Barzanji dan Budaya Makassar
Barzanji dan Maulid, Simbol Kecintaan Pada Rasulullah
TERLEPAS dari perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hukum membaca barzanji, namun jika merujuk histori, maka kitab ini lahir dari semangat untuk menumbuhkan kecintaan kepada Nabi dan Rasul Allah, Muhammad Saw.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, barzanji diartikan sebagai bacaan puji-pujian yangg berisi riwayat Nabi Muhammad Saw dan secara khusus sering dibacakan pada perayaan Maulid (peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad). Kitab barzanji mulai dikenal karena dulu pernah digelar sayembara penulisan sejarah kerasulan.
Berzanji diambil dari nama pengarangnya yaitu Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim kelahiran Medinah pada 1690 dan meninggal tahun 1766. Barzanji sendiri berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan yang bernama Barzinj.
Dalam sejarah, awalnya kitab ini dikenal dengan judul Iqd al-Jawahir yang berarti kalung permata. Kitab ini disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. Namun dalam perjalanannya, kitab ini lebih banyak disebut dengan menggunakan nama penulisnya.
Akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr HM Arfah Shidiq MA, mengatakan, barzanji merupakan kitab sejarah yang posisinya tidak sama dengan Alquran atau hadis nabi.
Barzanji mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad, baik keluarga, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul.
"Kenapa banyak umat Islam membacanya, karena di dalamnya banyak salawat (doa keselamatan atas Nabi Muhammad, red)," ujar Arfah kepada penulis.
Arfah mengatakan, dalam suatu riwayat hadis disebutkan bahwa siapa yang bersalawat kepada Nabi Muhammad satu kali, maka Allah juga akan bersalawat 10 kali kepadanya. Selain itu, jika ada umat Islam yang mendengar nama Rasulullah disebut lantas tidak bersalawat, maka ia masuk kategori kikir.
Atas alasan ini sehingga barzanji terus dilestarikan di tengah-tengah masyarakat. Malah sebagian diakulturasi dengan kebudayaan lokal untuk menegaskan kecintaan terhadap Rasulullah. Barazanji ini pula yang mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
"Jadi barzanji itu sama dengan kitab-kitab sejarah lainnya. Bedanya, ini khusus sejarah tentang Rasulullah," imbuh pria yang juga pengurus NU Sulsel ini.
Menurutnya, membaca sejarah tak harus disebut perbuatan bidah. Arfah dengan tegas menolaknya bahwa barzanji disamakan dengan bidah. Alasannya, membaca sejarah tidak boleh dihakimi seperti itu, bahkan sejarah tokoh-tokoh dunia pun boleh dibaca.
Ia mengatakan, barzanji sudah mulai dimasyarakatkan. Kitab ini sudah mulai ditransliterasi ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, bahkan bahasa daerah. Namun Arfah juga menyayangkan jika ada sebagian orang Islam yang menggap membaca barzanji hukumnya wajib. Menurutnya, keyakinan seperti itu sudah keliru.
Barzanji dihadirkan dalam beberapa kegiatan kebudayaan, misalnya pesta pernikahan, maulid, dan sebagainya, hanya untuk mengisi acara itu dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Lebih baik membaca barzanji ketimbang hanya cerita-cerita biasa yang tiada guna.
Khusus untuk maulid yang kerap digelar dalam bentuk acara, menurut Arfah, hal itu juga bukan masalah, kendati ulama memang berbeda pendapat. Namun menurutnya, maulid bukanlah ibadah mahdah (wajib), sehingga tak ada masalah digelar sepanjang akidah tetap murni kepada Allah. Waktu peringatan maulid juga tidak harus di hari yang sama, yakni 12 Rabiul Awal, alias bisa kapan saja.
Sementara itu, akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Prof Dr Ali Parman MA, mengatakan, barzanji merupakan nama orang yang membuat kitab yang bercerita tentang perjuangan Rasulullah Saw. Di Indonesia, barzanji ini lantas dijadikan tradisi, misalnya ketika ada acara pengantin.
Menurutnya, begitu banyak orang tua yang hapal kitab barzanji. Sepanjang hanya untuk dibaca sebagai bahan refleksi perjuangan Rasulullah serta untuk menambah pengetahuan, maka barzanji justru sangat bagus dibaca.
"Sebenarnya isinya bagus. Hanya kalau dibawa ke ritual-ritual, itu yang bisa salah sasaran," katanya.
Terkait peringatan maulid di Takalar (Maudu Lompoa ri Cikoang), menurut Ali Parman, sebetulnya tak ada masalah andai keyakinan dan akidah yang melakukannya lurus dan murni untuk Allah Swt. Sayang, justru ada keyakinan yang menyebutkan bahwa lebih penting maulid ketimbang salat.
"Masalahnya sudah dijadikan teologi. Ada keyakinan yang mengatakan, biar tidak salat, yang penting ma'maudu, maka masuk juga surga. Ini yang tidak benar," imbuh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar ini.
Kalau sekadar dibaca, maka barzanji justru tidak ada masalah karena itu hanya sebuah buku sejarah. Sepanjang niat untuk belajar, maka itu dibolehkan membacanya. Yang salah jika sudah ada keyakinan lain ketika membacanya. Tidak boleh begitu mengidolakan penulisnya, Barzanji, lantas kitabnya dijadikan aliran teologi.
(***)
TERLEPAS dari perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hukum membaca barzanji, namun jika merujuk histori, maka kitab ini lahir dari semangat untuk menumbuhkan kecintaan kepada Nabi dan Rasul Allah, Muhammad Saw.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, barzanji diartikan sebagai bacaan puji-pujian yangg berisi riwayat Nabi Muhammad Saw dan secara khusus sering dibacakan pada perayaan Maulid (peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad). Kitab barzanji mulai dikenal karena dulu pernah digelar sayembara penulisan sejarah kerasulan.
Berzanji diambil dari nama pengarangnya yaitu Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim kelahiran Medinah pada 1690 dan meninggal tahun 1766. Barzanji sendiri berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan yang bernama Barzinj.
Dalam sejarah, awalnya kitab ini dikenal dengan judul Iqd al-Jawahir yang berarti kalung permata. Kitab ini disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. Namun dalam perjalanannya, kitab ini lebih banyak disebut dengan menggunakan nama penulisnya.
Akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr HM Arfah Shidiq MA, mengatakan, barzanji merupakan kitab sejarah yang posisinya tidak sama dengan Alquran atau hadis nabi.
Barzanji mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad, baik keluarga, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul.
"Kenapa banyak umat Islam membacanya, karena di dalamnya banyak salawat (doa keselamatan atas Nabi Muhammad, red)," ujar Arfah kepada penulis.
Arfah mengatakan, dalam suatu riwayat hadis disebutkan bahwa siapa yang bersalawat kepada Nabi Muhammad satu kali, maka Allah juga akan bersalawat 10 kali kepadanya. Selain itu, jika ada umat Islam yang mendengar nama Rasulullah disebut lantas tidak bersalawat, maka ia masuk kategori kikir.
Atas alasan ini sehingga barzanji terus dilestarikan di tengah-tengah masyarakat. Malah sebagian diakulturasi dengan kebudayaan lokal untuk menegaskan kecintaan terhadap Rasulullah. Barazanji ini pula yang mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
"Jadi barzanji itu sama dengan kitab-kitab sejarah lainnya. Bedanya, ini khusus sejarah tentang Rasulullah," imbuh pria yang juga pengurus NU Sulsel ini.
Menurutnya, membaca sejarah tak harus disebut perbuatan bidah. Arfah dengan tegas menolaknya bahwa barzanji disamakan dengan bidah. Alasannya, membaca sejarah tidak boleh dihakimi seperti itu, bahkan sejarah tokoh-tokoh dunia pun boleh dibaca.
Ia mengatakan, barzanji sudah mulai dimasyarakatkan. Kitab ini sudah mulai ditransliterasi ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, bahkan bahasa daerah. Namun Arfah juga menyayangkan jika ada sebagian orang Islam yang menggap membaca barzanji hukumnya wajib. Menurutnya, keyakinan seperti itu sudah keliru.
Barzanji dihadirkan dalam beberapa kegiatan kebudayaan, misalnya pesta pernikahan, maulid, dan sebagainya, hanya untuk mengisi acara itu dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Lebih baik membaca barzanji ketimbang hanya cerita-cerita biasa yang tiada guna.
Khusus untuk maulid yang kerap digelar dalam bentuk acara, menurut Arfah, hal itu juga bukan masalah, kendati ulama memang berbeda pendapat. Namun menurutnya, maulid bukanlah ibadah mahdah (wajib), sehingga tak ada masalah digelar sepanjang akidah tetap murni kepada Allah. Waktu peringatan maulid juga tidak harus di hari yang sama, yakni 12 Rabiul Awal, alias bisa kapan saja.
Sementara itu, akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Prof Dr Ali Parman MA, mengatakan, barzanji merupakan nama orang yang membuat kitab yang bercerita tentang perjuangan Rasulullah Saw. Di Indonesia, barzanji ini lantas dijadikan tradisi, misalnya ketika ada acara pengantin.
Menurutnya, begitu banyak orang tua yang hapal kitab barzanji. Sepanjang hanya untuk dibaca sebagai bahan refleksi perjuangan Rasulullah serta untuk menambah pengetahuan, maka barzanji justru sangat bagus dibaca.
"Sebenarnya isinya bagus. Hanya kalau dibawa ke ritual-ritual, itu yang bisa salah sasaran," katanya.
Terkait peringatan maulid di Takalar (Maudu Lompoa ri Cikoang), menurut Ali Parman, sebetulnya tak ada masalah andai keyakinan dan akidah yang melakukannya lurus dan murni untuk Allah Swt. Sayang, justru ada keyakinan yang menyebutkan bahwa lebih penting maulid ketimbang salat.
"Masalahnya sudah dijadikan teologi. Ada keyakinan yang mengatakan, biar tidak salat, yang penting ma'maudu, maka masuk juga surga. Ini yang tidak benar," imbuh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar ini.
Kalau sekadar dibaca, maka barzanji justru tidak ada masalah karena itu hanya sebuah buku sejarah. Sepanjang niat untuk belajar, maka itu dibolehkan membacanya. Yang salah jika sudah ada keyakinan lain ketika membacanya. Tidak boleh begitu mengidolakan penulisnya, Barzanji, lantas kitabnya dijadikan aliran teologi.
(***)
Komentar
Posting Komentar