Menjejak Genealogi Pesantren di Sulsel

Sejarah Panjang

LAHIR dan berdirinya pesantren di Sulsel, memiliki sejarah tersendiri. Dari sejumlah pesantren pelopor, mereka memiliki kesamaan orientasi, yakni mencerahkan umat.

Berbicara tentang pesantren pelopor, maka tak ada yang bisa membantah bahwa Pesantren As'adiyah di Wajolah yang merupakan peletak dasar menyebarnya ajaran pesantren di Sulsel. Dari As'adiyahlah tradisi pesantren di Sulsel meluas hingga ke daerah lainnya.

Gagasan dan ruh pesantren ditanamkan di As'adiyah sehingga dengan cepat pesantren berkembang, kendati pada generasi awal, masih terbatas pada daerah-daerah tetangga Wajo. Sejumlah santri terbaik yang berguru di As'adiyah satu per satu berhijrah dan mendirikan pesantren baru untuk memperluas ajaran Islam.

BACA JUGA: Hampir Satu Abad, Ini Kondisi Pesantren di Sulsel

Apalagi, kehadiran pesantren pada masa dulu memang relevan di tengah situasi ketertinggalan masyarakat. Selain karena penjajahan Belanda dan juga Jepang yang datang belakangan, faktor aksesibilitas pendidikan juga masih menjadi sesuatu yang sangat elite pada zaman dulu.

Setelah Pondok Pesantren (Ponpes) As'adiyah yang didirikan pada 1930, muncullah pesantren lain, seperti Ponpes DDI Mangkoso Barru (1938) dan Ponpes Perguruan Islam (Pergis) Ganra Soppeng (1940). Setelah itu, pendirian ponpes lantas semakin menyebar hingga berbagai daerah di Sulsel.

Ponpes As'adiyah memang yang tercatat banyak melahirkan tokoh yang belakangan juga mendirikan ponpes. Misalnya ada nama KH Harisah HS pendiri Ponpes An-Nahdlah Makassar, KH Abd Rahman Ambo Dalle pendiri Ponpes Darud Da'wah wal Irsyad (DDI) Pare-pare, Pinrang, dan Barru, dan KH Daud Ismail pemimpin sekaligus pendiri yayasan perguruan Yasri di Watang Soppeng.

Ada juga nama KH M Abduh Pabbaja pimpinan dan pendiri Ponpes Al Furqan Pare-pare, KH Lanre Said pendiri pesantren 77 Bone, KH Mahmud pemimpin perguruan Islam UMI di Donggala Sulteng, termasuk saat ini Wakil Menteri Agama (Wamenag) Prof Dr Nasruddin Umar, juga alumni Ponpes As'adiyah.

Termasuk, di Makassar juga bermunculan pesantren yang susul-menyusul. Tak ada data pasti mengenai pesantren tertua di Makassar, namun untuk ukuran pesantren yang dibangun tanpa afiliasi alias bukan cabang dari pesantren-pesantren lain yang terlebih dahulu dibentuk, muncul Lembaga pendidikan Islam dan Bahasa Arab pada 1969 di Bontoala.

Awalnya, cikal bakal Ponpes Ma'hadud Dirasatil Islamiyah wal Arabiyah (MDIA) ini merupakan rabitatul ulama Sulsel, yakni tempat perkaderan calon-calon ulama di kawasan Sulsel. Dulu, lembaga ini diketuai oleh KH Ahmad Bone.

Untuk angkatan pertama, ada enam nama ulama yang sempat dilahirkan dari lembaga ini. Mereka masing-masing KH Abu Hurairah (sekarang di Manado), KH Zaid Muzammah, KH Hamzah, KH Djafar Marzuki, KH Abdullah Humairi, dan KH Abdullah.

Pada 1986 boleh dibilang menjadi sejarah kebangkitan pesantren di Makassar. Secara bersamaan, Ponpes An-Nahdlah dan MDIA, bangkit. MDIA awalnya sempat vakum, sehingga pada 1984 KH Abd Mutthalib mengambil alihnya. Ia dipercaya oleh KH Abd Kadir Halid sang pendiri pertama ponpes tersebut. (*)

Berikut hasil penelusuran tim kami terkait genealogi pesantren di Sulsel (Lina, Asriadi, Hamdani, Arini, dan Ridwan)

 1. Wajo: Pesantren As'adiyah

Eksis Sejak 1930, Sudah Miliki 500 Cabang

PONDOK Pesantren As'adiyah yang menelorkan banyak ulama ternama, membuat Wajo digelari sebagai Kota santri. Ya, Sengkang cukup familiar dengan sebutan Kota Santri. Keberadaan Pondok Pesantren As'adiyah, sebagai mesin pencetak para mubalig maupun ulama, itu dikenal di seantero nusantara ini. Selain melahirkan ulama, juga banyak alumninya yang jadi ilmuwan.

Bagaimana sejarahnya? Madrasah As'adiyah merupakan jelmaan dari Madrasatul Arabitaul Islamiyah (MAI), resmi didirikan oleh Al-Allamah Asysyek HM As'ad pada Mei 1930, meski aktivitas pengajian dimulai pada tahun 1928. Penamaan As'adiyah di ambil dari nama pendirinya KH.M As'ad, dia merupakan putra pasangan H. Abd Rasyid dan Sitti Shalehah seorang ulama berdarah Bugis Wajo yang menetap di Mekah.

M. As'ad kecil sendiri lahir dan besar di tanah Mekah . Awal menginjakkan kaki di tanah kelahiran kedua orangtuanya , KH.M.As'ad masih berusia sekitar 22 tahun. Karena dididik di lingkungan para ulama di Mekah sehingga penguasaan ilmu pengetahuan di bidang agama sangat mumpuni , bahkan telah menghafal Alquran 30 juz pada usia masih tergolong belia, 14 tahun .

Wakil ketua Pengurus Besar As'adiyah Sengkang, KH Abunawas Bintang beberapa waktu lalu menceritakan sebelum menjadi Madrasatul Arabiatul Islamiah (MAI) awalnya hanya pengajian biasa di kediaman Gurutta (sapaan KH.M.As'ad oleh muridnya , red) namun semakin hari muridnya semakin banyak hingga turun ke masjid yang sekarang bernama menjadi Masjid Jami' di Tokampu, Sengkang .

Masjid yang saat ini berdiri megah memiliki dua lantai. Lantai dua merupakan tempat belajar MTS I Puteri As'adiyah Sengkang , dan lantai I juga ada MTS II Puteri Sengkang . Untuk mengenang sebagai penghormatan atas jasa-jasanya dalam pengembangan Islam di Wajo, maka nama KH.M.As'ad diabadikan sebagai nama jalan ruas yang memanjang di sekitar Mesjid Jami, Sengkang . Di sinilah awal terbentuknya sekolah bernama MAI yang tempatnya difasilitasi oleh Arung Matoa Wajo. Saat itu ada lima tingkatan kelas.

Menurut pria kelahiran Kajuara, Bone, 1946 ini, perkembangan MAI semakin hari semakin pesat, masyarakat dari pelbagai pelosok daerah berbondong-bondong datang untuk belajar karena tertarik pada kesohoran KH.M.As'ad yang tidak hanya dikenal di Wajo atau di Sulawesi saja sebagai tokoh ulama yang cerdas tapi juga dari daerah luar. Sehingga tidak mengherankan jika banyak yang datang dari luar provinsi seperti Sumatera dan Kalimantan .

Singkat cerita setelah KH.M.As'ad meninggal dunia pada 1952, saat itu usianya baru menginjak 48 tahun. Setelah itu MAI  dinisbahkan menjadi Madrasah As'adiyah. Kepemimpinan beralih ke KH Daud Ismail. Dia merupakan murid langsung angkatan pertama KH.M.As'ad bersama KH Abdul Rahman Ambo Dalle yang juga merupakan mantan anggota MPR RI 1982-1987 sekaligus pendiri perguruan Darud Da'wah wal Irsyad (DDI) yang ada di Parepare, Pinrang, dan Ponpes Mangkoso di Barru.

Pada 1973, Kota Sengkang terbakar termasuk Sekolah Madrasah As'adiyah, sehingga setelah itu, Pondok Pesantren As'adiyah pindah ke Jalan Veteran, Kelurahan Lapongkoda, Sengkang pada 1966 kala itu  sampai sekarang. Saat ini, Pondok pesantren As'adiyah punya jenjang pendidikan formal untuk setiap tingkatan, mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Bahkan, As'adiyah mengembangkan diri untuk penyebaran syiar islam di seluruh wilayah di Indonesia, tercatat sudah memiliki sekitar 500 cabang yang tersebar di sejumlah daerah lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulbar, Sulawesi Tengah, NTT, hingga Papua. (tim)

Miliki Kurikulum Khusus, Pengajian Halaqah

Pondok Pesantren As'adiyah Sengkang tidak hanya menggembleng para santri di bidang agama  melalui pendidikan formal, tapi juga membina penghafal Alquran yang dipersiapkan untuk jadi imam dan Mahad' Aly (pengkaderan ulama) untuk jadi mubalig. Sehingga, As'adiyah memang sudah diakui sebagai mesin pencetak ulama.

Sejak berdirinya sudah menelorkan ribuan alumni, ada yang mubalig hingga imam masjid. Bahkan tidak sedikit alumni yang mendirikan pondok pesantren baru di daerah lain atau minimal jadi pembina pesantren dan banyak juga alumninya yang menjadi guru besar di sejumlah perguruan tinggi Islam seperti UIN Alauddin Makassar.


Selain itu, sejumlah tenaga pengajar dan guru besar di UIN Alauddin Makassar, salah satunya adalah Prof Kamaruddin Amin dan Anre Gurutta (KH) Prof Dr H. Raffi Yunus Martang yang juga merupakan Ketua Umum PB As'adiyah, Prof Dr Karim Hafid, Dr Kamaluddin Abunawas, Prof Dr Abustani Ilyas, dan lainnya .

KH. Abunawas Bintang mengaku, rata-rata alumni As'adiyah yang dulu-dulu kualitasnya diakui khalayak, seperti bacaan Alqurannya saat menjadi imam salat, begitu pun juga saat jadi mubalig dari satu daerah ke daerah lain. Apalagi pada bulan suci Ramadan, para mubalig dan imam shalat tarawih dari As'adiyah disebar ke seluruh daerah yang ada di Indonesia sesuai permintaan, bahkan pernah ada yang dikirim ke luar negeri seperti Malaysia.

"Dulu, tidak ada ulama yang tidak lahir dari rahim As'adiyah. Kalaupun tidak pernah belajar secara formal di As'adiyah, tapi minimal pernah balajar di alumninya As'adiyah ," ujarnya .

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada setiap momentum bulan suci, As'adiyah selalu menyebar imam tarawih dan mubalignya yang berasal dari berbagai tingkatan, mulai tsanawiyah/sederajat SMP, Madrasah Aliyah, Mahasiswa, Mahad Ali yang dibina As'adiyah, bahkan  ada dari alumni. Khusus untuk penghafal Alquran, mereka dikoordinanasikan oleh pembina masing-masing di Masjid Jami, Sengkang.

Jumlah yang tersebar tergantung permintaan, tidak hanya di Wajo saja, tapi banyak dari luar provinsi. Jadi, selama sebulan penuh, tidak ada aktivitas di dalam pondok pesantren, hanya masjid di dalam kompleks saja yang dimanfaatkan untuk salat lima waktu.

Ketua Panitia Ramadan Pondok Pesantren As'adiyah, Muhiddin Tahir, mengatakan, untuk tahun ini mubalig yang disebar ada 510 orang dan imam tarawih ada 75 orang. Selain di Wajo, juga ada disebar di Sulawesi Tenggara,  Kaltim, Kupang, hingga Papua.

Namun, ada hal unik yang dimiliki oleh As'adiyah dan tidak dimiliki oleh pondok pesantren lainnya. Dalam proses belajar-mengajar di pendidikan formal menggunakan kurikulum khusus. Namanya, pengajian halaqah, itu dilakukan setelah salat magrib dan setelah salat subuh yang diajarkan dalam Bahasa Bugis. Itu diajarkan mulai jenjang Madrasah Tsanawiyah, Aliyah, hingga Ma'had Ali.

Menurut Muhiddin Tahir,  kurikulum itu ada sejak ada Pondok Pesantren As'adiyah, model pengajarannya, ada kitab khusus yang dibaca oleh guru dan kitab yang sama harus berada di depan semua para santri. Biasanya, pengajian halaqah ini dilaksanakan di masjid khusus yang ditunjuk, ada enam masjid, yakni Masjid Raya, Masjid Jami, Masjid Macanang dan 3 masjid di Kelurahan Lapongkoda. (tim)

2. Pesantren DDI-AD Mangkoso, Serambi Cairo

Bagi masyarakat Sulawesi, khususnya bagian Selatan, Barat, Tengah dan Tenggara, tentu tidak asing dengan Pondok Pesantren DDI Mangkoso atau yang saat ini dikenal dengan DDI Ambo Dalle Mangkoso. Terbukti, dari puluhan ribu  santrinya, kebanyakan berasal empat daerah tersebut.

Pesantren yang berdiri 78 tahun silam tersebut memiliki sejarah tersendiri. Menurut pengurus Ponpes DDI AD, Ahmad Rasyid Amberi Said, ihwal berdirinya Ponpes ini bermula ketika pada
tahun 1932,  Muhammad Yusuf Andi Dagong diangkat menjadi Arung (raja) di Swapraja Soppeng Riaja (sekarang salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan).

Tiga tahun kemudian, ia mendirikan tiga buah masjid dalam wilayah kekuasaannya, salah satu berada di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, masjid tersebut  kurang berisi jamaah karena rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam. Untuk mencari solusi, diadakanlah pertemuan di Saoraja (rumah besar/kediaman raja) Mangkoso.

Pertemuan itu menyepakati untuk membuka lembaga pendidikan dengan meminta Anregurutta Haji Muhammad As’ad, seorang ulama yang memimpin Pesantren Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Sengkang Wajo agar mengirim seorang muridnya, yaitu Gurutta Haji Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengelola lembaga pendidikan (Bugis: Angngajiang) yang akan dibuka di Mangkoso.

Lalu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938, Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle resmi membuka pesantren di Masjid Jami Mangkoso dengan sistem halaqah (Bugis: Mangaji Tudang). Kemudian, pada 20 Zulkaidah 1357 H ataul 11 Januari 1939 dibuka tingkatan Tahdiriyah, Ibtidaiyah, Iddadiyah, dan Tsanawiyah. Pesantren tersebut diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso.

Dalam perkembangannya, MAI membuka cabang di berbagai daerah, misalnya di Pangkep, Soppeng, Wajo, Sidrap, Majene, dan berbagai daerah lainnya. Tahun 1947, berdasarkan  hasil pertemuan alim ulama / Kadhi se-Sulawesi Selatan serta  guru-guru MAI tanggal 16 R Awal 1366 H atau 7 Februari, nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso dan cabang-cabangnya diubah menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), sebuah organisasi  pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan yang berpusat di Mangkoso.

