EEES akan Terus Dituntut

MAKASSAR--Masyarakat dan mahasiswa Wajo akan terus menuntut PT Energy Equity Epic Sengkang (EEES) agar merealisasikan janjinya. Janji tersebut terkait dana bagi hasil dan corporate social responsibility (CSR) yang dianggap belum maksimal diimplementasikan oleh EEES.

Dana bagi hasil yang mestinya masuk ke kas daerah sebanyak 12 persen dari laba tak kunjung dipenuhi oleh EEES. Padahal, sudah 13 tahun beroperasi di Wajo. Kehadiran EEES dianggap tidak memiliki kontribusi bagi pembangunan Wajo. Juga tidak memilki pangaruh besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Wajo.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi yang digelar oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Wajo, Kerukunan Keluarga Wajo (KKW), dan Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Wajo (Hipermawa) di Warung Kopi Phoenam, Selasa, 4 April.

Hadir sebagai pembicara, pengurus KKW, Andi Ardiansyah, Sekjen Ikatan Ahli Geologi Indonesia Wilayah Sulseltengbatara, Ir Hartono, dua anggota DPRD Sulsel, Ir Dody Amiruddin dan Affandy Agusman Aris, serta Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Hipermawa, Harmansyah.

Menurut Harmansyah, selama 13 tahun beroperasi, EEES belum menyetor sepersen pun dana bagi hasil untuk pemkab Wajo. Padahal menurutnya, EEES sudah mengalami break event pont yang berarti modal telah kembali. Jika memang perusahaan tersebut merugi, maka tidak akan memperpanjang kontrak untuk beroperasi di Wajo. Kini, dana bagi hasil belum dibayar, muncul lagi biaya-biaya baru, di antaranya, cost recovery.

Terkait keluarnya dari sistem kelistrikan Sulsel, Harmansyah menilai EEES berupaya membangun bargaining atau nilai tawar. Tetapi hal itu, tak akan menghentikan tuntutan dari masyarakat dan mahasiswa Wajo agar EEES merealisasikan kewajibannya. Seperti menuntut EEES agar merealisasikan dana bagi hasil, penerapan maksimal CSR, lisrtrik gratis bagi masyarakat sekitar, dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Dody juga beranggapan sama. Politisi ini menilai jika bisnis energi sangat prospektif. Sebelum memulai berinvestasi di Wajo, EEES sudah melakukan proyeksi dan kalkulasi laba. Waktu operasi selama 13 tahun semestinya sudah bisa membayar royalti kepada pemkab. Termasuk pemberlakuan CSR. "Kontrak kerja sudah terjalin sekian lama. Dan sudah diperpanjang satu kali. Tetapi pemerintah dan masyarakat Wajo tidak pernah menikmati hasilnya," ketus Dody.

Selain itu, lanjut Dody, tidak ada tranparansi keuangan dari EEES. Pemkab Wajo, jelasnya, tidak memiliki wewenang untuk mengaudit EEES. Itu karena kontrak kerjasama dibuat oleh pusat dalam hal ini BP Migas dan Departemen Keuangan. Oleh karena itu, Dody menyarankan agar EEES diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik untuk mengetahui neraca keuangan perusahaan tersebut. Hal tersebut untuk membuktikan sejauh mana kerugiannya jika memang merugi.

Dody juga menduga adanya kontrak rahasia antara pusat dan EEES. Makanya, kata dia, sebaiknya persoalan ini dibawa ke DPR RI karena DPRD Sulsel tidak begitu memiliki wewenang. Selanjutnya DPR RI-lah yang bisa membentuk tim investigasi terkait isi kontrak perpanjangan kerjasama pemerintah-EEES. "Bisa jadi ada kontrak terselubung, yang hanya pusat yang tahu," kata dia.

Sementara itu, Affandy Agusman mengkritik EEES yang seenaknya keluar dari sistem kelistrikan. Padahal yang di rugikan adalah masyarakat banyak. Semestinya, kata dia, EEES meminta izin dulu jika ingin keluar dari sistem. Yang terjadi malah keluar tiba-tiba tanpa minta izin, tetapi begitu mau masuk sistem lagi, EEES meminta izin.

Oleh karena itu, dirinya mendukung elemen masyarakat yang terus mengawal persoalan ini. Kuatirnya masalah ini didiamkan lalu royalti untuk Wajo tak kunjung terealisasi. "Ini harus terus diperjuangkan supaya ada perhatian dari pusat," kata dia.

Ardiansyah juga mengemukakan perlunya masyarakat Wajo terus menggugat hak-haknya dari EEES. Menurutnya, kerugian yang dialami oleh perusahaan tersebut hanya akal-akalan saja. "Kalau mereka mau hengkang, silahkan saja. Tetapi tahan asetnya karena ada royalti yang belum dibayar," tegas dia.

Yang diperjuangkan oleh masyarakat Wajo, lanjut dia, bukanlah menuntut belas kasihan dari EEES, melainkan hak-hak mereka sendiri dari beroperasinya perusahaan tersebut di Wajo. Oleh karena itu, ia mendesak agar secepatnya EEES merealisasikan janjinya.

Hartono lain lagi. Menurutnya, yang harus dipressure adalah pemerintah pusat. Jika hak yang ingin dituntut, maka sasarannya adalah BP migas dan departemen keuangan. Apalagi kontrak kerjasama hanya pusat yang tahu. Pemkab tak dilibatkan sama sekali dalam penrpanjangan kontrak kerjasama tersebut. (zuk)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan