Diskusi RUU Intelijen Negara AJI Makassar

*Mengembalikan Orde Baru

Kemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara dianggap akan banyak melahirkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Apa yang melatarinya?

RIDWAN MARZUKI
Makassar

Pemerintah sedang menggodok RUU Intelijen Negara. Tetapi hal ini menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Malah, banyak yang mencurigai, RUU ini akan mengembalikan bangsa ini kepada zaman orde baru. RUU ini jika berhasil lolos, disinyalir akan menjadi pencetus banyaknya pelanggaran HAM. Beberapa pasal di dalamnya dianggap berpeluang ke arah itu.

Persoalan RUU Intelijen Negara ini dibahas dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Aliansi jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar. Diskusi yang mengangkat tema, Mengkritisi RUU Intelijen Negara ini digelar di Studio Mini Redaki Fajar, Kamis sore, 10 Juni. Diskusi menghadirkan tiga pembicara, masing-masing Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar, Abdul Muttalib, Peneliti Imparsial, Dyana Savina Hutadjulu, dan dari Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel, Syamsu Rijal.

Diskusi yang dimoderatori pengurus AJI Makassar, Anno Suparno, mendaulat Dyana sebagai pembicara pertama. Menurut Dyana, persolan RUU Intelijen Negara, bukan sesuatu yang baru. RUU ini, katanya, sudah ada sejak dulu. Sudah beberapa kali dibuatkan RUU, tetapi hingga sekarang selalu batal. "Sebenarnya (RUU Intelijen Negara, red) telah keluar sejak tahun 2002, 2006, dan sekarang (2010) keluar lagi. Masih banyak sekali petanyaan tentang RUU ini," ujarnya.

Fungsi inti dari intelijen negara, lanjutnya, memberi informasi mutakhir kepada negara. Informasi tersebut setelah didapatkan selanjutnya dianalisis kemudian diberikan kepada kepolisian. RUU Intelijen Negara, imbuh Dyana, tidak jauh berbeda dengan RUU sebelumnya.

Jika RUU 2002 secara terang-terangan memberi wewenang menggeledah, menangkap, dan memeriksa orang yang dicurigai membahayakan negara, sekarang hal tersebut juga masih berpeluang ada karena RUU Intelijen Negara masih sangat multi interpretatif. "RUU Intelijen Negara 2010 tidak dijelaskanapa sebetulnya fungsi intelijen itu secara spesifik," tandasnya.

Di dalam RUU juga tidak jelas membahas tentang HAM. Utamanya dalam pemeriksaan kepada orang yang ditangkap. "Orang yang diperiksa tidak diberi perlindungan hukum saat menjawab pertanyaan intelijen," katanya.

Beberapa pasal dalam RUU Intelijen Negara dinilai rancu atau bertentangan. Misalnya, kata Dyana, pada pasal 10, badan intelijen negara bertanggung jawab langsung kepada presiden. "Ini melahirkan petanyaan. Hal ini rawan digunakan untuk kepentingan politik," lanjutnya.

Demikian juga pada pasal 15, di situ disebutkan intelijen diberikan kewenangan khusus untuk melakukan pemeriksaan intensif. Hal ini juga berpelunag melakukan pelanggaran HAM saat melakukan pemeriksaan. Pasal 15 pun tidak jauh beda. Seseorang wajib memberikan informasi. "Ketika orang dipaksa untuk memberikan informasi, itu akan melanggar hak sipilnya. Ia akan menjawab apapun karena tercekam," ulasnya.

Selain itu, jika RUU Intelijen Negara ini disahkan, maka akan terjadi tumpang tindih atau overlapping tugas dengan isntitusi lain, misalnya Polri. Hal ini tentunya akan melahirkan masalah baru. Juga, RUU ini dianggap hanya fokus ke dalam negeri, sementara tidak terlalu konsen untuk luar negeri. Sehingga hal tersebut tidak balans.

RUU semacam ini, jelas Diyana, sebelumnya pernah diberlakukan di Brasil. Tetapi sejak 1992, undang-undang tersebut telah dicabut. "Ketika Brasil sudah mencabutnya, kenapa kita baru mau memberlakukannya," ketusnya.

Muttalib juga berpendapat senada. Menurutnya, pemerintah atau negara tidak perlu terlalu panik untuk tetap mengutuhkan bangsa Indonesia ini. Tetapi dengan catatan, perspektif keadilan harus lebih baik. Terjadinya aksi terorisme, contohnya, pencetusnya karena ketidakadilan.

Sama dengan pembicara sebelumnya, RUU Intelijen Negara, masih tetap sama dengan RUU sebelumnya. Yakni, intelijen masih bisa melakukan penangkapan, penahanan, dan penggeledahan. Hal itu bisa ditangkap dari pasal 13 RUU. Kewenangan memeriksa sampai dengan 7x24 jam dinilai juga berpeluang terjadi pelanggaran HAM.

Jika diperiksa selama 7x24 jam, kata Muttalib, bertentangan dengan KUHAP, yakni pemeriksaan hanya 1x24 jam. Jika 7x24 jam diperiksa, apalagi ditahan dan tidak terbukti bersalah, hak mereka terampas selama seminggu. "Secara keseluruhan saya tidak setuju dengan RUU ini. Jika ada yang mengancam negara, cukup memberi rekomendasi kepada aparat hukum, kepolisian, jaksa, dan seterusnya," papar Muttalib.

Seperti pada pasal 15 RUU Intelijen Negara, lanjut Muttalib, tidak perlu ada. Karena sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Yang perlu dibenahi, katanya, adalah intelijen yang sudah ada saat ini. Menurtnya, lebih baik dilakukan penguatan secara internal kepada intelijen yang ada skr. Apalagi intelijen saat ini mudah ketahuan. "Pemberlakuan RUU Intelijen Negara, akan membunuh daya kritis aktivis, pers, dan mahasiswa," tandasnya.

Sementara Syamsu Rijal menegaskan, kewenangan yang diberikan kepada intelijen, berusaha mengembalikan orde baru. Mereka berhak menangkap seseorang yang dicurigai tanpa pengacara. Pemeriksaan berlangsung tanpa diketahui oleh publik. Di samping itu, defenisi tentang membahayakan negara juga masih belum jelas.

Oleh karena itu, RUU Intelijen Negara dianggap lebih banyak mengorbankan kalangan dalam bangsa sendiri. Utamanya para aktivis dan kalangan Islam karena dianggap teroris. "Ini lebih banyak menyakiti aktivis dalam negeri, dibanding menangkis ancaman musuh dari luar," ujarnya.

RUU Intelijen Negara juga dianggap menghambat dan jalan mundur bagi proses demokratisasi di Indonesia. "Kalau muncul lagi seperti ini (orde baru, red), perkembangan demokratisasi kita mengalami interupsi dan kembali ke titik nol," tegasnya.

Oleh karena itu, menurutnya, undang-undang semacam ini tidak perlu adimunculkan. Apalagi sudah ada UU Anti Teroris. Yang paling tepat dilakukan adalah penguatan kapasitas intelijen karena kalah dibandingkan dengan teroris.

"Ini hanya akan kembali ke gaya orde baru. Secara keseluruhan, dalam konteks demokratisasi, kita tidak membutuhkan hal ini (RUU Intelijen Negara, red). Padahal dalam demokrasi, bagaimana memberi ruang berekspresi. Substansi demokrasi belum tercermin. Demokrasi masih prosedural karena tidak menghormati HAM," paparnya.

Diskusi ini dihadiri dari berbagai kalangan. Seperti pers, mahasiswa, dan aktivis LSM. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan