Miris, Inilah Kisah Perjuangan Guru di Pulau Terpencil (2-Selesai)
Tiga Kali Ganti Mesin Perahu, Pemerintah Terkesan Acuh
KENDATI tak mendapatkan support dari pemerintah, para guru ini tak pernah patah arang. Mereka patungan membeli perahu.
RIDWAN MARZUKI
Pangkep
CERITA tentang guru apung ini memang memiriskan. Pengabdian mereka untuk dunia pendidikan, khususnya untuk wilayah pesisir dan kepulauan, tak dihargai sepadan oleh pemerintah. Setiap kali mesin perahu mereka rusak, para guru ini harus berkongsi atau patungan uang untuk membeli mesin baru.
Perahu jolloro yang mereka pakai dari Pangkajene ke Pulau Pandang Lau, ini sudah dua kali berganti nama. Dulu, mereka menamainya Ayu Tinting saat penyanyi Ayu Tingting mulai naik daun dengan lagu Alamat Palsu-nya. Belakangan baru diganti lagi menjadi Gunung Jati saat diservis dan catnya diperbaharui.
Perahu ini juga sudah tiga kali ganti mesin dengan tetap menggunakan badan perahu sebelumnya. Anggaran pembelian mesin bari didapatkan dari swadaya mereka sendiri. Kini, mesin ketiga juga sudah mulai bermasalah. Butuh waktu dan tenaga ekstra setiap kali hendak di-starter atau dinyalakan. Jika pun menyala, suara mesinnya begitu bising dan kasar. Tak bisa lagi dipaksakan, terutama ketika kecepatannya ingin dikebut.
Jolloro tersebut sudah sangat tak layak dipakai, namun tak kunjung ada perhatian dari pemerintah. Selain membeli perahu, para guru ini juga patungan membeli bahan bakar minyak (BBM) berupa solar. Tak ada anggaran dari dinas pendidikan untuk operasional perahu mereka. Jadi selain harus membeli perahu, mengganti mesin, bahkan BBM yang dipakai pun menggunakan uang saku mereka sendiri sebab tak ada bantuan dari pemerintah.
Pun demikian, para guru pemberani ini masih tetap bersyukur di tengah ironi dunia pendidikan. Dengan menggunakan perahu sendiri, biaya operasional tidak sebesar dibandingkan menggunakan perahu komersial. Jika menggunakan perahu operasional, pada 2008 saja, tarifnya Rp40 ribu sekali jalan. Artinya butuh Rp80 ribu PP. Itu tarif tujuh tahun lalu. Kini, nominal tarifnya telah naik berkali lipat.
Nama-nama guru yang mengajar SDN 57 Pandang Lau dan setiap hari naik perahu menuju dan balik sekolah yakni Iqbal (guru penjaskes), Jamaluddin (guru kelas IV), Naima Yuniwati (guru kelas VI), Taufan Muin (guru kelas V), Rifay (guru kelas III), Erniwati (guru kelas II), Siti Atifah (guru kelas I), Rusli (guru agama), Rahmawati (guru muatan lokal), dan Mukhtar (guruPendais) namun baru saja pindah mengajar ke tempat lain.
Saat hujan datang, apalagi jika terjadi badai, kerap mereka harus menunggu situasi aman baru berangkat atau meninggalkan sekolah. Ini untuk mengantisipasi terjangan ombak, terutama di sekitar Pandang Lau yang berbatasan langsung dengan laut lepas. Namun kondisi apapun yang terjadi, para murid tak boleh diabaikan. Mereka mengupayakan semua cara agar bisa sampai ke sekolah.
"Pakai jas hujan di atas perahu kalau hujan. Kita stand by-kan jas hujan," ujar Rifay, salah seorang guru SDN 57 Pandang Lau saat FAJAR ikut menumpang di atas perahu mereka.
Perahu yang mereka pakai bermesin 10 PK. Sebenarnya sudah sangat tidak layak. Sekeliling mesin sudah karatan dan menghitam. Butuh beberapa kali starter baru bisa menyala. Belum lagi badan perahu yang sudah lapuk. Rencananya, mereka akan meminta bantuan pemerintah lagi.
Namun jika permohonan tak juga direspons, maka mereka akan kembali menabung dengan menyisihkan gaji yang mereka terima untuk membeli perahu baru yang lebih layak. Rata-rata,guru ini harus bolak-balik Pangkajene-Pandang Lau sebab mereka memiliki keluarga dan anak yang telah bersekolah. Tak ada SMP dan SMA di Pandang Lau.
Naima, misalnya. Dia punya dua anak yang saat ini sudah di duduk di SMP dan SMA. Kenyataan ini yang mengharuskannya bolak-balik. Lagipula, kendati di Pandang Lau ada mes guru, namun sangat jauh dari layak. Dua unit mes guru tersebut ukurannya sangat kecil kira-kira 5x4 meter berlantai tanah, dan seluruh dindingnya telah keropos. Lubang di mana-mana dan hampir ambruk. Belum lagi susahnya air bersih di pulau ini dan listrik di pulau ini.
Saat Gunung Jati telah bersandar, di gerbang sekolah, murid-murid menunggu kemudian menyambut. Bergiliran mereka menyalami para guru. Punggung tangan para guru ini dicium oleh para murid. Suasananya sangat menenteramkan melihat bocah-bocah masa depan pulau yang menjadi tumpuan harapan mengangkat daerah mereka dari kubangan kemiskinan. Selanjutnya, mereka secara teratur masuk ke dalam kelas. Setelah membaca doa, pelajaran dimulai.
Tak begitu banyak alat peraga di sekolah ini. Peralatan mengajar juga seadanya. Tak ada perpustakaan lengkap, apalagi laboratorium. Sebetulnya, SDN 57 Pandang Lau dua tahun lalu mendapatkan bantuan renovasi. Lantainya telah ditegel. Model bangunannya berbentuk huruf L. Namun itu tak maksimal. Tak ada fasilitas bermain karena ketiadaan lapangan. Lahan kosong depan sekolah dijadikan kolam penampungan air hujan oleh warga setempat.
Setiap hari, tinja kambing terlihat berserakan di ubin sekolah. Warga yang memasukkan kambing ke situ. Di sekolah ini juga tak ada listrik meski ada komputer sebagai inventaris sekolah. Di Pandang Lau, warga belum menikmati layanan PLN. Mereka memanfaatkan genset umum yang hanya menyala tiga jam sehari, pukul 18.00-21.00.
Sebetulnya ada genset kecil di kantor sekolah. Ini digunakan untuk menyalakan komputer. Hanya saja, karena minimnya anggaran operasional genset dengan peak power 1000 W, sehingga para guru terkesan jarang memanfaatkannya. Jumlah murid di sekolah ini hanya 50-an orang.
Tokoh masyarakat Pandang Lau, H Sampara, juga prihatin dengan kondisi para guru. Ia bahkan berkali-kali mengajukan dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) agar para guru dibantu perahu operasional. Sayang, tak pernah direalisasikan. Pandang Lau dihuni oleh 80-an KK dan terdapat 70-an rumah. Luas areanya mencapai 15.000 meter persegi.
"Penduduk di sini 100 persen nelayan. Cuma air bersih memang tidak ada. Harus beli di luar dengan harga Rp1000 per jerigen diangkut pakai perahu," katanya.
Kepala SDN 57 Pandang Lau, Muh Idris, juga pernah meminta bantuan perahu. Sayang, dinas pendidikan beralasan, tidak ada nomenklatur untuk itu dalam APBD. Jika demikian, apakah selamanya para guru ini akan bertaruh nyawa demi ikut mencerdaskan anak-anak pulau? Tak ada kebijakan lebih humanis untuk membantu mereka? Pemerintah pasti bisa menjawabnya. Selamat Hari Pendidikan Nasional! (*)
Komentar
Posting Komentar