PBHI: Rusuh Makassar Didesain, Polisi Terlibat
MAKASSAR--Kerusuhan yang terjadi di Makassar beberapa hari yang lalu diduga sengaja didesain. Hal tersebut diperkuat oleh banyaknya keganjilan yang terjadi. Demikian yang dikemukakan oleh Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Syamsuddin Radjab terkait hasil investigasi sementaranya atas kasus penyerangan wisma HMI Makassar.
Syamsuddin mensinyalir, warga yang terlibat dalam bentrok dengan mahasiswa adalah peliharaan polisi, seperti preman, residivis, dan anggota organisasi tertentu yang digerakkan. Diduga kuat penyerangan terhadap Wisma HMI, UIN dan UNM dilakukan oleh"warga" yang sama yang telah dikonsolidasikan. Menurutnya, ada oknum intel polsek berinisial AR yang terlibat dalam penyerangan kedua di Wisma HMI. Warga yang ikut menyerang, salah satunya berinisial AG, sebelumnya diberi minuman lalu diangkut ke lokasi. AG merupakan eks residivis.
"Apa yang terjadi di Makassar adalah skenario yang diciptakan untuk rusuh . Ada upaya memperhadap-hadapkan antar mahasiswa dan masyarakat," tuding Syamsuddin, dalam jumpa persnya di Warkop Phoenam, Selasa, 9 Maret.
Dalam hal penanganan unjuk rasa, polisi dinilai masih sangat refresif. "Mahasiswa ditindas, dipukul, dan dianiyaya. Akhirnya mahasiswa melakukan aksi massif," terang dia.
Selain melakukan kekerasan, polisi juga sering melakukan pola-pola yang dianggap kontra produktif dengan gerakan mahasiswa. Pola tersebut misalnya, polisi sering melakukan infiltrasi, yaitu melakukan penorobosan terhadap aksi unjuk rasa. Juga, polisi sering melakukan penyusupan. "Intel-intel polisi masuk bergabung dengan masyrakat dan mahasiswa, lalu tidak jarang orang ini melakukan pelemparan," papar Syamsuddin. Ia menilai, berdasarkan hasil pemeriksaannya, bentrok aparat dengan anggota HMI bukan dimulai oleh HMI.
Pola yang lain yaitu polisi melakukan pembiaran kepada warga dan mahasiswa bentrok. "Awalnya, polisi di depan, begitu warga datang, dibukakan jalan lalu masyarakat berhadap-hadapan dengan mahasiswa, polisi di belakang," tambahnya. Hal tersebut terjadi di UIN dan UNM. Selanjutnya, pola aparat yang memprovokasi mahasiswa. Syamsuddin mencontohkan kasus mobil patroli yang dilempari mahasiswa UNM 5 Maret lalu. Saat itu polisi tahu psikologis mahasiswa karena penyerangan Wisma HMI, tetapi mobil tersebut seolah-olah sengaja dilintaskan dekat pengunjuk rasa.
Oleh karena itu, Syamsuddin menduga adanya upaya sistematis untuk berupaya mengalihkan isu Bank Century menjadi isu polisi vs mahasiswa. Selain itu ada indikasi terjadi konflik dalam internal kepolisian dalam hal perebutan jabatan struktural. Ia mencontohkan, peristiwa yang terjadi bukan atas perintah kapolda. "Ada rantai komando yang tidak diketahui oleh Kapolda Sulselbar. Sangat buruk jika hanya ingin mengganti Kapolda dengan menciptakan peristiwa begini," terangya.
Di samping itu, ada indikasi membangun stigmatisasi buruk citra politik untuk wilayah Sulsel. "Kita tahu, tokoh-tokoh yang vokal dalam kasus Century banyak berasal dari Sulsel," imbuh dia.
Karenanya, PBHI merekomendasikan agar pihak kepolisian serius menjalankan proses hukum kepada para oknum polisi yang terlibat. Jika tidak, maka kepolisian akan rusak citranya. Selain itu, kejadian yang sama dikuatirkan akan terjadi lagi jika prose hukumnya tidak tegas. Juga, bisa menimbulkan lagi aksi anarkis mahasiswa karena kecewa.
Demikian juga anggota HMI yang menjadi saksi peristiwa, harus kooperatif dengan polisi supaya kasusnya terbuka.
Dirinya megimbau agar HMI Makssar mengambil tindakan yang tegas kepada anggotanya yang terlibat dan tidak memberinya perlindungan.(zuk) .
Syamsuddin mensinyalir, warga yang terlibat dalam bentrok dengan mahasiswa adalah peliharaan polisi, seperti preman, residivis, dan anggota organisasi tertentu yang digerakkan. Diduga kuat penyerangan terhadap Wisma HMI, UIN dan UNM dilakukan oleh"warga" yang sama yang telah dikonsolidasikan. Menurutnya, ada oknum intel polsek berinisial AR yang terlibat dalam penyerangan kedua di Wisma HMI. Warga yang ikut menyerang, salah satunya berinisial AG, sebelumnya diberi minuman lalu diangkut ke lokasi. AG merupakan eks residivis.
"Apa yang terjadi di Makassar adalah skenario yang diciptakan untuk rusuh . Ada upaya memperhadap-hadapkan antar mahasiswa dan masyarakat," tuding Syamsuddin, dalam jumpa persnya di Warkop Phoenam, Selasa, 9 Maret.
Dalam hal penanganan unjuk rasa, polisi dinilai masih sangat refresif. "Mahasiswa ditindas, dipukul, dan dianiyaya. Akhirnya mahasiswa melakukan aksi massif," terang dia.
Selain melakukan kekerasan, polisi juga sering melakukan pola-pola yang dianggap kontra produktif dengan gerakan mahasiswa. Pola tersebut misalnya, polisi sering melakukan infiltrasi, yaitu melakukan penorobosan terhadap aksi unjuk rasa. Juga, polisi sering melakukan penyusupan. "Intel-intel polisi masuk bergabung dengan masyrakat dan mahasiswa, lalu tidak jarang orang ini melakukan pelemparan," papar Syamsuddin. Ia menilai, berdasarkan hasil pemeriksaannya, bentrok aparat dengan anggota HMI bukan dimulai oleh HMI.
Pola yang lain yaitu polisi melakukan pembiaran kepada warga dan mahasiswa bentrok. "Awalnya, polisi di depan, begitu warga datang, dibukakan jalan lalu masyarakat berhadap-hadapan dengan mahasiswa, polisi di belakang," tambahnya. Hal tersebut terjadi di UIN dan UNM. Selanjutnya, pola aparat yang memprovokasi mahasiswa. Syamsuddin mencontohkan kasus mobil patroli yang dilempari mahasiswa UNM 5 Maret lalu. Saat itu polisi tahu psikologis mahasiswa karena penyerangan Wisma HMI, tetapi mobil tersebut seolah-olah sengaja dilintaskan dekat pengunjuk rasa.
Oleh karena itu, Syamsuddin menduga adanya upaya sistematis untuk berupaya mengalihkan isu Bank Century menjadi isu polisi vs mahasiswa. Selain itu ada indikasi terjadi konflik dalam internal kepolisian dalam hal perebutan jabatan struktural. Ia mencontohkan, peristiwa yang terjadi bukan atas perintah kapolda. "Ada rantai komando yang tidak diketahui oleh Kapolda Sulselbar. Sangat buruk jika hanya ingin mengganti Kapolda dengan menciptakan peristiwa begini," terangya.
Di samping itu, ada indikasi membangun stigmatisasi buruk citra politik untuk wilayah Sulsel. "Kita tahu, tokoh-tokoh yang vokal dalam kasus Century banyak berasal dari Sulsel," imbuh dia.
Karenanya, PBHI merekomendasikan agar pihak kepolisian serius menjalankan proses hukum kepada para oknum polisi yang terlibat. Jika tidak, maka kepolisian akan rusak citranya. Selain itu, kejadian yang sama dikuatirkan akan terjadi lagi jika prose hukumnya tidak tegas. Juga, bisa menimbulkan lagi aksi anarkis mahasiswa karena kecewa.
Demikian juga anggota HMI yang menjadi saksi peristiwa, harus kooperatif dengan polisi supaya kasusnya terbuka.
Dirinya megimbau agar HMI Makssar mengambil tindakan yang tegas kepada anggotanya yang terlibat dan tidak memberinya perlindungan.(zuk) .
Komentar
Posting Komentar