INTELEKTUALISME DAN AIR MATA TUMPAH
Credit Photo: Idham Ama |
Selamat Jalan, Sang Mahaguru
AMBULANS berhenti di lobi. Tepat di pintu masuk kaca yang buka-tutup dua sisi.
Sang sopir membuka pintu belakang ambulans. Sebuah peti cokelat bervernis tergeletak di tengah. Para pengiring lalu menjejakkan kaki ke lantai.
Serombongan orang menyambut peti itu. Sebagian menjulurkan dari atas. Sebagian lagi menyambutnya di bawah. Ukuran peti pas-pasan di sela kursi mobil. Tak ada ruang di kiri-kanan untuk mengangkat.
Enam belas orang, sebagian besar karyawan FAJAR, mengangkat peti itu. Tiba di pintu masuk yang terbuat dari kaca bening itu, hanya tiga belas orang yang muat. Tiga lainnya mundur.
Mereka dalam kesedihan dan duka yang medalam. Ingin menunjukkan penghormatan terakhir kepada Sang Mahaguru: Doktorandus Ishak Ngeljaratan.
Di depan pintu kaca, sebuah altar telah disiapkan. Melintang ke arah barat. Kira-kira empat puluh sentimeter tingginya. Lebarnya semeter. Peti diletakkan di atasnya.
Wajah-wajah yang tadi berhias senyum, kini berubah. Sedih yang meluap-luap. Duka yang mendalam-dalam. Kehilangan yang cukup menyayat-nyayat.
Deretan manusia penunggu ini memang telah bergerombol di area lobi Graha Pena sejak sejam lalu. Memenuhi area altar yang disediakan khusus untuk penghormatan Sang Maestro Budaya.
Saya bediri di bagian timur peti. Di deretan kedua barisan pelayat dan pengagum sosok yang telah terbaring di dalam peti cokelat berpelitur itu.
Seorang perempuan bekerudung hitam, berdiri di deretan pertama. Agak ke kanan dari posisiku. Berhadapan langsung dengan peti jenazah. Kedua tangannya mengatup, menutupi mulut dan hidungnya. Mirip pengabdi Tuhan yang sedang berdoa pasrah.
Suaranya tertelan oleh kesedihan yang menggelombang dalam jiwa dan hatinya. Ekspresi kepiluannya itu tergambar dari raut wajahnya yang basah oleh derai mutiara sedih.
Dialah sang juru bicara pihak keluarga. Luna namanya. Usia sekitar 30-an. Kisah pendeknya pada kesempatan menyampaikan pesan kepada para pelayat yang memenuhi lobi, mengukuhkan pandangan saya tentang kebaikan Ishak Ngeljaratan, sosok teman diskusi sangat indah setiap kali berkunjung ke redaksi.
"Terima kasih kepada FAJAR telah menampung dan menerbitkan tulisan-tulisan bapak selama ini. Tulisan-tulisan itu adalah obat dan pelipur bagi bapak..." suara Luna terhenti.
Saya yang mengenakan jaket hitam, larut dalam kenangan tentang sosok sang idola. Bulir sejuk mengucur dari sudut mata. Air mata tumpah. Saya sedih, pilu, dan merasakan duka yang sangat hebat.
Oh, Tuhan. Beginilah rasanya kehilangan itu. Kehilangan yang sangat membekas, begitu terasa, dan memaksa tangis ini pecah.
Tak banyak yang dapat kami balas kepadamu, Romo Ishak. Engkau adalah oase hati dalam kerasnya kehidupan. Penyejuk diri dalam gersangnya jiwa. Peneduh kalbu dalam keringnya spiritualitas.
Kritik-kritik sosialmu, dongeng-dongeng filosofismu, dan saduran-saduran pengetahuan latinmu, sungguhlah menjadi ilmu yang tak akan pernah sanggup kami gapai sepertimu.
Keikhlasan dan kerianganmu untuk selalu menghadiri forum-forum diskusi, sangatlah menjadi sebuah teladan yang mungkin susah kami ikuti. Tanpa honor dan transportasi.
Kesetianmu membagi ilmu dan memotivasi kalangan muda untuk selalu haus pada pengetahuan, merupakan sebuah monumen yang tak akan pernah raib dari kenangan dan ingatan kami.
Selamat jalan, Sang Mahaguru. Selamat beristirahat dalam senyum indahmu. Kami selalu mendoakanmu, di sini.
Makassar, Rabu, 18 Juli 2018.
Komentar
Posting Komentar