Dua tahun kemudian, atas permintaan Arung Mallusetasi yang memintanya menjadi Kadhi di Parepare, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle pindah ke Parepare dan menunjuk Anregurutta H.Muhammad Amberi Said sebagai penggantinya memimpin Pesantren DDI Mangkoso.
Tanggal 1 Muharram 1369 H (1949) Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle selaku Ketua Umum DDI memindahkan Pengurus Pusat DDI dari Mangkoso ke Parepare.

Sementara Pondok Pesantren DDI Mangkoso diberi status sebagai Cabang Otonom dengan kewenangan penuh mengatur dan mengelola pesantren, namun secara organisasi tetap berada di bawah struktur PP DDI. Sejak itu, DDI semakin berkembang dan mengelola puluhan pesantren dan ratusan madrasah yang tersebar di berbagai provinsi, khususnya di Kawasan Timur Indonesia.

Atas kesepakatan para tokoh dan pendiri DDI, tanggal 17 Ramadan 1424 H atau 12 November 2003 ditambahkan nama Abdurrahman Ambo Dalle di belakang nama DDI sehingga menjadi DDI Abdurrahman Ambo Dalle (DDI-AD).

"Penambahan nama tersebut, selain untuk mengenang dan mengabadikan nama AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle sebagai Pendiri Utama, juga dimaksudkan untuk melestarikan nilai dasar perjuangan beliau dalam membangun dan mengembangkan DDI hingga menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia Timur," tutur, Ahmad sapaan akrabnya.

Ahmad menuturkan, salah satu ciri khas DDI AD Mangkoso yang membedakannya dengan pesantren lainnya adalah Kajian Kitab Kuning (Klasik dan Kontemporer) serta Ilmu Alat Bahasa Arab dengan tipologi Salafiyah-Khalafiyah. Ini sesuai dengan visi Ponpes tersebut untuk mewujudkan DDI-AD sebagai Serambi Kairo.

"Semua kurikulum kepesantrenan DDI-AD Mangkoso dalam proses Muadalah dari Perguruam Al-Azhar Kairo, Mesir," ungkapnya.

Dalam penyebaran santrinya, DDI AD tak ketinggalan, selain mayoritas melanjutkan pendidikan  pada salah satu perguruan tinggi yang ada di Timur Tengah, khususnya  di Mesir. Beberapa di antaranya juga melanjutkan pada  perguruan tinggi Islam negeri  maupun swasta di seluruh Indonesia.

"Saat ini, alumni yang tercatat melanjutkan di berbagai PTAI, di antaranya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN dan UII Jogjakarta, IAIN Surabaya, UIN dan UMI Makassar, dan sebagainya," katanya.

Di samping itu, kata Ahmad, tidak sedikit  alumni DDI-AD Mangkoso menyebar di berbagai perguruan tinggi, di antaranya UI Jakarta,  Gunadarma Jakarta, ITB Bandung, IPB Bogor, UGM Yogyakarta, UII Yogyakarta, Unair dan ITS Surabaya, Unhas, UNM Makassar, dan sebagainya.

Selama Ramadan, lanjutnya, para santri berkiprah di tengah-tengah masyarakat, baik sebagai mubalig maupun tenaga guru. Banyak alumni maupun mahasiswa STAI DDI-AD Mangkoso yang dikirim ke berbagai daerah, baik di Sulawesi Selatan maupun di luar provinsi, untuk memenuhi permintaan masyarakat sebagai dai dan tenaga pengajar pada madrasah atau pesantren cabang.
(tim)

Perpaduan Salafiyah dan Khalafiyah


Seiring perkembangan zaman, Pondok Pesantren DDI-AD Mangkoso terus bermetamorfosis. Tetapi, pembenahan yang dilakukan lebih ke pengembangan sarana dan prasarana belajar. Sebab sejak jauh hari  pesantren ini telah memadukan antara sistem pendidikan salafiyah (tradisional) dengan sistem khalafiyah (modern).

Ini terlihat dari kurikulum yang diajarkan. Terlihat jelas perpaduan antara Kurikulum Pesantren dengan Kurikulum Nasional (Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional). Ditambah lagi, saat ini berbagai kegiatan keterampilan (ekstra kurikuler), dengan porsi 100 persen kurikulum pesantren dan 100 persen kurikulum nasional.

"Salah satu yang terbaru adalah keberadaan Ma’had Aly atau Pesantren Tinggi. Ma'had Aly merupakan  lembaga pengkaderan ulama yang khusus mengkaji secara intensif kitab-kitab kuning (klasik dan kontemporer) dengan dibina oleh para ulama alumni Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universitas Madinah. Lepasan ma’had ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan kelangkaan ulama yang bisa hadir memberikan solusi terhadap berbagai problema keagamaan yang dihadapi umat Islam saat ini," tutur Ahmad Rasyid Amberi Said

Ia juga memaparkan, sejauh ini proses belajar mengajar ditunjang oleh berbagai sarana. Di antaranya kampus I seluas 2,5 hektare untuk tingkatan RA, ibtidaiyah, SMP, dan perguruan tinggi/mahad ali. Kampus II seluas 17 hektare untuk tingkatan tsanawiyah dan aliyah putra. Kampus III seluas 24 hektare untuk tingkatan tsanawiyah dan aliyah putri.

