Nurhayati Yasin Limpo Tokoh Ibu dan Perempuan asal Sulsel




Selalu Ingatkan Anak tentang Kebaikan, Kini Aktif Urus Lansia

MERAWAT anak-anak dari kecil hingga besar, dilakukannya biasa-biasa saja. Namun orang lain yang menganggapnya luar biasa.


SOSOKNYA sederhana. Ia terbuka berbicara. Bahasanya santun. Setidaknya itulah gambaran singkat mengenai Nuhayati Yasin Limpo. Ibu yang satu ini merupakan salah satu dari sedikit perempuan yang berhasil melahirkan anak-anak yang semuanya sukses.

Semasa anak-anaknya masih kecil, Nurhayati tak pernah mengajarkan mereka menjadi politisi. Ia hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berguna dan membawa kebaikan bagi sesama. Ia pun merawat mereka layaknya ibu-ibu lain merawat anak-anaknya.

Istri almarhum Yasin Limpo ini, masih mengingat jelas bagaimana ia membesarkan tujuh orang anaknya. Ia tak pernah menyewa pembantu atau babysitter untuk membantunya merawat anak-anak yang dilahirkan susul menyusul atau ibarat anak tangga.

"Tidak ada kesulitan dalam merawat anak. Mungkin karena semuanya saya lakukan dengan ikhlas," ujar perempuan bernama lengkap Ince Ratna Nurhayati saat ditemui di kediamannya di Jalan Haji Bau, Sabtu malam, 21 Desember.

Sebagai seorang ibu, setiap saat ia harus memastikan semua kebutuhan dan keamanan anak-anaknya. Bahkan ketika anak-anaknya tidur, ia harus memastikan bahwa mereka nyaman tanpa gangguan. Dalam kehidupan keseharian, saat anak-anaknya mulai bisa bermain di luar rumah, ia juga memastikan bahwa mereka bersama dengan orang-orang yang dikenal.

"Ke mana perginya saya tahu. Perginya juga bersama anak yang saya kenal orang tuanya," imbuh Nurhayati.

Tak ada yang spesial dalam merawat anak. Ia hanya selalu menekankan kepada anak-anaknya agar selalu berbuat baik. Namun wujud kecintaannya kepada anak-anaknya itu, ketika mengantar mereka ke sekolah, kerap becak yang digunakan tak muat. Secara bersamaan ia mengantar anaknya ke sekolah, sementara ia juga tak mau meninggalkan yang masih kecil di rumah.

Saat anak-anaknya dalam usai sekolah, keluarga Yasin Limpo belum memiliki mobil khusus untuk mengantar jemput ke sekolah. Makanya untuk tujuan sekolah, Nurhayati menyewa becak. Ada yang di sebelah kiri, ada yang di kanan. "Ada juga yang kupangku," katanya sambil tersenyum mengenang masa-masa merawat anak.

Nurhayati mengaku, sering kali ada orang yang bertanya mengenai tips merawat anak sehingga semuanya bisa sukses. Namun ia tak bisa menjawab. Baginya, membesarkan anak merupakan kecintaan dan ia melakukannya dengan tulus.

"Saya beranak seperti ibu-ibu lainnya. Saya tidak pernah mengaharapkan mereka menjadi kaya yang penting menjadi anak baik. Mungkin karena kita sendiri yang rawat dengan niat yang baik, Tuhan mendengar suara hati saya," katanya.

Saat Hamil dan melahirkan anak-anaknya, Nurhayati juga sering ditinggal tugas oleh sang suami sehingga kerap ia menjadi single parent. Selaku tentara, suaminya sering pergi bertugas. Ia juga pernah sedang hamil lantas ditinggal. Bahkan ia pernah ditinggal tugas selama setahun.

Nurhayati menikah pada umur 15 tahun. Saat itu, Yasin berusia 24 tahun. Ia mengaku taksaling mengenal karena dijodohkan oleh orang tua. Usai menikah karena saat itu situasi, mengharuskan ia juga terbiasa dalam tekanan terutama saat suaminya dikejar-kejar oleh Belanda.

Puncaknya, saat tiga sudara laki-laki Yasin Limpo, dibunuh oleh Belanda. Praktis, tiga istrinya, tinggal di rumah Nurhayati. Saat itu, ketiga janda tersebut memiliki 14 anak, dan semuanya tinggal di rumah Nurhayati. Ia senang bisa ikut membesarkan anak-anak yatim yang tak lain keponakannya sendiri.

Lalu apa yang dilakukannya saat ada anak-anaknya yang bandel? Nurhayati tak pernah memukul atau memberikan hukuman kasar kepada mereka. Bahkan untuk berkata kasar pun, ia tak mau melakukannya.

"Kalau ada yang nakal, biasa saya masukkan di kamar terus dikunci. Kalau sudah ketuk-ketuk, baru dikeluarkan," katanya.

Bagaimana dengan Syahrul Yasin Limpo dulu? Nurhayati juga tidak pernah memukulnya. Padahal saat Syahrul sudah beranjak remaja, ia sangat gandrung balapan motor. Hal itu yang kadang membuatnya resah. Namun hal itu ia imbangi dengan berpikir positif.

"Dia sendiri yang rakit motor temannya yang rusak. Itu mi yang dipakai balapan," kenangnya.

Salah satu kunci sukses merawat anak, yakni karena Nurhayati bersama suaminya sangat menjaga keharmonisan. Hal ini sangat mendukung anak-anaknya tumbuh dalam ketenangan. Bahkan sampai Yasin Limpo meninggal, ia tidak pernah cekcok.

"Mulai anak lahir, saya sudah doakan mudah-mudahan menjadi orang baik dan beriman," bebernya.

Untuk membuat anak-anak sukses, lanjut dia, doa orang tua juga sangat berpengaruh. Ia menekankan, setiap ibu pasti sama dengan dirinya, cuma caranya membesarkan anak berbeda-beda. Semua ibu menginginkan anaknya menjadi baik.

Nurhayati memiliki tujuh anak, tiga perempuan dan empat laki-laki. Mereka masing-masing Tenri Olle, Syahrul, Tenri Angka, Ichsan, Haris, Dewi, dan Irman. Mereka rata-rata terjun ke dalam politik, padahal Nurhayati tak pernah mengajarkan mereka untuk masuk ke dunia itu.

Tenri pernah menjadi anggota DPRD Gowa dan menjadi Ketua DPRD di periode kedua.

Nurhayati dilahirkan di Parepare, 30 Agustus 1935 atau saat ini sudah berusia 78 tahun. Ayah bernama Ince Manambai Ibrahim dan ibunya bernama Hadawiyah. Saat usia sekolah, ia hijrah ke Makassar karena situasi yang sudah tak aman di kampungnya akibat Belanda yang mengejar-ngejar ayahnya.

Ia lantas masuk Sekolah Rakyat saat itu. Setelah tamat, ia lanjut ke Sekolah Kepandaian Putri (SKP), yakni sekolah nasional yang setara dengan Normal School milik Belanda. Rata-rata anak-anak pejuang bersekolah di SKP.

Di sana, Nurhayati diajar tentang kebangsaan atau nasionalisme. Guru-gurunya juga rata-rata pejuang. Bahkan setiap kali ada kegiatan sekolah, guru-gurunya bergantian ditangkap oleh Belanda. Namun di sekolah ini pula ia mendapatkan banyak ilmu termasuk ilmu menjahit. Saat ekonominya sulit, serta adanya 14 anak yatim yang harus dirawat, ia kerap menjahit baju lalu menjualnya.

"Kalau kekurangan bahan makanan, saya buat keterampilan. Pakaian anak-anak dijual keliling oleh ibu anak-anak yatim itu," kata perempuan peraih Piagam Prestasi Indonesia Award 2001 dari Yayasan Prestasi Indonesia ini.

Secara politik, Nurhayati juga melihat perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama. Namun situasinya sudah berubah saat ini. Dulu, saat ia menjadi legislator, di dalam ruangan, hanya ada tiga atau atau empat legislator perempuan.

"Tetapi tidak pernah merasa minder. Kalau ada pansus, kita juga ikut. Saat ini dengan banyaknya perempuan, mungkin lebih bagus," katanya. Ia menyarankan para politisi agar rajin turun mendengar keluhan rakyat. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui kebutuhan rakyat dan merasakan penderitaan mereka.

Nurhayati pernah menjadi anggota DPRD Sulsel tiga periode dan juga menjadi anggota DPR RI dua periode. Selama 12 tahun ia menjadi anggota DPRD Sulsel, yakni sejak 1987 hingga 1999. Selanjutnya menjadi legislator Senayan 1999-2004 kemudian terpilih lagi untuk periode 2004-2009.

Kini, kendati pensiun dari Senayan, namun aktivitasnya tak berhenti. Malah sekarang ia menjadi penggerak organisasi lanjut usia (lansia). Ia mendirikan Himpunan Lansia Sayang Bunda dan menjadi ketua di situ. Organisanisasi ini didirikannya sejak empat tahun lalu.

Ia aktif dalam organisasi itu, mendirikan klinik khusus lansia dan membuatkan mereka koperasi. Baru-baru ini Himpuna  Lansia Sayang Bunda menggelar jambore khusus untuk lansia di Sulsel di Gedung Celebes Convention Centre.

"Sampai sekarang masih aktif organisasi. Senang berbuat apa yang bisa dirasakan orang itu baik. Itu membantu mendapatkan amal," katanya.

Di jambore lansia, mereka bercerita tentang masa lalu, terutama tentang kemerdekaan. "Kalau sudah lansia, mesti banyak bercerita kepada cucu. Mereka kan tidak rasakan pedihnya jadi pejuang. Jadi harus diceritakan," katanya penuh harapan.
(***)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan