Mahasiswa Sadari, Tutup Jalan Langgar HAM
MAKASSAR--Kota Makassar memang identik dengan demonstrasi. Tiada hari tanpa demonstrasi yang mewarnai metropolitan ini. Mulai dari aksi dengan mengangkat isu lokal, nasional, hingga internasional. Beragam isu menjadi pemicu aksi demonstrasi mahasiswa Makassar.
Tidak tepat jika sepenuhnya melekatkan kekerasan dalam aksi demonstrasi mahasiswa Makassar. Menurut mereka, setiap kali aksi, mereka tak pernah memiliki niat untuk melakukan kekerasan atau yang biasa disebut dengan aksi anarkis. Termasuk aksi demonstrasi menutup jalan, mereka juga sudah mulai melakukan redefenisi tafsir terhadap "keyakinan" tersebut. Bahwa setiap kali aksi tidak harus tutup jalan, apalagi anarkis.
Aktivis mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI), Sapri, mengakui jika aksi dilakukan setelah pintu dialog sudah tertutup. Atau jika pemerintah seolah-olah acuh terhadap tuntutan yang mahasiswa suarakan. "Biasanya isu yang kita usung tidak mencuat kalau tidak aksi. Atau isu kita tidak direspon jika tidak aksi," ujar mahasiswa Fakultas Hukum ini, Senin, 24 Mei.
Aksi demostrasi, lanjut Sapri, merupakan bentuk kontrol mahasiswa kepada pemerintah. Apalagi jika kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan kepentingan rakyat, utamanya masyarakat kalangan bawah. Soal aksi demontrasi yang sering bikin macet lalu lintas, menurut Sapri, hal itu mesti dilihat sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil. "Sebagian masyarakat mengeluh, tetapi masyarakat lainnya di belakang mereka yang mengeluh yang menjadi korban kebijakan pemerintah," imbuh Sapri.
Tetapi Sapri juga kurang sepakat jika setiap kali aksi mahasiswa tutup jalan. Menurutnya, tidak semua aksi harus dengan tutup jalan. Kalaupun ada aksi tutup jalan, lanjutnya, tidak akan berlangsung lama alias hanya sebentar. "Kita juga tahu tentang HAM. Tutup jalan adalah melanggar HAM. Karena fasilitas jalan bukan hanya milik mahasiswa, tetapi masyarakat umum juga," terang Sang Jenderal Lapangan aksi demonstrasi.
Sejalan dengan Sapri, Asriadi, aktivis Universitas 45 juga menilai perlunya memformulasi gerakan mahasiswa yang baru. Yaitu gerakan yang lebih memunculkan simpati masyarakat. "Persoalan kemacetan dan aksi tutup jalan, itu sudah kami sadari. Ke depan kita akan cari konsep gerakan alternatif," ujar Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Sospol ini.
Asriadi mengungkapkan, aksi yang dilakukannya biasanya lebih efektif dalam bentuk demonstrasi. Walaupun ia menyadari banyak cara lain semisal perang opini atau diskusi. Demostrasi ia lakukan karena pemerintah tidak memperhatikan rakyat. Selain itu, pemerintah hanya memilih kepentingan golongan atau kalangan tertentu.
Aksi demonstrasi yang dilakukan Asriadi dominan mengangkat isu nasional. Ia mengaku kurang tertarik dengan isu lokal apalagi ia tegabung dalam Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik (Ilmispi). Jadi kecenderungan aksinya mengusung isu yang seragam dengan daerah-daerah lainnya se-Indonesia. (zuk)
Tidak tepat jika sepenuhnya melekatkan kekerasan dalam aksi demonstrasi mahasiswa Makassar. Menurut mereka, setiap kali aksi, mereka tak pernah memiliki niat untuk melakukan kekerasan atau yang biasa disebut dengan aksi anarkis. Termasuk aksi demonstrasi menutup jalan, mereka juga sudah mulai melakukan redefenisi tafsir terhadap "keyakinan" tersebut. Bahwa setiap kali aksi tidak harus tutup jalan, apalagi anarkis.
Aktivis mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI), Sapri, mengakui jika aksi dilakukan setelah pintu dialog sudah tertutup. Atau jika pemerintah seolah-olah acuh terhadap tuntutan yang mahasiswa suarakan. "Biasanya isu yang kita usung tidak mencuat kalau tidak aksi. Atau isu kita tidak direspon jika tidak aksi," ujar mahasiswa Fakultas Hukum ini, Senin, 24 Mei.
Aksi demostrasi, lanjut Sapri, merupakan bentuk kontrol mahasiswa kepada pemerintah. Apalagi jika kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan kepentingan rakyat, utamanya masyarakat kalangan bawah. Soal aksi demontrasi yang sering bikin macet lalu lintas, menurut Sapri, hal itu mesti dilihat sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil. "Sebagian masyarakat mengeluh, tetapi masyarakat lainnya di belakang mereka yang mengeluh yang menjadi korban kebijakan pemerintah," imbuh Sapri.
Tetapi Sapri juga kurang sepakat jika setiap kali aksi mahasiswa tutup jalan. Menurutnya, tidak semua aksi harus dengan tutup jalan. Kalaupun ada aksi tutup jalan, lanjutnya, tidak akan berlangsung lama alias hanya sebentar. "Kita juga tahu tentang HAM. Tutup jalan adalah melanggar HAM. Karena fasilitas jalan bukan hanya milik mahasiswa, tetapi masyarakat umum juga," terang Sang Jenderal Lapangan aksi demonstrasi.
Sejalan dengan Sapri, Asriadi, aktivis Universitas 45 juga menilai perlunya memformulasi gerakan mahasiswa yang baru. Yaitu gerakan yang lebih memunculkan simpati masyarakat. "Persoalan kemacetan dan aksi tutup jalan, itu sudah kami sadari. Ke depan kita akan cari konsep gerakan alternatif," ujar Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Sospol ini.
Asriadi mengungkapkan, aksi yang dilakukannya biasanya lebih efektif dalam bentuk demonstrasi. Walaupun ia menyadari banyak cara lain semisal perang opini atau diskusi. Demostrasi ia lakukan karena pemerintah tidak memperhatikan rakyat. Selain itu, pemerintah hanya memilih kepentingan golongan atau kalangan tertentu.
Aksi demonstrasi yang dilakukan Asriadi dominan mengangkat isu nasional. Ia mengaku kurang tertarik dengan isu lokal apalagi ia tegabung dalam Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik (Ilmispi). Jadi kecenderungan aksinya mengusung isu yang seragam dengan daerah-daerah lainnya se-Indonesia. (zuk)
Komentar
Posting Komentar