Miris, Inilah Kisah Perjuangan Guru di Pulau Terpencil (1)
Gunakan Perahu Usang, Setiap Hari Menantang Maut
Dedikasi butuh perjuangan, bahkan nyawa pun dipertaruhkan. Inilah risiko yang dihadapi 11guru di Pulau Pandang Lau, Pangkep.
RIDWAN MARZUKI
Pangkep
Dermaga Parang-parang di Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep, masih sepi. Beberapa perahu terlihat masih tertambat. Di antara perahu itu, ada satu perahu yang tampak sangat usang. Mulai lapuk.
Catnya sudah pudar. Awalnya kuning, kini berubah menjadi warga krem. Badan perahu yang terbuat dari kayu berkualitas rendah itu sudah berlubang di beberapa sisi. Bentuknya tak lagi utuh. Kayu-kayu dinding perahu sudah lapuk dan keropos. Banyak bagian yang telah patah. Perahu ini berjenis jolloro, perahu tradisional yang banyak digunakan nelayan Sulsel.
Jolloro yang diberi nama Gunung Jati inilah yang digunakan para guru yang mengajar di SDN 57 Pulau Pandang Lau. Ada 11 guru yang mengajar di sekolah itu. Pandang Lau merupakan nama perkampungan dengan jumlah penduduk tak sampai 500 orang.
Di pulau ini, hanya ada satu sekolah, itupun cuma SD. Minimnya infrastruktur membuat para guru ini harus bolak-balik daratan-pulau setiap hari. Rutin, setiap hari pukul 06.30 Wita, para guru ini telah berkumpul di dermaga. Di situ, ada rumah warga. Para guru saling menunggu di sana. Jika telah lengkap, barulah mereka berangkat. Suasana kebersamaan begitu terasa.
Dalam perjalanan, sesekali muncul suasana tegang. Dengan perahu kecil dan tak lagi normal itu, ada kekhawatiran sewaktu-waktu mesin perahu mati atau bahkan oleng diterjang ombak.
Taufan, salah seorang guru yang berperan menyalakan mesin setiap kali mereka akan berangkat. Ia mulai memutar mesin dengan gagang khusus. Beberapa kali ia berupaya, mesin tak kunjung menyala. Ia memutar gagang tersebut sekuat tenaga, namun tak kunjung menyala.
Keringat mengucur dari dahinya. Baju seragam PNS yang ia kenakan juga mulai dibasahi keringat. Ketiga kali mencoba menyalakan mesin, lagi-lagi gagal. "Mesinnya sudah tua," ujar Naima Yuniwati, guru lainnya, rekan Taufan, kepada penulis yang menyertai perjalanan mereka ke Pandang Lau.
Empat guru perempuan dan dua guru laki-laki penuh harap agar mesin bisa segera hidup.
Kepala sekolah hanya datang mengecek sebelum akhirnya harus balik lagi ke kota karena ada rapat dengan Dinas Pendidikan. Satu lainnya, guru agama, telah pindah. Lalu seorang guru olahraga, memilih menggunakan perahu dari arah Kabupaten Maros.
Karena tak kunjung menyala, Muh Idris, sang kepala sekolah hendak membantu. Dengan sekuat tenaga, ia memutar gagang mesin. Mula-mula pelan-pelan, lalu dipercepat, lantas diputar sangat kencang. Ia tak berhasil. Sesaat ia menarik napas, memperbaiki posisi, lalu mencoba lagi melakukan starter. Sayang, mesin tak kunjung menyala. Peluh terlihat mengucur deras dari keningnya. Ia menyerah.
Taufan mengambil alih kembali gagang. Celana panjang di ujung kaki kirinya dilipat ke atas. Ia memasang kuda-kuda. "Bismillahir rahmani rahim," dia memutar gagang sekuat tenaga. Pada putaran terakhir, mesin mulai "batuk-batuk" lantas menyala. Wajah para guru semringah. Satu per satu mereka naik ke perahu.
Taufan dibantu guru lainnya, Rifay, mulai menjalankan jolloro menyusuri sungai yang di sisi kiri dan kanan ditumbuhi bakau. Semua mengatur posisi. Tak boleh bergerak berlebihan. Jika itu dilanggar, dipastikan perahu akan oleng dan bisa terbalik.
Baik Taufan maupun Rifay, sama-sama memegang kendali. Taufan menyetir dari arah belakang, sementara Rifay di bagian depan memegang kayuh. Mereka berbagi peran sebab dari dermaga sebelum tiba di laut lepas, ukuran sungai sangat sempit. Banyak perahu lalu lalang di situ. Karena bentuknya yang berkelok-kelok, maka haluan belakang harus dibantu di depan.
Beberapa kali, perahu yang digunakan sempat beriringan dan berpapasan dengan perahu dengan nelayan. Pada situasi seperti itu, Taufan yang mengatur kecepatan, akan menurunkan laju. Ini untuk menghindari senggolan atau bahkan tabrakan dengan perahu lain.
Para guru ini terbilang nekat. Dengan kondisi perahu yang sangat mencemaskan terutama karena mesin dan badan perahu yang telah rusak, tentu sangat membahayakan. Sewaktu-waktu bisa terbalik atau bahkan tenggelam sebab kebocoran di dinding samping sudah parah. Kenekatan mereka juga terlihat dengan tidak adanya seorang guru pun yang memakai pelampung.
Demi pengabdian, mereka mempertaruhkan nyawa. Jika sudah berada di atas perahu, hanya pasrah yang bisa mereka lakukan. Hanya tudung kepala yang mereka pakai. Ada yang menggunakan caping, ada juga yang memakai helm untuk mengurangi sengatan matahari saat pulang nanti.
Taufan dan Rifay berkali-kali harus berjuang menghindari pukat-pukat milik warga yang dipasang sebelum sampai ke laut terbuka. Juga selalu waspada menghindari cabang-cabang dan akar-akar bakau yang menjulur keluar. Butuh 20 menit untuk sampai ke laut lepas. Ombak sudah mulai menyergap perahu. Tak satupun yang bersuara. Semuanya memercayakan kepada Taufan dan Rifay.
Kira-kira 40 menit, perahu tiba di dermaga Pandang Lau. Taufan menyandarkan jolloro. Satu per satu naik ke dermaga. Perahu jenis jolloro yang diberi nama Gunung Jati ini usianya telah tua. Dibuat pada 2008 lalu. Tak ada ada perawatan khusus sebab harus ditambatkan di dermaga, sementara mereka tinggal jauh dari lokasi. Perahu ini dibeli oleh para guru SDN 57 Pandang Lau secara swadaya lantaran beberapa kali mengajukan permohonan bantuan ke pemerintah, tak pernah digubris. (*)
http://lingkarstudyrumput.blogspot.co.id/2016/01/miris-inilah-kisah-perjuangan-guru-di_21.html
Baca juga:
BalasHapushttp://lingkarstudyrumput.blogspot.co.id/2016/01/miris-inilah-kisah-perjuangan-guru-di_21.html
Baca juga:
BalasHapushttp://lingkarstudyrumput.blogspot.co.id/2016/01/miris-inilah-kisah-perjuangan-guru-di_21.html