Asrama santri putra sebanyak 16 unit dan putri 10 unit, gedung belajar sebanyak 52 unit, masjid  3 buah, laboratorium bahasa 3 unit, laboratorium IPA  1 unit, laboratorium micro-teaching  1 unit, laboratorium komputer 5 unit, perpustakaan  4 unit, sarana olahraga, kesenian (kasidah rebana, perkusi, dan marching band) serta sarana keterampilan (agribisnis untuk putra dan konveksi untuk putri).

Di bagian lain, salah seorang pengajar di Kampus II Putra, Mayyadah, yang juga putri almarhum Anre Gurutta Wahab Zakariyah MA, menjelaskan, salah satu kelebihan yang dimiliki pondok pesantren ini adalah pembinaan selama 24 jam. Dengan demikian, disiplin belajar dan waktu untuk mengulang pelajaran tetap dalam pengawasaan dan tidak pernah lepas. (tim)  

3. Soppeng: Ponpes Perguruan Islam Ganra

Alumninya Banyak Jadi Pejabat, Pengajarnya Lulusan Mesir

Pondok Pesantren (Ponpes) Perguruan Islam (Pergis) Ganra merupakan salah satu rujukan bidang keagamaan di Soppeng. Ponpes ini terbilang paling tua di antara sejumlah ponpes yang ada di daerah ini.

Ponpes Perguruan Islam Ganra telah mengalami tahap metamorfosis. Ponpes ini pernah mengalami fase timbul tenggelam sebelum eksis kukuh hingga saat ini.

Ponpes yang berdiri di atas lahan sekitar 2 hektare ini bertempat di Jalan Pendidikan Ganra, Kecamatan Ganra. Untuk sampai ke tempat ini hanya membutuhkan waktu kira-kira 15 menit dari Kota Watansoppeng. Jaraknya sekitar 10 kilometer arah timur Kota Watansoppeng.

 Ponpes ini berdiri sejak 1 Agustus 1940. Kala itu sebelum berstatus sekolah hanya dimulai dari pengajian pondokan yang diselenggarakan Muh Yusuf Usman. Kemudian timbul inisiatif dari tokoh masyarakat untuk mendirikan sekolah. Bertemulah tiga tokoh masyarakat waktu itu yakni A Hasan, Kepala Onder Distrik Ganra (Sullawatang Ganra), H Ahmad Adam (Imam Ganra), dan Muh Aras (tokoh masyarakat).

Dari inisiatif ketuga tokoh ini, terbentuklah sekolah yang diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Aktivitas belajar dan pengajian waktu itu menempati Masjid Ganra yang lama. Setelah berstatus sekolah, beberapa tahun kemudian sempat melangsungkan aktivitas belajar mengajar sebelum ditutup sementara.  Sekolah ini ditutup akibat adanya tekanan pemerintah kolonial Belanda yang melarang mendirikan sekolah. Namun kemudian diperbolehkan mendirikan sekolah tapi dilarang menggunakan bangku.

“Kala itu pengurus dan guru-guru ponpes tidak patah arang. Mereka tetap berusaha melangsungkan aktivitas belajar mengajar meski menggunakan kolong rumah warga. Namun tekanan terus datang dari kolonial Belanda jadi terpaksa ditutup tahun 1943,” kenang Ketua Yayasan Ponpes Perguruan Islam Ganra, H Kamaruddin.

Kamaruddin menceritakan setelah sempat vakum beberapa tahun akhirnya sekolah itu dibuka kembali 1 Agustus 1946. Lokasinya menempati Sekolah Rakyat (SR) Paomallimpoe.
Setelah buka kembali, proses pengajian belum lancar sehingga dilaksanakan pada sore hari. Barulah setelah tahun 1948 didirikan gedung 2 lokal di Ganra. Sejak saat itulah ponpes itu eksis hingga saat ini. Pada 1 Agustus 1957 dibuka sekolah lanjutan menengah pertama  yang diberi nama Madrasah Menengah Pertama (MMP).

“Mulai 1 Agustus 1940 hingga 6 Juni 1959 bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Dan tanggal 7 Juni 1959 diadakan rapat pengurus untuk menetapkan anggaran dasar dan berubah nama menjadi Yayasan Perguruan Islam Ganra,” tambah Kamaruddin, yang juga menjabat Kepsek SMPN 1 Watansoppeng.

Yayasan Perguruan Islam Ganra ini mengelola empat tingkatan, yakni tingkatan rendah dari MAI menjadi Ibtidaiyah/SR, tingkat menengah pertama dari MMP menjadi Madrasah Tsanawiyah/SMP, dan tingkat menengah atas dibuka 1 Januari 1971 diberi nama Madrasah Aliyah. Khusus untuk tingkat taman Kanak-kanak dibuka 7 Januari 1974 dan diberi nama Raodhatul Athfal. Hingga akhir tahun ajaran 2012 mencatat santri 745 orang. Jumlah tersebut belum termasuk alumni yang mencapai ribuan orang.

Ponpes Perguruan Islam Ganra merupakan salah satu lembaga pendidikan yang banyak menelorkan alumninya menempati jabatan strategis. Di ataranya ada nama Drs Muh Na’im (mantan Kakanwil Depag Sulsel), Prof Dr H Jalaluddin Rahman MA (mantan anggota DPRD Sulsel), dan Prof Dr H Abd Rahim Yunus MA (guru besar UIN Alauddin Makassar yang juga sekretaris MUI Sulsel), serta sejumlah pejabat lain yang menempati posisi penting di berbagai daerah.

“Ponpes Perguruan Islam Ganra mengalami perkembangan yang cukup memuaskan. Alumninya banyak menempati jabatan strategis di daerah ini,” kata Pimpinan Ponpes, AG KH Amin Battang.

Amin Battang menambahkan pihak ponpes berusaha mengembangkan kegiatan dan kemandirian santri/santriwati melalui pola pembinaan santri lepas. Kebanyakan santri belajar sampai jam kelas formal lalu kembali ke rumah masing-masing. Santri yang berdomisili di sekitar pesantren melanjutkan pelajaran pada sore hari. Sementara santri penuh tinggal menetap di pondok. Santri yang menempati pondokan rata-rata berasal dari daerah tetangga seperti Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Sulbar, hingga Papua.

Untuk meningkatkan dan mengembangkan bakat santri, pelbagai ilmu dari berbagai bidang juga diberikan. Seperti keterampilan berbahasa, komputer, keterampilan menjahit, olahraga, seni, pidato dan, tahfidzul Alquran.

Sementara staf pengajarnya didatangkan dari guru-guru ponpes ternama. Seperti guru dari Ponpes Gontor, Jawa Timur, Ponpes As-Adi'yah Sengkang, dan Ponpes Mangkoso Barru. Tidak hanya itu, sejumlah pengajarnya merupakan lulusan Al Ashar Kairo, Mesir.

“Ponpes berusaha mengikuti perkembangan saman. Termasuk mendatangkan guru dari ponpes ternama di Indonesia,” tambah Amin Battang.
          
Selama Ramadan ini, aktivitas santri di ponpes ditiadakan. Mereka diliburkan. Rata-rata santri disebar keberbai daerah untuk melakukan ceramah di masjid-masjid. (tim)



4.  Maros: Pesantren Darul Istiqamah


USIA 43 Tahun Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa yang terletak di Jalan Poros Maros-Maccopa ini terbilang cukup tua di Kabupaten Maros.

Wakil Sekretaris Jendral (Sekjen) Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa, Fahruddin Achmad, mengatakan, sejak didirikan tahun 1970-an hingga saat ini, sudah banyak melahirkan santri maupun santriwati yang bergelut sebagai dai muda serta para penghafal Alquran.

"Jadi pesantren ini didirikan oleh KH Ahmad Marzuki Hasan yang mendapatkan tanah dari pemerintah Kabupaten Maros seluas  0,5 hektare. Atau dengan kata lain dihibahkan oleh pemerintah dalam hal ini Bupati Maros yang dijabat Kasim DM kala itu," katanya.

Awalnya, kata dia, pesantren yang segmennya tahfiz itu hanya memiliki dua santri yang kemudian berkembang menjadi delapan.

"Kemudian menjadi 12 dan berkembang hingga akhirnya bisa mencapai jumlah santri dan santriwati sekitar 1000-an orang," imbuhnya.

Sekarang, kata dia, sudah berdiri 30 cabang yang tersebar di Indonesia Timur. Seperti di Makassar, Gowa, Sinjai, Enrekang, Bone, Maros, Wajo, Luwu. Luwu Timur, Manado, Luwuk Banggai, Sulbar, Sorong, Papua, Jakarta, Kolaka, dan Kolaka Utara. Perkembangan pondok pesantren Darul Istiqamah mulai pesat pada 1976.

Hingga kini, keluaran Darul Istiqamah sudah mencapai 7000-an. Menurut  Fahruddin, banyak hal yang membedakan pesantren Darul Istiqamah dengan yang lainnya.  Darul Istiqamah menitikberatkan pada pembangunan pesantren masyarakat.

"Jadi bukan hanya sekolah tapi komunitas masyarakat yang menghadirkan masyarakat islami. Kemudian menekankan pada penghafal Alquran, dakwah, dan pendidikan Islam," katanya.

Misi lainnya, pesantren ini bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya.

"Nah itu dia kenapa kita membangun rumah bersalin, pasar, dan sekolah. Ya, karena semua itu dipersembahkan bagaimana menjadi bagian masyarakat besar," jelasnya.

Pesantren Darul Istiqamah juga menjadi pesantren yang membangun peradaban masyarakat.

"Tentu saja dengan prinsip-prinsip mendasar bagaimana menegakkan Alquran dan assunah yang sahih. Tetapi dengan keterbukaan. Tidak memarginalkan diri, dan senantiasa bergaul dengan masyarakat," katanya

Mengenai tren penurunan dan peningkatan santri selama Ramadan, Fahruddin mengatakan, tidak ada penurunan santri. Cuma saja kalau Ramadan, aktivitasnya difokuskan pada beberapa hal. Pertama, semua santri bahkan semua warga pesantren, atau para guru wajib menghatamkan Alquran selama Ramadan. Sehingga mereka berusaha, bahkan ada yang khatam tiga kali.

Kedua, kata dia, bagaimana meningkatkan kualitas ibadah. Seperti salat fardu, salat sunah, salat qiyamullail atau salat malam, kemudian pengajian.

"Ketiga, bagaimana agar santri tetap berdakwah. Sehingga beberapa dai dikirim untuk berdakwah di berbagai masjid di Maros, diikirim ke cabang  pesantren seperti Sinjai ada lima cabang, Luwu Raya empat cabang, Enrekang satu cabang," urainya.

Dia juga mengaku menerima undangan untuk pembinaan masyarakat selama Ramadan di luar cabang pesantren.

"Seperti permintaan masyarakat Toraja. Biasanya kita kirim 3-5 orang dai tiap tahun," katanya.

Sementara Direktur Operasional Sekolah Putri Darul Istiqamah, Indra Wijaya, mengatakan, yang membedakan pesantren dengan sekolah lain yaitu memiliki visi menjadi sekolah di Indonesia timur yang lengkap dari segi fasilitas, proses belajar mengajar kurikulum yang digunakan selain kurikulum pesantren, juga kurikulum pendidikan nasional (umum).

"Jadi kita juga menggunakan kurikulum diknas mulai SD sampai SMA. Misalnya pagi hari belajar umum, sore dan magrib kurikulum pesantren," jelasnya.

Kemudahan lain, kata dia, agar tidak ketinggalan informasi maka siswi dibolehkan membawa laptop.

"Kita siapkan wifi gratis," katanya. Saat ini Ponpes Darul Istiqamah Maccopa dipimpin oleh KH. M Arif Marzuki. (tim)

Tetap Beraktivitas di Bulan Ramadan

JIKA sekolah Islam atau pesantren lain biasanya memilih meliburkan santri dan santriwatinya saat Ramadan, di Pondok Pesantren Darul Istiqamah justru tidak. Berbagai kegiatan selama Ramadan pun digelar hingga 20 Ramadan.

Sekjen Ponpes Darul Istiqamah Fahruddin Achmad, mengatakan, pihaknya memiliki alasan tersendiri untuk tidak meliburkan santrinya yang bisa berdampak buruk secara siginifikan. Baik terhadap akhlak maupun pendidikan para santrinya.

"Kami sulit menjamin ketika mereka libur akhlaknya bisa terbina dengan baik. Ibadah puasa dan mengajinya bisa dijalankan dengan baik. Jadi mereka harus memahami kalau puasa di bulan Ramadan itu akan terasa indah jika kualitas ibadahnya naik sekian kali lipat. Dan itu hanya bisa diwujudkan kalau mereka tidak libur," jelasnya.

Dia mengatakan para santri dan santriwati tetap belajar secara formal. kemudian ada pengurangan pada aktivitas ekstra-kokurikuler.

"Jadi masing-masing tingkatan telah memiliki kegiatan. Baik dari tingkatan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA)," katanya.

Untuk santri di tingkatan MI, sejak Ramadan mereka punya aktivitas yang disebut anak saleh yang akan berlangsung selama 20 Ramadan. Mereka mulai dari salat berjamaah subuh, belajar pendidikan berdoa, dan zikir hingga pukul 10.00 Wita. Sore harinya pada pukul 16.00 Wita, mereka kemudian belajar hingga pukul 20.00 Wita yang kelola masing-masing dua guru.

Sementara santri dan santriwati MTs dan MA yang tidak diliburkan sampai 20 Ramadan, banyak beraktivitas di sekolah dan masjid. "Agenda utamanya, mereka bisa menghatamkan Alquran lebih banyak. Minimal satu kali dan ada pula yang bisa sampai tiga kali bahkan lebih selama 20 hari itu," katanya.

Selama Ramadan para santri dan santriwati tetap mendapatkan pendidikan dari para tenaga pendidik. Meski waktunya tidak begitu panjang, hanya dari pukul 10.00 Wita hingga Pukul 11.00 Wita.

"Mengingat mereka sudah melakukan berbagai aktivitas mulai pukul 02.00 dini hari jadi biasanya siang hari mereka istirahat," katanya.

Secara umum, 2.500-an orang yang terdiri atas warga sekitar pesantren dan para santri serta santriwati mulai bangun pukul 02.00 dini hari, dan pada pukul 02.30 Wita mereka sudah mulai melakukan salat berjamaah qiyamullail atau salat malam yang dipusatkan di Masjid Jami dan dipimpin oleh imam yang hafiz atau penghafal Alquran.

"Aktivitas itu diikuti hampir seluruh warga yang tinggal di pesantren hingga pukul 03.30 Wita, di mana tiap malamnya itu dibaca satu juz berderet hingga hari ke 30. Sehingga selama puasa 30 juz bisa terselesaikan," katanya.

Aktivitas selanjutnya, kata dia, usai salat malam, mereka kemudian kembali ke rumah atau ke tempat masing-masing untuk melakukan sahur. Kemudian kembali ke masjid untuk salat subuh berjamaah.

"Setelah salat subuh dilanjutkan kuliah subuh yang diisi oleh berbagai pakar, tokoh dan akademisi baik lokal maupun nasional," katanya.

Dia melanjutkan biasanya pada 21 Ramadan, santri dan santriwati baru diliburkan dan bisa pulang ke kampung halamannya. Untuk santri baru ada peningkatan selama beberapa tahun terakhir ini.

"Kita memang berusaha meningkatkan kualitas pesantren, baik dari kualitas fisik maupun pendidikan. Sehingga mampu menaikkan kuantitas santri maupun santriwati baru. Ya kalau tahun lalu 150 orang tahum ini ditarget 300 orang," jelasnya.

Sementara Direktur Operasional Sekolah Putri Darul Istiqamah, Indra Wijaya mengatakan siswa akan libur pada hari ke 21 ramadan. Yang mana diliburkan selama 20 hari.Untuk di sekolah Putri berbagai aktivitas mulai dilakukan sejak hari pertama puasa hingga 20 Ramadan. Salah satunya dilakukan penguatan Bahasa Arab.

"Para santriwati juga harus khatam Alquran dengan target individu serta penguatan ibadah. Seperti salat fardu, salat lail, dan duha," jelasnya.

Dia mengatakan banyak pertimbangan sehingga pihaknya memilih tidak meliburkan siswinya. "Kita menimbang, rasa-rasanya kalau di rumah aktivitas ibadah mereka tidak terkontrol. Bahkan bisa saja ibadahnya kurang," jelasnya. (tim)

Pertahankan Prinsip Dasar

Menurut Sekjen Ponpes Darul Istiqamah Maccopa, Fahruddin Achmad transisi itu adalah bagaimana pesantren tetap dengan prinsipnya secara mendasar.

"Tetapi berperan besar dalam era globalisasi. Berperan dalam pendidikan, sosial, politik dan budaya," katanya.

Di pesantren, kata dia, baik santri maupun santriwati tahu bagaimana menjaga kemurnian tauhid, menjaga peningkatan ibadah, perbaikan akhlak, dan muamalah yang menyejahterahkan masyarakat yang bersumber dari Alquran dan assunah. Serta menjaga batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

"Pada saat yang bersamaan, kami semaksimal kemampuan berfungsi sebagai bagian besar dari masyarakat dan peradaban ini. Sesuai Motto kita di 2013 yaitu Darul Istiqamah Bangkit Membangun Peradaban Islam," tambahnya.

Pada hakikatnya, Fahruddin menjelaskan, pada era globalisasi ini, bagaimana menghadirkan wajah Islam yang sesungguhnya. Menyoal kelebihan dan kekurangan santri maupun santriwati menempuh pendidikan di pesantren, dia mengatakan anak-anak di pesantren lebih cepat mandiri.

"Jadi sejak dini mereka sudah diajarkan kemandirian, karena jauh dari keluarga," katanya. Kekurangannya, karena belum sempurnanya fasilitas dan sarana yg tersedia. "Bagaimanapun juga ketika kita bicara fasilitas, tentu masih ada kekurangan. Di mana kami belum mampu menghadirkan segala-galanya seperti tiap santri memegang satu unit komputer. Tapi di sisi lain kita berusaha bagaimana agar anak-anak itu bisa menjadi manusia yang mandiri, cerdas, terampil dengan nilai-nilai keislaman," paparnya. (tim)



Komentar

  1. thanks infonya. sy sebagai lulusan Pondok Pesantren Yayasan Perguruan Islam Ganra sangat berbangga bisa menimbah ilmu di pondok tersebut selama 13 tahun.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. mngkin disini ada yang tau narasumber yang bisa diwawancarai tentang mesjid raya Parepare!?mngkin bisa membantu kami dalam penyelesaian tugas

    BalasHapus
  4. mngkin disini ada yang tau narasumber yang bisa diwawancarai tentang mesjid raya Parepare!?mngkin bisa membantu kami dalam penyelesaian tugas

    BalasHapus
  5. terimakasih ifonya sangat bermanfaat ....masukan kalo bisa diperkaya dengan kitab apa saja yang dibaca dan dipelajari dipesantren itu dan kegiatan santrinya mulai bangun tidur sampai tidur kembali dimalam hari

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Kakak. Masukan yang bagus.Semoga nanti ada tulisan lain yang membahas tentang kitab-kitab bacaan santri

      Hapus
    2. http://lingkarstudyrumput.blogspot.com/2020/05/hampir-satu-abad-ini-kondisi-pesantren.html?m=1

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan