Isu PSDA, Media Terapkan Jurnalistik Feodal
MAKASSAR--Pemberitaan mengenai pengelolaan sumber daya alam (PSDA) dianggap masih kurang advokatif. Berita-berita yang ditampilkan oleh media-media cetak Sulsel, yang berkaitan dengan PSDA dianggap tidak berimbang karena lebih banyak menjadikan pemerintah sebagai nara sumber. Sementara stakeholder lain yang juga bersentuhan dengan PSDA jarang atau sangat minim dijadikan sebagai sumber.
Hal tersebut mengemuka dalam pemaparan hasil penelitian Lembaga Study Informasi dan Media Massa (eLSIM) yang berkaitan dengan pemberitaan isu-isu PSDA. Penelitian tersebut mengambil empat sampel media cetak lokal di Sulsel, yaitu Fajar, Tribun Timur, Pare Pos, dan Palopo Pos.
Kegiatan yang digelar di Marasa Cafe ini, Selasa, 22 Juni, menghadirkan Koordinator Riset eLSIM, Riza Dharmaputra, Direktur Celebes, Mustam Arif, pemerhati media, Muliadi Mau dan dan Ketua KPID Sulsel, Aswar Hasan, sebagai pembanding dan penanggap terhadap pemaparan hasil riset tersebut.
Menurut Riza, hasil penelitiannya secara umum menyimpulkan bahwa kebijakan redaksi media belum begitu concern terhadap isu PSDA. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari penempatan berita di halaman dalam. "Artinya PSDA sebagai isu kedua, bukan yang utama," tandasnya.
Hal lainnya, media masih berorientasi pada kebijakan pemerintah, dan lebih banyak memilih narasumber dari kalangan pemerintah atau government oriented. Sedangkan stakeholder lainnya yang terkait dengan isu PSDA belum dimaksimalkan. "Tetapi secara umum kualitas berita mengenai PSDA telah memenuhi standar jurnalistik," kata Riza.
Mustam Arif menjelaskan, dalam pemberitaan kasus PSDA, media menganut pola jurnalistik feodal. Hal itu ia maksudkan karena kecenderungan media menempatkan pemerintah dan aparat keamanan sebagai sumber resmi. "Dampaknya, pemberitaan tidak berimbang dan cenderung merugikan masyarakat dan menguntungkan pemerintah," paparnya
Selain itu, menurut Mustam, media, terutama media-media lokal, dicurigai belum punya agenda redaksi untuk isu PSDA. Pemberitaan tentang sumber daya alam bukan karena krusialnya isu tersebut, tetapi masih tergantung pada peristiwa yang terkait dengan PSDA itu sendiri. "Isu-isu yang berkembang di masyarakat bukan diciptakan oleh media, tetapi diciptakan oleh masyarakat sendiri. Lalu media mengangkatnya sebagai isu," imbuh Mustam.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu mendorong keberpihakan media massa untuk untuk isu PSDA dengan penigkatan kapasitas pada level pengambil kebijakan redaksional media, pengambil kebijakan bisnis media, dan pemilik media. "Juga peningkatan kapasitas jurnalis untuk memahami isu-isu PSDA secara kontinyu," ujarnya.
Sementara itu, Muliadi Mau, mengimbau agar metode penelitian yang dipakai oleh eLSIM dalam penelitian tersebut dijelaskan kepada publik supaya jelas dan transparan. Juga, katanya, harus diperjelas langkah-langkah riset yang ditempuh, serta unit yang dianalisis. Kategorisasi juga mesti dipertimbangkan dalam penelitian.
Muliadi juga menyoroti model pemberitaan yang berkaitan dengan PSDA yang lebih banyak menjadikan pemerintah sebagai sumber. Semestinya, kata dia, ada dialog dari berbagai stakeholder PSDA. "Pemberitaan PSDA didominasi oleh perspektif pemerintah. Media tidak sadar, ia menjadi alat pemerintah," tandasnya.
Hal senada disampaiakn Aswar Hasan. Menurutnya, dominasi sumber dari pemerintah dalam pemberitaan PSDA sangat berbahaya. Hak publik, katanya, tidak tersuarakan karena tidak menghadirkan sumber-sumber lain yang relevan. "Secara tidak langsung, pemerintah memanfaatkan media," ujarnya. (zuk)
Hal tersebut mengemuka dalam pemaparan hasil penelitian Lembaga Study Informasi dan Media Massa (eLSIM) yang berkaitan dengan pemberitaan isu-isu PSDA. Penelitian tersebut mengambil empat sampel media cetak lokal di Sulsel, yaitu Fajar, Tribun Timur, Pare Pos, dan Palopo Pos.
Kegiatan yang digelar di Marasa Cafe ini, Selasa, 22 Juni, menghadirkan Koordinator Riset eLSIM, Riza Dharmaputra, Direktur Celebes, Mustam Arif, pemerhati media, Muliadi Mau dan dan Ketua KPID Sulsel, Aswar Hasan, sebagai pembanding dan penanggap terhadap pemaparan hasil riset tersebut.
Menurut Riza, hasil penelitiannya secara umum menyimpulkan bahwa kebijakan redaksi media belum begitu concern terhadap isu PSDA. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari penempatan berita di halaman dalam. "Artinya PSDA sebagai isu kedua, bukan yang utama," tandasnya.
Hal lainnya, media masih berorientasi pada kebijakan pemerintah, dan lebih banyak memilih narasumber dari kalangan pemerintah atau government oriented. Sedangkan stakeholder lainnya yang terkait dengan isu PSDA belum dimaksimalkan. "Tetapi secara umum kualitas berita mengenai PSDA telah memenuhi standar jurnalistik," kata Riza.
Mustam Arif menjelaskan, dalam pemberitaan kasus PSDA, media menganut pola jurnalistik feodal. Hal itu ia maksudkan karena kecenderungan media menempatkan pemerintah dan aparat keamanan sebagai sumber resmi. "Dampaknya, pemberitaan tidak berimbang dan cenderung merugikan masyarakat dan menguntungkan pemerintah," paparnya
Selain itu, menurut Mustam, media, terutama media-media lokal, dicurigai belum punya agenda redaksi untuk isu PSDA. Pemberitaan tentang sumber daya alam bukan karena krusialnya isu tersebut, tetapi masih tergantung pada peristiwa yang terkait dengan PSDA itu sendiri. "Isu-isu yang berkembang di masyarakat bukan diciptakan oleh media, tetapi diciptakan oleh masyarakat sendiri. Lalu media mengangkatnya sebagai isu," imbuh Mustam.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu mendorong keberpihakan media massa untuk untuk isu PSDA dengan penigkatan kapasitas pada level pengambil kebijakan redaksional media, pengambil kebijakan bisnis media, dan pemilik media. "Juga peningkatan kapasitas jurnalis untuk memahami isu-isu PSDA secara kontinyu," ujarnya.
Sementara itu, Muliadi Mau, mengimbau agar metode penelitian yang dipakai oleh eLSIM dalam penelitian tersebut dijelaskan kepada publik supaya jelas dan transparan. Juga, katanya, harus diperjelas langkah-langkah riset yang ditempuh, serta unit yang dianalisis. Kategorisasi juga mesti dipertimbangkan dalam penelitian.
Muliadi juga menyoroti model pemberitaan yang berkaitan dengan PSDA yang lebih banyak menjadikan pemerintah sebagai sumber. Semestinya, kata dia, ada dialog dari berbagai stakeholder PSDA. "Pemberitaan PSDA didominasi oleh perspektif pemerintah. Media tidak sadar, ia menjadi alat pemerintah," tandasnya.
Hal senada disampaiakn Aswar Hasan. Menurutnya, dominasi sumber dari pemerintah dalam pemberitaan PSDA sangat berbahaya. Hak publik, katanya, tidak tersuarakan karena tidak menghadirkan sumber-sumber lain yang relevan. "Secara tidak langsung, pemerintah memanfaatkan media," ujarnya. (zuk)
Komentar
Posting Komentar