Mentransformasi Badik Menjadi Nilai Kearifan
DALAM perjalanan sejarah, badik mengalami transformasi. Senjata khas untuk suku Bugis-Makassar ini, sejatinya memiliki makna yang lebih maju sebagai nilai-nilai universal.
Badik memang memiliki dua sisi pemaknaan. Selain sebagai benda fisik yang difungsikan sebagai senjata, juga sebagai sumber nilai yang menjadi pengontrol dalam kehidupan setiap individu Bugis-Makassar. Dalam badik, ada siri', yakni nilai kearifan lokal tentang harga diri dan malu.
Seseorang yang telah mampu merevitalisasi makna badik dalam bentuk nilai, akan menjadikannya sebagai sumber kebaikan berupa tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, adat, dan keseluruhan nilai peradaban masyarakat Sulsel.
Dulu, badik memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan pertarungan atau perkelahian. Namun badik kemudian direkonstruksi maknanya mejadi nilai moral yang akan menjadi pijakan dalan bertindak, terutama ketika berinteraksi dengan sesama manusia.
"Badik itu hanya benda, tetapi ruhnya adalah siri'. Ruhnya siri' yang lebih dalam adalah ati macinnong (hati jernih)," ujar sastrawan D Zawawi Imron, kepada penulis, tadi malam usai menjadi pembicara pada peringatan haul Anre Gurutta H Ambo Dalle di Gedung Islamic Center, Kota Parepare.
Zawawi Imron merupakan penyair Madura yang banyak menggeluti kebudayaan Sulsel. Tema tentang badik bahkan pernah ia bukukan dalam kumpulan puisinya. Buku kumpulan puisi itu diberi judul "Mata Badik Mata Puisi", yang sempat di-launching di Graha Pena, 2012 lalu.
Banyak nilai-nilai yang dilahirkan dari ruh badik tersebut, misalnya toddopuli, sipakatu, sipatokkong, sipakalebbi, dan lainnya. Perwujudannya adalah sikap menghormati sesama. Dengan begitu, manusia akan menghargai kata-kata yang diucapkannya.
"Orang yang sampai pada hakikat ati maccinong, hati yang bersih, seujung rambut pun tidak akan punya kebencian kepada orang lain. Lebih dari itu tidak punya waktu untuk memfitnah, bertengkar, dan bermusuhan," urainya.
Bagi Zawawi, ati macinnong itu bisa dikembangkan keluar Makassar-Bugis, melampui wilayah Sulsel. Ia menyebut, spirit ati macinnong bisa go nasional dan internasional yang pada akhirnya akan menjadi akal sehat kolektif. "Akal sehat kolektif insya Allah akan sangat berharga untuk memperbaiki keadaan di Indonesia sebagai tanah air yang indah," imbuhnya.
Kalau ingin kehidupan negeri ini indah dan tetap makmur, serta rakyatnya ingin sejathera, orang-orangnya harus memiliki ati maccinnong dan hati yang indah. Ati macinnong ini menjaga badik atau senjata nilai-nilai. Jika manusia memahami, kata dia, maka badik bukanlah sebagai senjata penikam, tetapi untuk menjaga dan merawat.
Terkait penggunaan badik sebagai senjata dan spirit nilai-nilai kebaikan, Zawawi mengaku tak memiliki kapasitas untuk menjawabnya. Sebaiknya, kata dia, hal itu ditanyakan kepada peneliti, sosiolog, dan yang bergelut dalam pengamatan terhadap fenomena badik. Namun sebagai anak cucu dari nenek moyang, badik mestinya direvitalisasi menjadi nilai.
"Aku sangat menghargai pemakai meskipun aku orang luar. Meski begitu, punya nenek moyang. Itu nilai-nilai yang perlu direvitalisasi dan harus dihidupkan kembali," katanya lagi.
Spirit nilai ini akan sangat bermanfaat untuk kembali membangun Sulsel khususnya dan Indonesia pada umumnya.Nilai siapakatu bisa sejalan ahlakul karimah. Artinya, ahlakul karimah merupakan perpaduan budaya dan agama. Dengan begitu, akan lebih mudah melaksanakan akal sehat kolektif. Nilai-nilai Makassar-Bugis berupa siri napacce juga sejalan dan bertemu dengan Agama Islam. Budaya Bugis-Makassar disebutnya bergerak menuju kemuliaan Islam.
Badik yang maknanya ditransformasi akan memberi semangat kerja nyata. Selain itu, manusia memegang prinsip satunya kata dengan perbuatan, serta tidak mengingkari janji. Dalam buku kumpulan puisinya, Mata Badik Mata Puisi, terdapat 140-an puisi yang bertema tentang badik.
Zawawi mencontohkan selarik kalimat sebagai budaya kerja nyata yang berjudul Telur, "Dubur ayam yang mengeluarkan telur, lebih mulia dari mulut intelektual, yang hanya menjanjikan telur."
Sastrawan Sulsel yang pernah membintangi film "Badik Titipan Ayah", Aspar Paturusi, juga melihat badik tidak lagi sebagai benda, tetapi diobjektivikasi. Abstraksi badik menjadi nilai, akan menggerakkan manusia untuk selalu menjaga kehormatan dan kebersihan diri dan hati.
"Badik tidak lagi di pinggang. tetapi disarungkan di hati," katanya. Badik dalam bentuk benda dan berasal dari leluhur, tempatnya adalah di peti. Namun ketika maknanya diangkat, maka hal itu akan membuat manusia memiliki sikap baik yang lebih tajam untuk menghadapi lingkungan dan situasi yang melingkupinya.
Bahkan badik mesti ditransformasi menjadi ketakwaan pada diri manusia. Nilai badik ini, jika dipegang, akan mampu menjawab semua persoalan zaman yang menyangkut moralitas. Badik juga bermakna ketangguhan menghadapi kesulitan.
Badik tak lagi dimanfaatkan untuk tujuan kejahatan, tetapi untuk menjaga kehormatan. Badik tidak selalu identik dengan harga diri yang diartikan sempit, menjadi keagungan bagi Bugis-Makassar untuk menjaga keimanan dan akhlaknya.
Salah warga Kota Makassar, Omar, merupakan pemuda yang menyimpan badik di rumahnya. Ia percaya bahwa beberapa badik peninggalan leluhur, ada yang mengandung kekuatan gaib. Namun ia tak ingin menyimpan badik jenis itu di rumahnya.
"Kadang-kadang badik memang memiliki kekuatan gaib, terutama ketika digunakan untuk kepentingan ilmu hitam," katanya.
Omar mengaku, badik hanyalah benda biasa yang tak perlu terlalu disakralkan. Namun untuk dijadikan nilai dalam peradaban Bugis-Makassar, maka badik merupakan lokus kebudayaan yang berfungsi menjaga kehormatan diri.
"Saya menyimpan badik di rumah hanya untuk berjaga-jaga terhadap pelaku kejahatan yang mungkin saja datang. Saya simpan badikku di bawah kasur," bebernya. (*)
Komentar
Posting Komentar