Diskusi AJI Tentang Kesejahteraan Pekerja Pers
*Jurnalis, antara Industri dan Profesi

Diskusi tentang kesejahteraan pekerja pers dianggap tak pernah selesai. Kesannya pun lebih berkonotasi negatif. Karena seolah-olah hanya mengeluh, ingin dikasihani.

RIDWAN MARZUKI
Jalan Sultan Alauddin

Entah sudah berapa banyak diskusi yang membahas kejahteraan pekerja pers. Temanya pun dinilai terjebak pada lingkaran relasi antara pemilik media dan pekerja media atau wartawan. Padahal, mestinya diskusi tentang kesejahteraan pekerja pers saatnya dibahas lebih maju.

Bukan saatnya lagi wartawan mengeluh pada nominal upah yang diperolehnya. Terobosan baru menjadi penting untuk ditemukan sebagai solusi mengatasi kesenjangan ekonomi pekerja pers. Di antaranya, pekerja pers bisa menjadi enterpreneur. Tepatnya disebut wartawan enterpreneur.

Masalah tentang kesejahteraan pekerja pers ini dibahas dalam diskusi yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, di Cafe STIE Nobel, Kamis, 29 April. Diskusi ini mengangkat tema, Kesejahteraan Pekerja Pers di Tengah Perkembangan Industri Media.

Hadir sebagai pembicara antara lain, Syarif Amir dari Tribun Timur, Yusuf AR dari Harian Fajar, Ansar Manrulu dari Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Sulsel, serta Mulyadi Mau dari akademisi dan praktisi media.

Dalam pemaparannya, Syarif Amir menilai jika perkembangan media pascaorde baru cukup signifikan. Hal itu lalu melahirkan konglomerasi media. Dulu, kata dia, sebuah media hanya identik surat kabar. Tetapi sekarang sudah meluas. Satu media kadang memiliki televisi sekaligus radio.

Terkait dengan pengupahan, lanjut Syarif, hal itu sangat tergntung dengan kemampuan dari media tersebut. Semakin mapan sebuah media, maka semakin mampu mengupah lebih tinggi. "Untuk media-media yang sudah mapan karena laba yang cukup signifikan, biasanya reward kesejahteraan wartawannya berbanding lurus," kata Syarif.

Lain lagi dengan Muhammad Yusuf AR. Menurutnya, tema yang diangkat oleh AJI seolah-olah gugatan kepada pemilik media. Jika ingin kaya, kata dia, jangan menjadi wartawan. Tetapi jadilah pengusaha. Yang lebih baik, lanjutnya, seorang wartawan juga berprofesi sebagai pengusaha. "kalau mau kaya jadilah wartawan pengusaha tanpa meninggalkan profesi sebagai wartawan," ungkap Yusuf.

Hanya saja jika menjadi enterpreneur, maka hal tersebut akan mengantar jurnalis berada pada wilayah abu-abu. Tetapi menurutnya, menjadi wartawan enterpreneur itu memungkinkan. "Sangat bisa. Itu sangat memungkinkan. Tetapi lebih baik lagi kalau kita bercita-cita menjadi pengusaha media," imbuh dia.
Soal upah, Yusuf menganggap jika nominal yang jadi ukuran, maka itu tak pernah cukup. Ia mencontohkan, jika dulu gaji satu juta malah sudah bisa ber-HP. Artinya, gaji Rp sejuta pun ternyata mencukupi. Tetapi setelah gaji naik melebihi satu juta, kita merasa belum juga cukup. Makanya yang terpenting adalah wartawan tercukupi kebutuhan dasarnya. Makanya, yang patut diperjuangkan adalah pemerataan kesejahteraan antarpekerja pers.

Persamaan persepsi antara wartawan dengan pemilik media juga penting. Itu untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak. Wartawan juga jangan cuma menuntut kesehteraan sementara melupakan kapabilitasnya. Wartawan dituntut untuk selalu meningkatkan kompetensinya.

Yusuf mengklasifikasikan wartawan dalam dua kutub. Satu sisi wartawan berada dalam industri media, di sisi lain memiliki peran profesional. Sebagai karyawan dalam perusahaan, posisi wartawan sama dengan buruh. Tetapi dalam peran wartawan sebagai profesi, maka wartawan dituntut untuk memiliki kompetensi. Wartawan dituntut untuk lebih profesional.

Sementara itu, Ansar Manralulu dalam pemaparannya menilai jika buruh dengan pekerja pers memiliki kesamaan. Walaupun ada spesifikasi yang dimiliki oleh pekerja pers atau jurnalis. "Walaupun ada spesifikasi bagi jurnalis, tetapi pada umumnya sama dengan buruh," tegas dia.

Persamaan tersebut, lanjut Ansar, misalnya pada adanya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), tingkat kesejahteraan, serta perlindungan kerja. Hal tesebut dalam kaitannya media sebagai industri. Menurutnya, sekitar 70 persen wartawan, gajinya masih di bawah upah minimum provinsi (UMP). "Makanya dari pemerintah harus ada standar upah untuk pekerja media," ungkapnya.

Selain itu kesejahteraan pekerja pers juga harus diperhatikan oleh perusahaan media. Bentuknya bisa berupa kepemilikan saham bersama atau pembagian hasil atau laba dari perusahaan. Di sinilah signifikansi adanya serikat kerja. "Serikat pekerja bukan cuma berkaitan dengan kesejahteraan, tetapi juga berhubungan dengan penguatan kapasitas (buru, red)," tambahnya.

Ansar juga menekankan perlu adanya keterwakilan pekerja pers dalam dewan pengupahan. Ini bertujuan untuk memperjuangkan standar upah sektoral untuk pekerja media.
Pembiacara selanjutnya, Mulyadi Mau, menjelaskan jika peran media atau pers itu mengalami perluasan arti dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Sebelumnya pers memiliki fungsi pendidikan, sosial, dan kontrol. Tetapi dalam undang-undang tersebut peran pers bertambah, yaitu fungsi industri.

Oleh karena itu, wartawan memiliki dua peran sekaligus. Yakni, wartawan sebagai pekerja industri dan sebagai pekerja sosial atau profesi. Sebagai pekerja industri, maka acuanya adalah UU perburuhan. Sedangkan fungsi sosial, maka acuannya adalah profesionalisme. Mulyadi menyebut fungsi jurnalis dengan economic profit dan social profit. "Jadi posisi jurnalis tidak betul-betul sama dengan buruh," kata dia.

Jurnalis sebagai pekerja profesional, diikat oleh UU Pers dan etika jurnalistik. Gaji jurnalis berhubungan dengan industri. Sedangkan tunjangan jurnalis berhubungan dengan profesi. "Ketika ia (jurnalis, red) memenuhi syarat-syarat profesional, maka ia berhak mendapatkan tunjangan fungsional," imbuh Mulyadi. Makanya, profesionalitas juga mesti ditakar untuk menuntut gaji yang tinggi.

Jurnalis, lanjut Mulyadi, juga dituntut untuk meningkatkan pendidikan dan pengetahuannya. Ini untuk meningkatkan keprofesionalannya. Menurut dia, profesional itu orientasinya kemanusiaan. Wartawan tidak dituntut karena kerja-kerja industri. Tetapi dibayar mahal karena fungsi kemanusiaannya.
Mulyadi juga mengemukakan jika menekankan pentingnya upah kepada pekerja pers. Sebaiknya, kata dia, 30 persen dari ongkos produksi media diberikan kepada pekerja pers. Lalu, setiap tahun idealnya, gaji juga naik karena faktor inflasi.

Seorang peserta diskusi, Mukhtar, juga ikut memberi saran. Menurutnya, kesejahteraan itu merupakan persoalan belakangan. Yang paling penting, lanjut dia, adalah terjaminnya kepastian kerja terlebih dulu. Itu karena tingginya gaji belum menjadi jaminan bekerja. Pekerja pers bisa saja di-PHK secara tiba-tiba. "Makanya harus ada serikat kerja dalam perusahaan media," kata dia.

Serikat kerja, lanjut dia, merupakan wadah untuk melakukan diskusi dengan pemilik perusahaan. Tujuannya agar pekerja pers juga memilik bargaining position dalam perusahaan tersebut. (zuk)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan