra kurikuler), dengan porsi 100 persen kurikulum pesantren dan 100 persen kurikulum nasional.

"Salah satu yang terbaru adalah keberadaan Ma’had Aly atau Pesantren Tinggi. Ma'had Aly merupakan  lembaga pengkaderan ulama yang khusus mengkaji secara intensif kitab-kitab kuning (klasik dan kontemporer) dengan dibina oleh para ulama alumni Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universitas Madinah. Lepasan ma’had ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan kelangkaan ulama yang bisa hadir memberikan solusi terhadap berbagai problema keagamaan yang dihadapi umat Islam saat ini," tutur Ahmad Rasyid Amberi Said

Ia juga memaparkan, sejauh ini proses belajar mengajar ditunjang oleh berbagai sarana. Di antaranya kampus I seluas 2,5 hektare untuk tingkatan RA, ibtidaiyah, SMP, dan perguruan tinggi/mahad ali. Kampus II seluas 17 hektare untuk tingkatan tsanawiyah dan aliyah putra. Kampus III seluas 24 hektare untuk tingkatan tsanawiyah dan aliyah putri.

Asrama santri putra sebanyak 16 unit dan putri 10 unit, gedung belajar sebanyak 52 unit, masjid  3 buah, laboratorium bahasa 3 unit, laboratorium IPA  1 unit, laboratorium micro-teaching  1 unit, laboratorium komputer 5 unit, perpustakaan  4 unit, sarana olahraga, kesenian (kasidah rebana, perkusi, dan marching band) serta sarana keterampilan (agribisnis untuk putra dan konveksi untuk putri).

Di bagian lain, salah seorang pengajar di Kampus II Putra, Mayyadah, yang juga putri almarhum Anre Gurutta Wahab Zakariyah MA, menjelaskan, salah satu kelebihan yang dimiliki pondok pesantren ini adalah pembinaan selama 24 jam. Dengan demikian, disiplin belajar dan waktu untuk mengulang pelajaran tetap dalam pengawasaan dan tidak pernah lepas. (tim)  

3. Soppeng: Ponpes Perguruan Islam Ganra

Alumninya Banyak Jadi Pejabat, Pengajarnya Lulusan Mesir

Pondok Pesantren (Ponpes) Perguruan Islam (Pergis) Ganra merupakan salah satu rujukan bidang keagamaan di Soppeng. Ponpes ini terbilang paling tua di antara sejumlah ponpes yang ada di daerah ini.

Ponpes Perguruan Islam Ganra telah mengalami tahap metamorfosis. Ponpes ini pernah mengalami fase timbul tenggelam sebelum eksis kukuh hingga saat ini.

Ponpes yang berdiri di atas lahan sekitar 2 hektare ini bertempat di Jalan Pendidikan Ganra, Kecamatan Ganra. Untuk sampai ke tempat ini hanya membutuhkan waktu kira-kira 15 menit dari Kota Watansoppeng. Jaraknya sekitar 10 kilometer arah timur Kota Watansoppeng.

 Ponpes ini berdiri sejak 1 Agustus 1940. Kala itu sebelum berstatus sekolah hanya dimulai dari pengajian pondokan yang diselenggarakan Muh Yusuf Usman. Kemudian timbul inisiatif dari tokoh masyarakat untuk mendirikan sekolah. Bertemulah tiga tokoh masyarakat waktu itu yakni A Hasan, Kepala Onder Distrik Ganra (Sullawatang Ganra), H Ahmad Adam (Imam Ganra), dan Muh Aras (tokoh masyarakat).

Dari inisiatif ketuga tokoh ini, terbentuklah sekolah yang diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Aktivitas belajar dan pengajian waktu itu menempati Masjid Ganra yang lama. Setelah berstatus sekolah, beberapa tahun kemudian sempat melangsungkan aktivitas belajar mengajar sebelum ditutup sementara.  Sekolah ini ditutup akibat adanya tekanan pemerintah kolonial Belanda yang melarang mendirikan sekolah. Namun kemudian diperbolehkan mendirikan sekolah tapi dilarang menggunakan bangku.

“Kala itu pengurus dan guru-guru ponpes tidak patah arang. Mereka tetap berusaha melangsungkan aktivitas belajar mengajar meski menggunakan kolong rumah warga. Namun tekanan terus datang dari kolonial Belanda jadi terpaksa ditutup tahun 1943,” kenang Ketua Yayasan Ponpes Perguruan Islam Ganra, H Kamaruddin.

Kamaruddin menceritakan setelah sempat vakum beberapa tahun akhirnya sekolah itu dibuka kembali 1 Agustus 1946. Lokasinya menempati Sekolah Rakyat (SR) Paomallimpoe.
Setelah buka kembali, proses pengajian belum lancar sehingga dilaksanakan pada sore hari. Barulah setelah tahun 1948 didirikan gedung 2 lokal di Ganra. Sejak saat itulah ponpes itu eksis hingga saat ini. Pada 1 Agustus 1957 dibuka sekolah lanjutan menengah pertama  yang diberi nama Madrasah Menengah Pertama (MMP).

“Mulai 1 Agustus 1940 hingga 6 Juni 1959 bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Dan tanggal 7 Juni 1959 diadakan rapat pengurus untuk menetapkan anggaran dasar dan berubah nama menjadi Yayasan Perguruan Islam Ganra,” tambah Kamaruddin, yang juga menjabat Kepsek SMPN 1 Watansoppeng.

Yayasan Perguruan Islam Ganra ini mengelola empat tingkatan, yakni tingkatan rendah dari MAI menjadi Ibtidaiyah/SR, tingkat menengah pertama dari MMP menjadi Madrasah Tsanawiyah/SMP, dan tingkat menengah atas dibuka 1 Januari 1971 diberi nama Madrasah Aliyah. Khusus untuk tingkat taman Kanak-kanak dibuka 7 Januari 1974 dan diberi nama Raodhatul Athfal. Hingga akhir tahun ajaran 2012 mencatat santri 745 orang. Jumlah tersebut belum termasuk alumni yang mencapai ribuan orang.

Ponpes Perguruan Islam Ganra merupakan salah satu lembaga pendidikan yang banyak menelorkan alumninya menempati jabatan strategis. Di ataranya ada nama Drs Muh Na’im (mantan Kakanwil Depag Sulsel), Prof Dr H Jalaluddin Rahman MA (mantan anggota DPRD Sulsel), dan Prof Dr H Abd Rahim Yunus MA (guru besar UIN Alauddin Makassar yang juga sekretaris MUI Sulsel), serta sejumlah pejabat lain yang menempati posisi penting di berbagai daerah.

“Ponpes Perguruan Islam Ganra mengalami perkembangan yang cukup memuaskan. Alumninya banyak menempati jabatan strategis di daerah ini,” kata Pimpinan Ponpes, AG KH Amin Battang.

Amin Battang menambahkan pihak ponpes berusaha mengembangkan kegiatan dan kemandirian santri/santriwati melalui pola pembinaan santri lepas. Kebanyakan santri belajar sampai jam kelas formal lalu kembali ke rumah masing-masing. Santri yang berdomisili di sekitar pesantren melanjutkan pelajaran pada sore hari. Sementara santri penuh tinggal menetap di pondok. Santri yang menempati pondokan rata-rata berasal dari daerah tetangga seperti Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Sulbar, hingga Papua.

Untuk meningkatkan dan mengembangkan bakat santri, pelbagai ilmu dari berbagai bidang juga diberikan. Seperti keterampilan berbahasa, komputer, keterampilan menjahit, olahraga, seni, pidato dan, tahfidzul Alquran.

Sementara staf pengajarnya didatangkan dari guru-guru ponpes ternama. Seperti guru dari Ponpes Gontor, Jawa Timur, Ponpes As-Adi'yah Sengkang, dan Ponpes Mangkoso Barru. Tidak hanya itu, sejumlah pengajarnya merupakan lulusan Al Ashar Kairo, Mesir.

“Ponpes berusaha mengikuti perkembangan saman. Termasuk mendatangkan guru dari ponpes ternama di Indonesia,” tambah Amin Battang.
          
Selama Ramadan ini, aktivitas santri di ponpes ditiadakan. Mereka diliburkan. Rata-rata santri disebar keberbai daerah untuk melakukan ceramah di masjid-masjid. (tim)



4.  Maros: Pesantren Darul Istiqamah


USIA 43 Tahun Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa yang terletak di Jalan Poros Maros-Maccopa ini terbilang cukup tua di Kabupaten Maros.

Wakil Sekretaris Jendral (Sekjen) Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa, Fahruddin Achmad, mengatakan, sejak didirikan tahun 1970-an hingga saat ini, sudah banyak melahirkan santri maupun santriwati yang bergelut sebagai dai muda serta para penghafal Alquran.

"Jadi pesantren ini didirikan oleh KH Ahmad Marzuki Hasan yang mendapatkan tanah dari pemerintah Kabupaten Maros seluas  0,5 hektare. Atau dengan kata lain dihibahkan oleh pemerintah dalam hal ini Bupati Maros yang dijabat Kasim DM kala itu," katanya.

Awalnya, kata dia, pesantren yang segmennya tahfiz itu hanya memiliki dua santri yang kemudian berkembang menjadi delapan.

"Kemudian menjadi 12 dan berkembang hingga akhirnya bisa mencapai jumlah santri dan santriwati sekitar 1000-an orang," imbuhnya.

Sekarang, kata dia, sudah berdiri 30 cabang yang tersebar di Indonesia Timur. Seperti di Makassar, Gowa, Sinjai, Enrekang, Bone, Maros, Wajo, Luwu. Luwu Timur, Manado, Luwuk Banggai, Sulbar, Sorong, Papua, Jakarta, Kolaka, dan Kolaka Utara. Perkembangan pondok pesantren Darul Istiqamah mulai pesat pada 1976.

Hingga kini, keluaran Darul Istiqamah sudah mencapai 7000-an. Menurut  Fahruddin, banyak hal yang membedakan pesantren Darul Istiqamah dengan yang lainnya.  Darul Istiqamah menitikberatkan pada pembangunan pesantren masyarakat.

"Jadi bukan hanya sekolah tapi komunitas masyarakat yang menghadirkan masyarakat islami. Kemudian menekankan pada penghafal Alquran, dakwah, dan pendidikan Islam," katanya.

Misi lainnya, pesantren ini bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya.

"Nah itu dia kenapa kita membangun rumah bersalin, pasar, dan sekolah. Ya, karena semua itu dipersembahkan bagaimana menjadi bagian masyarakat besar," jelasnya.

Pesantren Darul Istiqamah juga menjadi pesantren yang membangun peradaban masyarakat.

"Tentu saja dengan prinsip-prinsip mendasar bagaimana menegakkan Alquran dan assunah yang sahih. Tetapi dengan keterbukaan. Tidak memarginalkan diri, dan senantiasa bergaul dengan masyarakat," katanya

Mengenai tren penurunan dan peningkatan santri selama Ramadan, Fahruddin mengatakan, tidak ada penurunan santri. Cuma saja kalau Ramadan, aktivitasnya difokuskan pada beberapa hal. Pertama, semua santri bahkan semua warga pesantren, atau para guru wajib menghatamkan Alquran selama Ramadan. Sehingga mereka berusaha, bahkan ada yang khatam tiga kali.

Kedua, kata dia, bagaimana meningkatkan kualitas ibadah. Seperti salat fardu, salat sunah, salat qiyamullail atau salat malam, kemudian pengajian.

"Ketiga, bagaimana agar santri tetap berdakwah. Sehingga beberapa dai dikirim untuk berdakwah di berbagai masjid di Maros, diikirim ke cabang  pesantren seperti Sinjai ada lima cabang, Luwu Raya empat cabang, Enrekang satu cabang," urainya.

Dia juga mengaku menerima undangan untuk pembinaan masyarakat selama Ramadan di luar cabang pesantren.

"Seperti permintaan masyarakat Toraja. Biasanya kita kirim 3-5 orang dai tiap tahun," katanya.

Sementara Direktur Operasional Sekolah Putri Darul Istiqamah, Indra Wijaya, mengatakan, yang membedakan pesantren dengan sekolah lain yaitu memiliki visi menjadi sekolah di Indonesia timur yang lengkap dari segi fasilitas, proses belajar mengajar kurikulum yang digunakan selain kurikulum pesantren, juga kurikulum pendidikan nasional (umum).

"Jadi kita juga menggunakan kurikulum diknas mulai SD sampai SMA. Misalnya pagi hari belajar umum, sore dan magrib kurikulum pesantren," jelasnya.

Kemudahan lain, kata dia, agar tidak ketinggalan informasi maka siswi dibolehkan membawa laptop.

"Kita siapkan wifi gratis," katanya. Saat ini Ponpes Darul Istiqamah Maccopa dipimpin oleh KH. M Arif Marzuki. (tim)

Tetap Beraktivitas di Bulan Ramadan

JIKA sekolah Islam atau pesantren lain biasanya memilih meliburkan santri dan santriwatinya saat Ramadan, di Pondok Pesantren Darul Istiqamah justru tidak. Berbagai kegiatan selama Ramadan pun digelar hingga 20 Ramadan.

Sekjen Ponpes Darul Istiqamah Fahruddin Achmad, mengatakan, pihaknya memiliki alasan tersendiri untuk tidak meliburkan santrinya yang bisa berdampak buruk secara siginifikan. Baik terhadap akhlak maupun pendidikan para santrinya.

"Kami sulit menjamin ketika mereka libur akhlaknya bisa terbina dengan baik. Ibadah puasa dan mengajinya bisa dijalankan dengan baik. Jadi mereka harus memahami kalau puasa di bulan Ramadan itu akan terasa indah jika kualitas ibadahnya naik sekian kali lipat. Dan itu hanya bisa diwujudkan kalau mereka tidak libur," jelasnya.

Dia mengatakan para santri dan santriwati tetap belajar secara formal. kemudian ada pengurangan pada aktivitas ekstra-kokurikuler.

"Jadi masing-masing tingkatan telah memiliki kegiatan. Baik dari tingkatan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA)," katanya.

Untuk santri di tingkatan MI, sejak Ramadan mereka punya aktivitas yang disebut anak saleh yang akan berlangsung selama 20 Ramadan. Mereka mulai dari salat berjamaah subuh, belajar pendidikan berdoa, dan zikir hingga pukul 10.00 Wita. Sore harinya pada pukul 16.00 Wita, mereka kemudian belajar hingga pukul 20.00 Wita yang kelola masing-masing dua guru.

Sementara santri dan santriwati MTs dan MA yang tidak diliburkan sampai 20 Ramadan, banyak beraktivitas di sekolah dan masjid. "Agenda utamanya, mereka bisa menghatamkan Alquran lebih banyak. Minimal satu kali dan ada pula yang bisa sampai tiga kali bahkan lebih selama 20 hari itu," katanya.

Selama Ramadan para santri dan santriwati tetap mendapatkan pendidikan dari para tenaga pendidik. Meski waktunya tidak begitu panjang, hanya dari pukul 10.00 Wita hingga Pukul 11.00 Wita.

"Mengingat mereka sudah melakukan berbagai aktivitas mulai pukul 02.00 dini hari jadi biasanya siang hari mereka istirahat," katanya.

Secara umum, 2.500-an orang yang terdiri atas warga sekitar pesantren dan para santri serta santriwati mulai bangun pukul 02.00 dini hari, dan pada pukul 02.30 Wita mereka sudah mulai melakukan salat berjamaah qiyamullail atau salat malam yang dipusatkan di Masjid Jami dan dipimpin oleh imam yang hafiz atau penghafal Alquran.

"Aktivitas itu diikuti hampir seluruh warga yang tinggal di pesantren hingga pukul 03.30 Wita, di mana tiap malamnya itu dibaca satu juz berderet hingga hari ke 30. Sehingga selama puasa 30 juz bisa terselesaikan," katanya.

Aktivitas selanjutnya, kata dia, usai salat malam, mereka kemudian kembali ke rumah atau ke tempat masing-masing untuk melakukan sahur. Kemudian kembali ke masjid untuk salat subuh berjamaah.

"Setelah salat subuh dilanjutkan kuliah subuh yang diisi oleh berbagai pakar, tokoh dan akademisi baik lokal maupun nasional," katanya.

Dia melanjutkan biasanya pada 21 Ramadan, santri dan santriwati baru diliburkan dan bisa pulang ke kampung halamannya. Untuk santri baru ada peningkatan selama beberapa tahun terakhir ini.

"Kita memang berusaha meningkatkan kualitas pesantren, baik dari kualitas fisik maupun pendidikan. Sehingga mampu menaikkan kuantitas santri maupun santriwati baru. Ya kalau tahun lalu 150 orang tahum ini ditarget 300 orang," jelasnya.

Sementara Direktur Operasional Sekolah Putri Darul Istiqamah, Indra Wijaya mengatakan siswa akan libur pada hari ke 21 ramadan. Yang mana diliburkan selama 20 hari.Untuk di sekolah Putri berbagai aktivitas mulai dilakukan sejak hari pertama puasa hingga 20 Ramadan. Salah satunya dilakukan penguatan Bahasa Arab.

"Para santriwati juga harus khatam Alquran dengan target individu serta penguatan ibadah. Seperti salat fardu, salat lail, dan duha," jelasnya.

Dia mengatakan banyak pertimbangan sehingga pihaknya memilih tidak meliburkan siswinya. "Kita menimbang, rasa-rasanya kalau di rumah aktivitas ibadah mereka tidak terkontrol. Bahkan bisa saja ibadahnya kurang," jelasnya. (tim)

Pertahankan Prinsip Dasar

Menurut Sekjen Ponpes Darul Istiqamah Maccopa, Fahruddin Achmad transisi itu adalah bagaimana pesantren tetap dengan prinsipnya secara mendasar.

"Tetapi berperan besar dalam era globalisasi. Berperan dalam pendidikan, sosial, politik dan budaya," katanya.

Di pesantren, kata dia, baik santri maupun santriwati tahu bagaimana menjaga kemurnian tauhid, menjaga peningkatan ibadah, perbaikan akhlak, dan muamalah yang menyejahterahkan masyarakat yang bersumber dari Alquran dan assunah. Serta menjaga batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

"Pada saat yang bersamaan, kami semaksimal kemampuan berfungsi sebagai bagian besar dari masyarakat dan peradaban ini. Sesuai Motto kita di 2013 yaitu Darul Istiqamah Bangkit Membangun Peradaban Islam," tambahnya.

Pada hakikatnya, Fahruddin menjelaskan, pada era globalisasi ini, bagaimana menghadirkan wajah Islam yang sesungguhnya. Menyoal kelebihan dan kekurangan santri maupun santriwati menempuh pendidikan di pesantren, dia mengatakan anak-anak di pesantren lebih cepat mandiri.

"Jadi sejak dini mereka sudah diajarkan kemandirian, karena jauh dari keluarga," katanya. Kekurangannya, karena belum sempurnanya fasilitas dan sarana yg tersedia. "Bagaimanapun juga ketika kita bicara fasilitas, tentu masih ada kekurangan. Di mana kami belum mampu menghadirkan segala-galanya seperti tiap santri memegang satu unit komputer. Tapi di sisi lain kita berusaha bagaimana agar anak-anak itu bisa menjadi manusia yang mandiri, cerdas, terampil dengan nilai-nilai keislaman," paparnya. (tim)



Dewan Juga Dukung Pembubaran Komite Sekolah

Minta Sumbangan, Jangan Main Paksa

MAKASSAR, FAJAR--Wacana pembubaran komite sekolah, mendapatkan dukungan dari anggota DPRD Makassar, Nurmiati. Ia mengaku, evaluasi sangat penting dilakukan bagi komite sekolah dengan banyaknya keluhan dari orang tua siswa.

Ia mengaku risih dengan melencengnya peran komite yang hanya menjadi perpanjangan tangan sekolah, bukannya mewakili kepentingan orang tua siswa. Apalagi, ada dugaan komite sekolah sudah terlibat dalam proses seleksi siswa baru.

"Komite harusnya membela orang tua siswa. Ini harus dievaluasi, kalua perlu dibubarkan saja," ujar Nurmiati kepada FAJAR, Kamis, 18 Juli.

Mestinya, lanjut anggota Fraksi Persatuan Nurani DPRD Makassar ini, Komite mampu memberikan contoh kepada orang tua siswa. Selaku perwakilan, mereka tidak sepatutnya membuat ketidakadilan, terutama dalam hal penentuan kelulusan siswa.

Nurmiati mengingatkan komite agar jangan sampai persoalan keterlibatan mereka dalam menentukan kelulusan dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), terjadi lagi. Komite juga sudah akan sangat jauh melenceng jika terlibat jual beli kursi di sekolahnya.

"Jangan sampai ada anak yang pintar terus tidak lulus karena tidak ada yang back up," imbuhnya.

Komite sekolah yang menyalahgunakan jabatan dengan jalan jual kursi kursi pada PPDB, merupakan kategori pelanggaran. Jika itu terbukti dilakukan, maka mau tidak mau itu sudah masuk ranah hukum sehingga bisa diproses.

Terpisah, anggota Komisi D DPRD Makassar yang membidangi pendidikan, Iqbal Djalil, mengungkapkan, komite seharusnya menjadi corong bagi orang tua siswa, bukan sebaliknya menjadi corong sekolah. Fungsinya adalah menjadi penengah.
Komite juga tak memiliki kewenangan untuk memaksakan pembayaran sumbangan kepada orang tua siswa. Sumbangan tak boleh ditentukan nilainya yang kemudian diwajibkan untuk dibayar. Komite mestinya melakukan penyadaran beramal bagi sekolah kepada orang tua siswa, bukan sebaliknya meminta paksa sumbangan.

"Jangan memaksakan, itu tidak bagus. Kalau ada kesepakatan, tidak semua orang harus membayar jumlah yang sama," katanya.

Jika pembayaran itu dipaksakan dan ditentukan nilainya lantas ditekankan sebagai kewajiban, maka itu sudah masuk permainan buruk. Apa gunanya pendidikan gratis, kata dia, jika pengelolaan pendidikan semakin bobrok dengan adanya praktik pemkasaan sumbangan. (zuk)




Kampung Batu Epidemi DBD

20 Warga Terjangkit Sekaligus dalam Sehari

MAKASSAR, FAJAR--Puluhan warga Kampung Batu Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, terjangkit penyakit demam berdarah (DBD). Sebagian besar dirawat di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Batua Raya.

Selain di puskesmas, sebagian dari mereka juga dirawat di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo (RSWS), Ibnu Sina, dan Stella Maris. DBD ini menjadi epidemi di kampung itu karena hanya dalam beberapa hari, puluhan orang sudah terjangkit.

"Kemarin 20 orang sekaligus diangkut ambulans dibawa ke puskesmas dan rumah sakit," ujar Petrus Pala, salah seorang warga yang keluarganya terjangkit DBD, Kamis, 18 Juli.

Pria 48 tahun ini mengungkapkan, sebanyak 10 anggota keluarganya terserang DBD. Sebagian ada yang sudah kembali ke rumahnya, namun sebagian lagi baru terjangkit dan masih dirawat di rumah sakit dan puskesmas. Ia mengaku, di antara yang dirawat tersebut, sebagian memerlukan bantuan darah.

"Keluarga saya ada yang masih butuh darah .
hingga kemarin," imbuh Petrus. Menurutnya, tiga minggu lalu memang sempat disemprot alias fogging, tetapi DBD semakin mengganas. Ia mengira, hal itu terjadi karena fogging yang dilakukan tersebut tidak menyeluruh.

Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, mengaku sudah mendapatkan laporan mengenai merebaknya wabah DBD di Kampung Batu tersebut. Menurutnya, kawasan Kampung Batu memang masih banyak genangan-genangan air sehingga menjadi lahan subur pertumbuhan jentik nyamuk aedes aegypti.

Ilham mengatakan, perubahan musim berlangsung tanpa terprediksi, dari panas ke hujan dan sebaliknya. Harusnya, kata dia, masyarakat sadar untuk menjaga lingkungan salah satunya dengan mengurangi genangan-genangan air hujan.

"Kalau ada indikasi, kita langsung lakukan penyemprotan. Cuma penyemprotan itu cuma membunuh nyamuk dewasa, jentik dan telurnya tidak," ujar Ilham. (zuk)





Kamis, 07 Februari 2013

Gara-gara Komentar Facebook, Bupati Polisikan Warganya


MAKASSAR-Budiman, 37 tahun, salah seorang warga yang dijadikan tersangka karena laporan Bupati Pangkep, Syamsuddin Hamid, mendapatkan dukungan berantai di Makassar. Selain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, LBH Pers, dan Anti-Corruption Committee Sulsel, juga turut mengadvokasi.

Budiman mendapatkan dukungan sejumlah organisasi lintas profesi dan LSM di Makassar karena dinilai telah mendapatkan perlakuan yang tidak adil saat berhadapan dengan kekuasaan. Ia yang hanya mengkritik Syamsuddin, tidak sepantasnya dipolisikan.

Koordinator Badan Pekerja  Anti Corruption Committe (ACC) Sulsel, Abd Muttalib, mengatakan, banyak kejanggalan dari proses penahanan Budiman, kendati belakangan status penahanannya ditangguhkan. Ia melihat terdapat sejumlah pertanyaan yang belum terjawab terkait penahanannya itu.

Mantan Direktur LBH Makassar ini mengatakan, kuat indikasi Budiman ditangkap secara sewenang-wenang. Seharusnya saat ditangkap, ia dibuatkan surat panggilan. Yang terjadi malah, saat ditahan, keluarganya bahkan tidak diberi tahu.

"Kita akan memberikan advokasi karena seharusnya hal-hal seperti ini tidak terjadi di era keterbukaan seperti ini," ujar Muttalib saat menggelar konferensi pers di Kantor ACC Sulsel, Kamis, 7 Februari.

Muttalib menegaskan, kalau kasus ini dibawa sampai ke pengadilan, maka gabungan organisasi, yakni LBH Makassar, ACC Sulsel, LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel, FIK Ornop, dan lainnya, akan siap menyokong Budiman. Budiman tidak bisa serta-merta langsung ditahan hanya karena komentar di Facebook.

"Kasus ini merupakan yang ke sekian kalinya terjadi di Pangke. Ini sangat berbahaya jika menggunakan kekuasaan untuk membungkam masyarakat," tandasnya.

Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi, Upi Asmaradhana, mengatakan, proses hukum yang dialami Budiman hanya karena kritik terhadap bupati, sudah bisa dikategorikan pelanggaran HAM. Sebagai bupati, Syamsuddin memang wajar dikritik.

Sekretaris LBH Pers Makassar, Nursal, mengatakan, pasal yang dipakai menjerat Budiman, yakni pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengenai pencemaran nama baik, tidak tepat.

Menurutnya, bupati merupakan jabatan publik. Apa yang dilakukan Budiman hanya mengkritik Syamsuddin karena ia sebagai bupati. "Bukan harkat dan martabat sebagai pribadi yang dikritik. Yang disoroti adalah jabatannya sebagai bupati yang merupakan jabatan publik," katanya.

Hal sama disampaikan Direktur LBH Makassar, Abd Azis. Apa yang terjadi di Pangkep, kata dia, sangat mencengangkan, karena di era reformasi masih ada pemerintah yang menghambat kebebasan berekspresi warganya. Menurutnya, hal ini sudah keterlaluan apalagi jika sampai terjadi kekerasan terhadap Budiman.

Bupati Pangkep, Syamsuddin Hamid, mengaku telah memaafkan Budiman secara pribadi. Namun, di sisi lain ia mengaku menyerahkan penyelesainnya secara hukum. Ia mengatakan, pendukung dan keluarganya masih ada yang tak terima komentar Budiman.

(***)

Jumat, 01 Februari 2013

JK Damaikan Syahrul-Ilham



MAKASSAR--Meningkatnya eskalasi politik di Makassar usai penetapan hasil rekapitulasi KPU Sulsel terhadap hasil Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel, membuat Wakil Presiden Indonesia 2004-2009, HM Jusuf Kalla, menginisiasi untuk mempertemukan dua kubu, yakni Syahrul Yasin Limpo dan Ilham Arief Sirajuddin.

Ilham yang merupakan calon gubernur Sulsel nomor urut 1 dan Syahrul nomor urut 2, dipertemukan di kediaman JK di Jalan Haji Bau, Jumat, 1 Februari. Syahrul lebih dahulu datang sebelum akhirnya Ilham menyusul. Saat bertemu, keduanya langsung bersalaman dan berpelukan.

JK didampingi oleh CEO Fajar Group, HM Alwi Hamu, Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Hamid Awaluddin, dan Kapolrestabes Makassar, Kombes J Wisnu Sandjaja. Sejak pilgub usai 23 Januari lalu, baru kali inilah Syahrul dan Ilham dipertemukan khusus dan bersalaman.

Syahrul sendiri kepada JK mengaku tak menginginkan adanya bentrok antarpendukung di lapangan. Ia mengatakan, tak mungkin dirinya menyetujui bentrok tersebut apalagi ia sudah dinyatakan sebagai pemenang. "Tiadak mungkin kami mau bentrok. Kita sudah menang. Konflik itu hanya akan mengurangi (nilai) kemenangan kita," ujarnya.

Usai bertemu dan bersalaman dengan Ilham, Syahrul yang datang lebih dulu terlihat buru-buru meninggalkan kediaman JK. Namun sebelum pulang, Syahrul menyempatkan diri berfoto bersama dengan JK, Ilham, Hamid Awaluddin, dan Alwi Hamu. Usai itu, wartawan lantas diminta keluar ruangan. JK dan Ilham melakukan pembicaraan tertutup.

Usai pertemuan itu, JK mengatakan, kedua orang tersebut selaku kepala daerah, harus kembali fokus bekerja untuk rakyat. Pertemuan tersebut bukan untuk membahas tema khusus, namun hanya sebagai silaturahmi dari hati ke hati.

"Baik Syahrul, Aco, dan kita semua harus menyadari untuk bekerja demi kemajuan daerah. Kalau untuk kemajuan daerah, maka yang namanya proses demokrasi, begitu selesai, ya selesai," katanya.

JK menyarankan agar Syahrul dan Ilham saling mendukung. Jangan ada yang memulai untuk melakukan hal-hal yang destruktif untuk daerah. Mereka sebaiknya menyikapi persoalan ini dengan arif. Jika ada persoalan, maka sebaiknya diserahkan ke petugas yang berwenang. Oleh karena itu, ia mengimbau kepolisian agar melakukan rekonsiliasi terhadap kubu yang sempat bertikai.

"Semua dapat memahami bahwa ini semua untuk kepentingan rakyat. Jadi jangan kita menyebabkan konflik yang yang melibatkan masyarakat. Ini harus dapat dipahami semuanya," imbuh Jk.

Terkait dengan dugaan adanya pelanggaran dalam pilgub, menurut JK, hal itu sudah ada mekanisme penyelesaiannya. Untuk masalah pidana pilgub, maka itu ranah kepolisian dan panitia pengawas pemilu (panwaslu). Sementara untuk sengketa perolehan suara, ranahnya adalah Mahkamah Konstutusi.

JK juga mengakui bahwa upaya hukum yang ditempuh jika terdapat dugaan pelanggaran, memang akan memberikan pembelajaran demokrasi. Hal itu bertujuan agar tingkat pelanggaran bisa diminimalisasi. Ia pun tak menghalangi jika ada yang menggugat secara hukum karena adanya dugaan pelanggaran tersebut.

"Tidak apa-apa. Dan memang undang-udang menyiapkan itu jika terjadi. Bagus juga jika ada seperti itu supaya jangan orang main-main dalam pemilu," tandas Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) tersebut.

JK menegaskan, Syahrul dan Ilham sudah berkomitmen bahwa semua proses yang dilakukan ini merupakan untuk rakyat. Makanya, mereka tak sepakat jika ada hal-hal yang menyulitkan rakyat. Keduanya, tandas dia, tidak ada yang menginginkan terjadinya kekerasan, terutama untuk mencapai tujuannya.

Bentrok pada hari penetapan hasil rekapitulasi KPU Sulsel, kata JK, hanya sebuah insiden. Peristiwa itu terjadi tiba-tiba sehingga tak bisa lagi berlanjut. Itu terjadi secara tiba-tiba tanpa perencanaan. Baik Syahrul maupun Ilham, tak mengharapkan bentrok tersebut terjadi.

"Saya mengajak kedua adik saya ini bekerja sebaik-baiknya. Syahrul kembali bekerja sebagai gubernur dan Aco (Ilham) bekerja sebagai wali kota. Mari kita kembali ke situ, tak usah habiskan banyak waktu," urai JK.

JK juga mengatakan, Syahrul dan Ilham masih muda sehingga karir politiknya masih panjang. Terutama Ilham yang masih 40-an tahun, masih bisa bersaing di berbagai perhelatan politik. Lima tahun yang akan datang, Ilham masih bisa maju untuk bersaing sebagai Gubernur Sulsel.

"Saya bilang, saya juga pernah kalah. Saya tetap senang menghadiri semua (kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, red)," imbuhnya.

Sementara itu, usai menemui JK, Ilham menegaskan jika kedatangannya hanya untuk menemui orang yang dianggapnya sebagai tokoh panutan. Menurutnya, JK yang sudah dianggap sebagai orang tuanya, apa pun kondisinya akan tetap datang jika dipanggil.

Ilham mengatakan, pilgub berjalan sesuai tahapan. Ia mengimbau agar ketegangan yang sempat terjadi bisa diredam. Ia meminta tak ada lagi eforia sehingga suasananya bisa cair kembali. Apalagi KPU Sulsel juga sudah menetapkan. Ia mengaku, sebelumnya ia sudah bertemu dengan Syahrul saat menghadiri rapat kerja (raker) di Jakarta.

"Kami pun saat ini sedang melakukan kajian. Mudah-mudahan dalam satu atau dua hari sudah ada kesimpulan sudah ada hasil akan seperti apa (langkah selanjutnya, red)," katanya.

Ilham mengatakan, dalam pertemuan tertutup dengan JK, pesan yang disampaikannya adalah agar selalu menjaga perdamaian di Makassar dan Sulsel pada umumnya. Menanggapi bentrok pada hari penetapan rekapitulasi suara, Ilham mengakui itu terjadi karena kepolisian yang sempat kecolongan.

"Tapi sebenarnya kita sudah bersepakat, bahwa serahkan semuanya ke kepolisian untuk mengambil langkah-langkah pengamanan dan langkah-langkah preventif yang tepat," ujar Ketua Partai Demokrat Sulsel ini.

Ia meminta pendukungnya yang sedih dan pendukung Syahrul yang senang, tidak lagi melakukan hal-hal yang bisa memicu konflik. Untuk dugaan pelanggaran yang terjadi, Ilham mengaku sudah menyerakannya ke kepolisian untuk ditangani.
(***)




Kamis, 24 Januari 2013

Pohon Jangan Hanya Ditanam Lantas Diabaikan

 Hijaukan Kembali Bantaran Sungai

BANYAKNYA pohon yang mati karena tak terawat khususnya yang berada di bantaran sungai dan kanal, ditanggapi serius oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Pemerintah diimbau memperhatikan pohon-pohon yang ada di bantaran karena memiliki banyak fungsi yang siginifikan.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulsel, Zulkarnain Yusuf, mengatakan, salah satu fungsi mendasar pohon-pohon di bantaran sungai adalah mencegah terjadinya abrasi. Selain itu, manfaat lainnya, yakni sebagai medium yang berfungsi mereduksi polusi udara, khususnya gas karbon (CO2).

"Fungsi utamanya dalam kota adalah sebagai area resapan," ujar Zulkarnain kepada penulis, Kamis, 24 Januari.

Ia menegaskan, saat musim hujan, drainase tak akan mampu menampung keseluruhan air hujan, terutama saat intensitas curahannya di atas rata-rata. Kawasan resapan inilah yang berfungsi untuk menampung sebagian air hujan agar tidak langsung masuk ke drainase lantas dialirkan ke laut. Makanya, semakin minim area resapan, maka potensi banjir juga akan semakin tinggi.

Zulkarnain juga menyoroti banyaknya program reboisasi di bantaran sungai dan kanal, mulai hulu hingga hilir, yang terkesan hanya proyektif. Artinya, pohon-pohon tersebut lebih banyak ditanam dahulu lantas ditinggalkan. Justru karena cara pemeliharaan yang demikian, tingkat kesuksesan penanaman pohon di bantaran sungai dan kanal, banyak yang gagal.

Data yang dikumpulkan Walhi terkait penanaman pohon alias proyek penghijauan, tingkat tertinggi keberhasilannya hanya 20 persen. Artinya, 80 persen lebih banyak yang gagal. Hal inilah yang mestinya menjadi bahan evaluasi jika memang ingin serius menata lingkungan untuk menciptakan kawasan-kawasan hijau yang baru.

"Lebih banyak memperhatikan soal penanaman, namun tidak dipikirkan pemeliharaannya," imbuhnya.

Untuk menghijaukan bantaran sungai dan kanal, lanjut dia, maka mau tidak mau, partisipasi semua pihak dibutuhkan. Karena hal ini membutuhkan keterlibatan masyarakat, maka pemerintah diharapkan bisa memanfaatkan masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran sungai dan kanal.

Pemerintah diimbau untuk memberikan kompensasi bagi warga yang bermukim di sekitar sungai dan kanal. Mereka tak mesti diberi sesuatu yang berbentuk uang, namun bisa dalam bentuk lain dalam rangka mendorong partisipasi mereka dalam memelihara pohon-pohon yang telah ditanam.

Anggota Komisi D DPRD Makassar, Stefanus Swardy Hiong, mengungkapkan, fungsi pepohonan dalam kota, memang sangat signifikan dibutuhkan, terutama untuk menetralisasi polutan-polutan udara. Selain itu, oksigen (O2) dihasilkan oleh pepohonan sehingga sangat perlu perawatan dan perluasan areanya.

Jangan Timbun Danau

BANJIR yang melanda Kota Makassar pada akhir Desember 2012-awal Januari 2013, salah satunya disebabkan karena kurangnya danau penampung air hujan. Ke depan, potensi banjir akan semakin riskan jika tidak ada penambahan danau buatan.

Anggota Fraksi PAN DPRD Makassar, Hamzah Hamid, mengatakan, salah satu danau yang berperan vital sebagai salah satu pemecah konsentrasi banjir di Kota Makassar adalah Danau Balang Tonjong yang terletak di Antang, Kecamatan Manggala. Ia menolak jika ada investor yang masuk namun justru menimbunnya.

"Jika itu ditimbun, maka Makassar akan menjadi Jakarta ke dua," ujar Hamzah kepada penulis, kemarin. Menurutnya, banjir yang baru saja melanda Makassar, seharusnya dijadikan pelajaran bahwa sarana penampungan air hujan dibutuhkan mengingat sistem drainase belum begitu maksimal berfungsi.

Persoalan utamanya, selain karena saluran drainase tak terintegrasi dan banyak terjadi sedimentasi, juga karena wilayah penyerap air hujan yang semakin terdesak dan berkurang drastis. Oleh karena itu, Hamzah menegaskan perlunya memproteksi Danau Balang Tonjong dari penimbunan dengan alasan apa pun.

"Apalagi Balang Tonjong itu tanah adat, tidak boleh ada aktivitas penimbunan di sana," imbuh anggota Komisi D DPRD Makassar tersebut.

Sebelumnya, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Eksekutif Daerah Walhi Sulsel, Ismar Hamid, mengungkapkan adanya ancaman banjir berkelanjutan di masa datang jika Pemerintah Kota Makassar semakin menekan daerah resapan apalagi menghilangkan fungsi Balang Tonjong sebagai danau penampung air hujan.

Jika Balang Tonjong ditimbun, maka konsekuensinya, area penampungan air hujan, terutama ketika musim hujan bercurah tinggi, maka ruang untuk penampungannya akan semkain sempit. Hal inilah yang akan memperparah banjir, khsususnya di kawasan Antang.

Bagi Walhi Sulsel, selain kawasan resapan air yang perlu diperbanyak, sejatinya danau buatan juga ditingkatkan, bukan malah mengurangi yang sudah ada. Investor bisa saja masuk, namun tak boleh sama sekali menganggu fungsi Balang Tonjong yang selama ini berperan sebagai penampungan air hujan.

Wakil Ketua Komisi C DPRD Makassar, Zaenal Beta, mengatakan, penimbunan tidak boleh dilakukan hingga ke dalam danau. Seharusnya yang boleh ditimbun hanya yang masuk perluasan kawasan pasar tradisional Antang.

(***)

Makassar dan Inkonsistensi Penerapan Aturan Daerah

Pemkot Banyak Abaikan Aturan Daerah

MAKASSAR--Pemerintah Kota Makassar dinilai banyak mengabaikan aturan daerah baik yang dibuat oleh dewan, maupun yang dibuatnya sendiri. Beberapa aturan daerah baik peraturan daerah (perda) maupun peraturan wali kota, banyak yang tidak ditegakkan.

Anggota Fraksi Partai Golkar DPRD Makassar, Abd Wahab Tahir, mengatakan, seluruh perda yang dihasilkan dewan, penegakannya harus dilakukan oleh pemkot. Dewan, kata dia, bukan lembaga yang secara prosedural diharuskan menegakkannya. Pemkotlah yang memegang wewenang penindakan.

"Karena fungsi penindakan ada di pemkot, maka otomatis jika terjadi ketidakmampuan penerapan perda, tentu kesalahan penuh diserahkan kepada pemkot," ujar Wahab penulis.

Menurut Wahab, pemkot memiliki seluruh infrastruktur dalam penegakan aturan-aturan daerah, termasuk semua sumber daya pendukungnya. Namun yang terjadi, kendati sudah banyak aturan yang dibuat, namun penerapannya di lapangan sangat lemah. Dewan masih menjumpai sejumlah aturan yang dilanggar di dalam masyarakat.

Banyaknya aturan yang seolah-olah hanya menjadi pajangan tersebut, tandas Wahab, juga menjadi keprihatinan anggota dewan. Karena itu, dalam beberapa kesempatan, DPRD Makassar mengeluarkan rekomendasi perlunya penegakan aturan tersebut. Bahkan, secara teknis, semua komisi di DPRD pernah mengeluarkan rekomendasi, namun tak kunjung ditegakkan oleh pemkot.

"Hasil analisis kami di DPRD Makassar, penyebab banyaknya aturan yang tidak berjalan, itu karena pemkot yang tidak begitu tegas untuk menegakkannya," imbuh anggota Komisi B DPRD Makassar tersebut.

Ia menduga keengganan pemkot menegakkan aturan tersebut karena adanya unsur ketakutan menerima konsekuensi balik. Ia mencontohkan, peraturan wali kota mengenai larangan bentor beroperasi di ruas jalan utama, justru tak diindahkan. Di jalan-jalan kota, bentor sudah menjadi pemandangan yang lumrah, padahal wali kota sudah membuat aturan area kebolehan operasionalnya.

Selain itu, perda tentang persampahan, dimana salah satu poinnya adalah pemberlakuan denda Rp5 juta atau kurungan maksimal tiga bulan bagi yang membuang sampah sembarang tempat, justru tak pernah diterapkan sama sekali. Tak sekali pun ada warga yang membuang sampah dihukum dengan menggunakan perda ini.

"Dalam sejarahnya, tidak pernah ada warga masyarakat yang dikenai sanksi seperti itu. Padahal faktanya, kota ini dikerumuni oleh sampah. Orang seenaknya membuang sampah," imbuh Wahab.

Wahab juga melihat kelemahan pemkot yang tidak bisa memberikan contoh kepada masyarakat. Masih banyak produk hukum yang dibuat, tidak diimplementasikan. Apalagi, kata dia, hampir seluruh rekomendasi dewan, justru tidak diindahkan.

Karena kondisi itu, Wahab justru menantang rekan-rekannya di DPRD Makassar untuk mengambil sikap politik terkait banyak rekomendasi mereka yang tak dijalankan oleh pemkot. Menurutnya, seharusnya dewan bersatu untuk mengingatkan pemkot terkait rekomendasi mereka yang tak dijalankan. Padahal, rekomendasi yang dilahirkan biasanya melalui proses pembahasan yang lama.

Anggota Fraksi Persatuan Nurani, HM Yunus, juga mengomentari banyaknya aturan daerah yang tak ditegakkan. Menurutnya, khusus untuk perrda, dewan hanya membahas dan mengesahkannya. Tugas mereka hanya sampai di situ. Jika ada masalah teknis lapangan, biasanya dewan hanya membuat rekomendasi agar pemkot mengambil langkah taktis.

"Pemkotklah yang menegakkan aturan itu. Banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan," ujar Yunus. Anggota Komisi C ini mengatakan, sebaiknya pemkot membenahi mekanisme penegakan aturan supaya aturan-aturan yang ada tidak sekadar pelengkap perpustakaan.

(***)