Mahasiswa Kecam Mahasiswa
Dok.Fajar
MARAKNYA tawuran antar mahasiswa di dalam kampus disesalkan banyak kalangan. Bukan cuma masyarakat luar kampus, tetapi para mahasiswa pun sudah merasa muak dengan tawuran mahasiswa. Betapa tidak, itu akan merugikan mahasiswa sendiri, termasuk yang tidak pernah terlibat tawuran.
Apalagi, sudah seringkali terjadi, hanya karena persolan sepele, bentrok massif dua kelompok dalam kampus terjadi. Sebuah ironi jika dikaitkan dengan Tri Darma perguruan tinggi.
Mahasiswa, sesuai konsep Tri Darma, seharusnya melakukan kegiatan ilmiah dan intelektual. Melakukan kerja-kerja akademik. Nyatanya, mereka justru berperilaku ala penghuni rimba raya; menyelesaikan sesuatu dengan kekerasan, bukan dengan otak dan pikir.
Bahtiar Ali Rambangeng, mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar menilai, aksi tawuran yang marak terjadi justru akan berbalik merugikan gerakan mahasiswa. Bentrok atau tawuran mencederai gerakan suci yang selama ini diusung mahasiswa.
"Tawuran adalah bentuk premanisme di kampus. Dampaknya akan memperburuk citra mahasiswa," tegasnya, Jumat, 28 Mei.
Tapi, kata dia, mahasiswa tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, menurut dia, beberapa pihak lain terlibat dalam masalah tawuran ini. Seperti sistem dan aturan yang dikembangkan institusi kampus yang cenderung mengarah kepada pendisiplinan absolut mahasiswa. Akhirnya, karena merasa tertekan, mahasiswa kian beringas.
Pendisiplinan itu, ujar Bahtiar, berupa banyaknya aturan yang membelenggu kebebasan berekspresi mahasiswa dalam kampus. Terjadi pembatasan ruang berkreativitas bagi mahasiswa. Bisa berupa pengaturan jadwal masuk kampus pada jam-jam tertentu saja dan hal lainnya.
"Tidak ada atau sangat minimnya ruang apresiasi mahasiswa sehingga dengan mudah melahirkan gesekan antar mahasiswa dalam kampus," imbuh mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) Cabang Makassar ini.
Oleh karena itu, lanjutnya, para aktivis kampus sudah saatnya membangun pendekatan baru dalam mereduksi tawuran tersebut. Mahasiswa harus membangun kultur intelektual atau kultur akademik. Upaya ini setidaknya akan meminimalisasi adanya semangat ashabiah atau semagat berkelompok alias spirit kesukuan. Ini akan mendorong afiliasi semua sekat dalam kampus.
"Mahasiswa mengalami degradasi moral. Tradisi yang bisa membangkitkan kesadaran kritis mahasiswa juga tidak ada. Tidak ada upaya progresif dalam kampus. Oleh karena itu perlu adanya inisiatif untuk membangkitkan tradisi ilmiah dan intelektual untuk melawan tradisi anarkisme atau tradisi barbarian," ungkap Bahtiar.
Untuk menyelesaikan persoalan tawuran mahasiswa, tidak harus menggunakan pendekatan struktural kampus. Semakin diberi sanksi kepada pelaku tawuran, maka mahasiswa akan semakin berontak. "Mahasiswa itu tidak bisa ditekan. Jadi jangan menggunakan pendekatan struktural. Lebih efektif menggunakan pendekatan kultural, misalnya membuatkan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas dan kecakapan mahasiswa," ujar dia.
Selain itu, rembuk bersama juga dinilai penting dan jangan melibatkan kalangan eksekutif mahasiswa saja. Mengintensifkan kegiatan-kegiatan antar mahasiswa juga dinilai efektif untuk meningkatkan hubungan emosional sesama mahasiswa. "Kegiatan seperti inilah yang akan mengurangi konflik antar mahasiswa," pungkas Bahtiar.
Hal senada diungkapkan Arga, mahasiswa Fakultas Sospol Unismuh. Menurutnya, tawuran terjadi karena mahasiswa tidak mampu mengelola konflik di internal mereka. "Ketidakmampuan mengelola konflik mengakibatkan gampangnya bentrok terjadi. Kalau ada persoalan, dengan gampangnya mereka main labrak tanpa menganalisis pokok persoalan yang sesungguhnya," ujar dia.
Hanya saja, berbeda dengan Bahtiar, menurutnya, sanksi tegas harus diberikan kepada pelaku tawuran. "Kalau sudah diberi peringatan, lantas masih begitu, maka sanksi sudah harus diberikan," tandasnya.
Tawuran mahasiswa juga menimbulkan dampak bagi mahasiswi. Mereka menjadi was-was setiap kali masuk kampus. Seperti yang dialami Salmi, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNM. Ia menjadi ketakutan setiap kali terjadi bentrokan antar mahasiswa. Ia harus cepat-cepat pulang dari kampus walau kuliahnya belum selesai jika bentrok pecah. Tak jarang, ia terjebak dalam drama perang dua kubu mahasiswa.
Alfirawati Bakri, mahasiswa FBS UNM lainnya pun beranggapan sama. Menurutnya, setiap kali ada masalah, mahasiswa mestinya menggunakan otak bukan emosinya. (*)
MARAKNYA tawuran antar mahasiswa di dalam kampus disesalkan banyak kalangan. Bukan cuma masyarakat luar kampus, tetapi para mahasiswa pun sudah merasa muak dengan tawuran mahasiswa. Betapa tidak, itu akan merugikan mahasiswa sendiri, termasuk yang tidak pernah terlibat tawuran.
Apalagi, sudah seringkali terjadi, hanya karena persolan sepele, bentrok massif dua kelompok dalam kampus terjadi. Sebuah ironi jika dikaitkan dengan Tri Darma perguruan tinggi.
Mahasiswa, sesuai konsep Tri Darma, seharusnya melakukan kegiatan ilmiah dan intelektual. Melakukan kerja-kerja akademik. Nyatanya, mereka justru berperilaku ala penghuni rimba raya; menyelesaikan sesuatu dengan kekerasan, bukan dengan otak dan pikir.
Bahtiar Ali Rambangeng, mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar menilai, aksi tawuran yang marak terjadi justru akan berbalik merugikan gerakan mahasiswa. Bentrok atau tawuran mencederai gerakan suci yang selama ini diusung mahasiswa.
"Tawuran adalah bentuk premanisme di kampus. Dampaknya akan memperburuk citra mahasiswa," tegasnya, Jumat, 28 Mei.
Tapi, kata dia, mahasiswa tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, menurut dia, beberapa pihak lain terlibat dalam masalah tawuran ini. Seperti sistem dan aturan yang dikembangkan institusi kampus yang cenderung mengarah kepada pendisiplinan absolut mahasiswa. Akhirnya, karena merasa tertekan, mahasiswa kian beringas.
Pendisiplinan itu, ujar Bahtiar, berupa banyaknya aturan yang membelenggu kebebasan berekspresi mahasiswa dalam kampus. Terjadi pembatasan ruang berkreativitas bagi mahasiswa. Bisa berupa pengaturan jadwal masuk kampus pada jam-jam tertentu saja dan hal lainnya.
"Tidak ada atau sangat minimnya ruang apresiasi mahasiswa sehingga dengan mudah melahirkan gesekan antar mahasiswa dalam kampus," imbuh mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) Cabang Makassar ini.
Oleh karena itu, lanjutnya, para aktivis kampus sudah saatnya membangun pendekatan baru dalam mereduksi tawuran tersebut. Mahasiswa harus membangun kultur intelektual atau kultur akademik. Upaya ini setidaknya akan meminimalisasi adanya semangat ashabiah atau semagat berkelompok alias spirit kesukuan. Ini akan mendorong afiliasi semua sekat dalam kampus.
"Mahasiswa mengalami degradasi moral. Tradisi yang bisa membangkitkan kesadaran kritis mahasiswa juga tidak ada. Tidak ada upaya progresif dalam kampus. Oleh karena itu perlu adanya inisiatif untuk membangkitkan tradisi ilmiah dan intelektual untuk melawan tradisi anarkisme atau tradisi barbarian," ungkap Bahtiar.
Untuk menyelesaikan persoalan tawuran mahasiswa, tidak harus menggunakan pendekatan struktural kampus. Semakin diberi sanksi kepada pelaku tawuran, maka mahasiswa akan semakin berontak. "Mahasiswa itu tidak bisa ditekan. Jadi jangan menggunakan pendekatan struktural. Lebih efektif menggunakan pendekatan kultural, misalnya membuatkan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas dan kecakapan mahasiswa," ujar dia.
Selain itu, rembuk bersama juga dinilai penting dan jangan melibatkan kalangan eksekutif mahasiswa saja. Mengintensifkan kegiatan-kegiatan antar mahasiswa juga dinilai efektif untuk meningkatkan hubungan emosional sesama mahasiswa. "Kegiatan seperti inilah yang akan mengurangi konflik antar mahasiswa," pungkas Bahtiar.
Hal senada diungkapkan Arga, mahasiswa Fakultas Sospol Unismuh. Menurutnya, tawuran terjadi karena mahasiswa tidak mampu mengelola konflik di internal mereka. "Ketidakmampuan mengelola konflik mengakibatkan gampangnya bentrok terjadi. Kalau ada persoalan, dengan gampangnya mereka main labrak tanpa menganalisis pokok persoalan yang sesungguhnya," ujar dia.
Hanya saja, berbeda dengan Bahtiar, menurutnya, sanksi tegas harus diberikan kepada pelaku tawuran. "Kalau sudah diberi peringatan, lantas masih begitu, maka sanksi sudah harus diberikan," tandasnya.
Tawuran mahasiswa juga menimbulkan dampak bagi mahasiswi. Mereka menjadi was-was setiap kali masuk kampus. Seperti yang dialami Salmi, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNM. Ia menjadi ketakutan setiap kali terjadi bentrokan antar mahasiswa. Ia harus cepat-cepat pulang dari kampus walau kuliahnya belum selesai jika bentrok pecah. Tak jarang, ia terjebak dalam drama perang dua kubu mahasiswa.
Alfirawati Bakri, mahasiswa FBS UNM lainnya pun beranggapan sama. Menurutnya, setiap kali ada masalah, mahasiswa mestinya menggunakan otak bukan emosinya. (*)
Komentar
Posting Komentar