Dari Lokakarya ICMC Tentang Perdagangan Orang
*Polisi, Jaksa, dan Hakim Kurang Memahami UU No. 21/2007
MAKASSAR--Tindak kejahatan perdagangan orang (human trafficking) terus saja terjadi. Korbannya dominan perempuan dan anak-anak. Mereka diperdagangkan layaknya binatang dan barang dagangan lainnya. Padahal undang-undang terkait sudah banyak yang mengatur. Salah satu diantaranya adalah UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Kejahatan perdagangan orang ini bisa juga disebut sebagai perbudakan zaman modern atau the form of modern day slavery. Masalah ini tidak hanya menjadi perhatian di Indonesia tetapi mendapat perhatian serius dibeberapa negara, termasuk badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB).
Tetapi sayang, dalam penegakan hukumnya di Indonesia, seringkali aparat penegak hukum kurang memahami UU Nomor 21 Tahun 2007 tersebut. Mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim. Tak jarang terjadi salah penafsiran antara ketiga institusi tersebut. Sehingga, mengakibatkan kasus-kasus yang berkaitan dengan human trafficking, tidak tertangani dengan baik. Malah beberapa kasus, tersangkanya bebas padahal barang bukti dan saksi mencukupi.
Masalah perdagangan orang dan substansi UU Nomor 21 Tahun 2007 ini dibahas dalam lokakarya yang digelar oleh International Catholic Migration Commission (ICMC) Indonesia. Lokakarya ini digelar di Hotel Sahid Jaya, 28-29 April.
Hadir menjadi pembicara pada lokakarya tersebut antara lain dari program manager ICMC Jakarta, Sally Kailola. Lalu ada juga kepala unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) Polda Sulsel, Kompol Hj Jamilah. Selanjutnya, key note speech disampaikan oleh aspidum Kajati Sulsel, Djoko Widodo SH, dan pelaksana tugas wadir reskrim Polda Sulsel yang juga kabag analisis, AKBP Drs Miyanto SH.
Menurut Djoko Widodo, praktik perdagangan orang dilakukan dengan berbagai cara. Korban biasanya diperdagangkan dengan cara dipaksa, disekap, dijerat dengan utang, ditipu, dibujuk rayu, atau diming-imingi. Hal seperti ini bukan saja terjadi dalam negeri, tetapi korban kadang kala dikirim ke luar negeri.
Para anak dan perempuan ini lalu dieksploitasi dan dilacurkan. Termasuk dieksplotasi seksual phedofilia bagi anak-anak. Mereka juga digunakan dalam bisnis prostitusi baik di jalan, bar, rumah bordil, tempat pijat, dan sauna. Ada juga yang dipekerjakan sebagai buruh migran di perkebunan dan pabrik, restoran, atau pekerja rumah tangga. Mereka juga kerap dipakai dalam industri pornografi dan pengedaran obat terlarang.
Kebanyakan yang menjadi korban adalah perempuan dan anak yang berasal dari desa. "Mereka dijanjikan pekerjaan, lalu dibawa ke luar negeri. Modusnya, mereka mencari korban di desa. Kejahatan ini lintas negara atau trans-national crime," ungkap Djoko.
Sebetulnya, lanjut Djoko, sudah banyak undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan perempuan. Di KUHP, ada pasal 297 tentang larangan memperdagangkan perempuan dan laki-laki yang belum dewasa. Lalu pasal 324 tentang larangan memperniagakan budak belian. Selain itu, ada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Sealnjutnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT dan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
Tetapi undang-undang tersebut dianggap belum paripurna. KUHP dan peraturan perndang-undangan lainnya tidak merumuskan pengertian trafficking manusia secara tegas dan lengkap serta sanksi yang ringan. Oleh karena itu UU Nomor 21 Tahun 2007 diaggap lebih memadai.
Selain itu, ancaman pidanya lebih berat karena ancaman penjara dan denda bisa diterapkan sekaligus. Undang-undang itu juga menetapkan batas minimum khusus dari sanksi pidana yang dijatuhkan dalam putusan hakim. Yaitu, minimal penjara tiga tahun dan denda Rp 120 juta.
Walaupun dalam proses perekrutan korban setuju, tetapi itu tidak menghilangkan tuntutan pidana kepada pelaku perdagangan orang. Alat buktinya juga bisa berupa informasi yang diucapkan, dilihat, didengar, dibaca seperti data dan rekaman. Bisa juga berupa foto, huruf, tanda, dan angka atau simbol yang memiliki makna. Keterangan satu saksi juga sudah bisa membuktikan terdakwa.
Sementara itu, Miyanto dalam sambutannya menjelaskan, UU Nomor 21 Tahun 2007 ini memberi keleluasaan kepada penyidik. Di antaranya kewenangan untuk melakukan penyadapan. Ia mengapresiasi lokakarya ini. "Jadi kita berharap lokakarya ini bisa meningkatkan kapasitas penyidik," kata dia.
Di Sulsel sendiri, lanjut Miyanto, korban trafficking manusia sepanjang 2007 hingga 2010, mencapai 73 orang. Beberapa di antaranya merupakan anak-anak dibawa umur. Sementara jumlah tersangkanya mencapai 28 orang.
Jamilah dalam pemaparan materinya menjelaskan beberapa penyebab terjadinya trafficking manusia. Kemiskinan dianggap sebagai faktor utama seseorang diperdagangkan. Lalu, faktor budaya juga mempengaruhi, seperti kawin muda, mencari pekerjaan, dan life-style. Pendidikan yang rendah juga dinilai sebagai salah satu penyebab.
Menurut Jamilah, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) swasta paling berkontribusi dalam perdagangan manusia tersebut. Utamanya PJTKI yang ilegal. Sehingga, lanjut dia, perusahaan penyalur tenaga kerja harus diawasi ketat.
Beberapa bentuk eksploitasi, utamanya kepada perempuan dan anak yang sering terjadi di antaranya dijadikan pekerja seksual. Dipekerjakan melebihi batas waktu dan gaji tidak dibayar. Kadang juga dijadikan penari erotis.
Salah seorang peserta lokakarya dari LBH Apik, Sri Wahyuningsih, menyoroti proses hukum bagi pelaku perdagangan orang. Menurutnya, sejak awal penyidikan perkara, restitusi atau ganti rugi sudah harus ditekankan. Karena kadang-kadang hakim tidak memperhatikan hal itu dalam persidangan.(*)
*Polisi, Jaksa, dan Hakim Kurang Memahami UU No. 21/2007
MAKASSAR--Tindak kejahatan perdagangan orang (human trafficking) terus saja terjadi. Korbannya dominan perempuan dan anak-anak. Mereka diperdagangkan layaknya binatang dan barang dagangan lainnya. Padahal undang-undang terkait sudah banyak yang mengatur. Salah satu diantaranya adalah UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Kejahatan perdagangan orang ini bisa juga disebut sebagai perbudakan zaman modern atau the form of modern day slavery. Masalah ini tidak hanya menjadi perhatian di Indonesia tetapi mendapat perhatian serius dibeberapa negara, termasuk badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB).
Tetapi sayang, dalam penegakan hukumnya di Indonesia, seringkali aparat penegak hukum kurang memahami UU Nomor 21 Tahun 2007 tersebut. Mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim. Tak jarang terjadi salah penafsiran antara ketiga institusi tersebut. Sehingga, mengakibatkan kasus-kasus yang berkaitan dengan human trafficking, tidak tertangani dengan baik. Malah beberapa kasus, tersangkanya bebas padahal barang bukti dan saksi mencukupi.
Masalah perdagangan orang dan substansi UU Nomor 21 Tahun 2007 ini dibahas dalam lokakarya yang digelar oleh International Catholic Migration Commission (ICMC) Indonesia. Lokakarya ini digelar di Hotel Sahid Jaya, 28-29 April.
Hadir menjadi pembicara pada lokakarya tersebut antara lain dari program manager ICMC Jakarta, Sally Kailola. Lalu ada juga kepala unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) Polda Sulsel, Kompol Hj Jamilah. Selanjutnya, key note speech disampaikan oleh aspidum Kajati Sulsel, Djoko Widodo SH, dan pelaksana tugas wadir reskrim Polda Sulsel yang juga kabag analisis, AKBP Drs Miyanto SH.
Menurut Djoko Widodo, praktik perdagangan orang dilakukan dengan berbagai cara. Korban biasanya diperdagangkan dengan cara dipaksa, disekap, dijerat dengan utang, ditipu, dibujuk rayu, atau diming-imingi. Hal seperti ini bukan saja terjadi dalam negeri, tetapi korban kadang kala dikirim ke luar negeri.
Para anak dan perempuan ini lalu dieksploitasi dan dilacurkan. Termasuk dieksplotasi seksual phedofilia bagi anak-anak. Mereka juga digunakan dalam bisnis prostitusi baik di jalan, bar, rumah bordil, tempat pijat, dan sauna. Ada juga yang dipekerjakan sebagai buruh migran di perkebunan dan pabrik, restoran, atau pekerja rumah tangga. Mereka juga kerap dipakai dalam industri pornografi dan pengedaran obat terlarang.
Kebanyakan yang menjadi korban adalah perempuan dan anak yang berasal dari desa. "Mereka dijanjikan pekerjaan, lalu dibawa ke luar negeri. Modusnya, mereka mencari korban di desa. Kejahatan ini lintas negara atau trans-national crime," ungkap Djoko.
Sebetulnya, lanjut Djoko, sudah banyak undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan perempuan. Di KUHP, ada pasal 297 tentang larangan memperdagangkan perempuan dan laki-laki yang belum dewasa. Lalu pasal 324 tentang larangan memperniagakan budak belian. Selain itu, ada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Sealnjutnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT dan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
Tetapi undang-undang tersebut dianggap belum paripurna. KUHP dan peraturan perndang-undangan lainnya tidak merumuskan pengertian trafficking manusia secara tegas dan lengkap serta sanksi yang ringan. Oleh karena itu UU Nomor 21 Tahun 2007 diaggap lebih memadai.
Selain itu, ancaman pidanya lebih berat karena ancaman penjara dan denda bisa diterapkan sekaligus. Undang-undang itu juga menetapkan batas minimum khusus dari sanksi pidana yang dijatuhkan dalam putusan hakim. Yaitu, minimal penjara tiga tahun dan denda Rp 120 juta.
Walaupun dalam proses perekrutan korban setuju, tetapi itu tidak menghilangkan tuntutan pidana kepada pelaku perdagangan orang. Alat buktinya juga bisa berupa informasi yang diucapkan, dilihat, didengar, dibaca seperti data dan rekaman. Bisa juga berupa foto, huruf, tanda, dan angka atau simbol yang memiliki makna. Keterangan satu saksi juga sudah bisa membuktikan terdakwa.
Sementara itu, Miyanto dalam sambutannya menjelaskan, UU Nomor 21 Tahun 2007 ini memberi keleluasaan kepada penyidik. Di antaranya kewenangan untuk melakukan penyadapan. Ia mengapresiasi lokakarya ini. "Jadi kita berharap lokakarya ini bisa meningkatkan kapasitas penyidik," kata dia.
Di Sulsel sendiri, lanjut Miyanto, korban trafficking manusia sepanjang 2007 hingga 2010, mencapai 73 orang. Beberapa di antaranya merupakan anak-anak dibawa umur. Sementara jumlah tersangkanya mencapai 28 orang.
Jamilah dalam pemaparan materinya menjelaskan beberapa penyebab terjadinya trafficking manusia. Kemiskinan dianggap sebagai faktor utama seseorang diperdagangkan. Lalu, faktor budaya juga mempengaruhi, seperti kawin muda, mencari pekerjaan, dan life-style. Pendidikan yang rendah juga dinilai sebagai salah satu penyebab.
Menurut Jamilah, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) swasta paling berkontribusi dalam perdagangan manusia tersebut. Utamanya PJTKI yang ilegal. Sehingga, lanjut dia, perusahaan penyalur tenaga kerja harus diawasi ketat.
Beberapa bentuk eksploitasi, utamanya kepada perempuan dan anak yang sering terjadi di antaranya dijadikan pekerja seksual. Dipekerjakan melebihi batas waktu dan gaji tidak dibayar. Kadang juga dijadikan penari erotis.
Salah seorang peserta lokakarya dari LBH Apik, Sri Wahyuningsih, menyoroti proses hukum bagi pelaku perdagangan orang. Menurutnya, sejak awal penyidikan perkara, restitusi atau ganti rugi sudah harus ditekankan. Karena kadang-kadang hakim tidak memperhatikan hal itu dalam persidangan.(*)
Komentar
Posting Komentar