Pengamen, Warnai Makassar Malam Hari

*Ada yang Ramah, Ada Juga Suka Memaksa

PENGAMEN bukanlah fenomena baru di Makassar. Sudah sejak dulu ada. Tetapi pengamen kadang memaksa dan berbuat kasar.

RIDWAN MARZUKI
Makassar

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Tetapi mereka masih berada di jalan sambil menenteng gitar di tangan. Namanya Adi, Ruslan, dan Idah. Usia mereka rata-rata masih 20-an tahun. Ketiga remaja ini merupakan pengamen jalanan yang mangkal di ujung selatan Jalan AP Pettarani. Jalan ini berbatasan atau berseberangan dengan Jalan Sultan Alauddin.


Adi merupakan pengamen yang sudah berkeliling lokasi di kota ini. Sebelumnya ia pernah jadi pengamen di tempat lain seperti Pantai Losari. Tetapi saat ini, ia sudah berkonsentrasi mengamen di Jalan AP Pettarani tersebut. Menurutnya, di jalan ini, jarak ke rumahnya tidak terlalu jauh. Adi memang tinggal di Jalan Manuruki, tak jauh dari lampu merah (lampu lalu lintas), Jalan Sultan Alauddin-Jalan AP Pettarani.

Sejak kecil Adi sudah menjadi pengamen. Tepatnya saat ia masih berusia 10 tahun. Hal itu dimulainya karen takjub dengan penampilan sebuah grup band. Dari sana ia tertarik untuk menjadi pemain gitar. Sebagai catatan, gitar merupakan alat musik utama yang digunakan dalam mengamen. Setiap pengamen harus memiliki alat musik ini.
Adi mengedepankan keramahan dalam mengamen. Ia mengaku tak pernah memaksakan orang untuk memberinya uang. "Kalau diberi ya, syukur. Kalau tidak, ya cari lagi yang lain," ujarnya.

Ruslan pun tidak jauh beda dengan Adi. Ruslan sebelumnya juga mengamen di Pantai Losari. Tetapi selanjutnya berpindah ke perempatan jalan-jalan raya. Bahkan ia masih sering beroperasi di daerah perbatasan Makassar dan Kabupaten Gowa. Beruntung, mereka sekarang dipertemukan di Jalan AP Pettarani.

Hanya saja, soal sikap, Ruslan masih perlu belajar pada Adi. Itu karena Ruslan sering melaukan hal tak terpuji saat mengamen, utamanya ketika tidak diberi uang oleh pengemudi kendaraan pribadi. Bahkan ia pernah digelandang oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena menggores mobil pengguna jalan yang tidak memberinya uang saat mengamen.

Ruslan menuturkan, ia tak menyangka jika orang digores mobilnya akan melaporkannya ke aparat keamanan. Hal tersebut karena saat digores, sang pemilik diam-diam saja, tidak berekasi apa-apa. Tak tanggung-tanggung, benda yang dipakai menggores adalah sebuah paku. Tentu saja mobil yang digores meninggalkan bekas yang dalam. Tetapi Ruslan mengaku jika saat ini dirinya sudah berubah. Ia, lanjutnya, sudah tidak seperti itu lagi

Adi pun berusaha selalu menasehati Ruslan termasuk teman-temannya yang lain sesama pengamen. "Saya selalu beritahu teman-teman agar jangan main paksa jika tidak diberi (uang, red). Mungkin belum rezeki kita untuk dapat," tambahnya.

Menjadi pengamen bukan berarti tidak aman-aman saja. Adi mengaku sering dikejar oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). "Sudah lima gitarku yang diambil oleh Satpol PP. Tetapi saya tidak pernah melawan saat mereka mengambilnya. Gitar kalau sudah diambil, langsung dibanting, dihancurkan," imbuhnya.

Dalam semalam, Adi mendapatkan hasil mengamen yang tidak menentu. Antara Rp 5 ribu hingga Rp 30 ribu. Penghasilannya tergantung dari kemurahan hati para pengguna jalan yang melintas di depannya. Waktu mengamennya berkisar antara pukul 19.00 hingga 23.00.

Adi juga sering menerima request atau lagu pesanan dari pengguna jalan. Jenis lagunya juga tak cuma satu. Mulai dari lagu-lagu lokal Makassar, pop, dangdut, hingga lagu barat. Hanya saja jika ada yang pesan lagu barat, Adi harus meminta bantuan temannya karena ia sendiri tidak memiliki keahlian menyanyikan lagu barat.

Beda dengan Adi, beberapa pengamen di Anjungan Pantai Losari terbilang kasar. Tak jarang mereka mengumpat pengunjung yang datang jika tidak dibayar setelah mengamen. Padahal, beberapa pengunjung mengaku tidak memesan lagu. Seorang pengunjung perempuan yang berinisial HN, mengaku sangat terganggu oleh kehadiran pengamen di sana. Ia merasa dipaksa memberi uang ke pengamen, padahal ia tidak memesan dan sudah melambaikan tangan tanda penolakan.

Tetapi pengamen tersebut tetap saja menyanyi. Akhirnya, perempuan tersebut meninggalkan tempat itu. Tetapi, pengamen tersebut mencacinya dengan kata-kata yang yang tidak pantas dan sangat kasar dalam bahasa lokal Makassar. "Hargaiki juga, bos. Kita kan sudah menyanyi," kata salah seorang pengamen.

"Inimi (pengamen, red) yang saya tidak suka di sini," imbuh HN sambil berlalu karena diumpat oleh pengamen.

Lain lagi di perempatan Jalan AP Pettarani-Jalan Urip Sumiharjo. Sabtu malam, 12 Juni, serombongan mahasiswa juga terlihat sedang mengamen. Jumlahnya kurang lebih 20-an orang. Mereka terlihat terorganisir.

Penangung jawabnya bernama Herman Yusuf. Herman merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Maumere, Flores, NTT. Kegiatan mengamen, jelas Herman, bukan untuk kepentingan pribadi. Dana yang didapatkan akan digunakan untuk kegiatan organisasinya. "Kita lakukan ini karena mau melaksanakan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan, red). Kita ini perantau, tidak punya donatur di sini. Kalau dana sudah mencukupi, baru LDK kami laksanakan," ujarnya.

Pengamen hampir bisa ditemukan di berbagai titik jalan-jalan besar di Metropolitan ini. Selain Jalan AP Pettrani dan Jalan Sultan Alauddin, juga bisa ditemukan di Jalan Hertasning, Jalan Ratulangi, Jalan Landak, dan lainnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan