Pancasila, Masihkah Relevan?
Pemuda Indonesia Tak Hafal Sila Pancasila
PANCASILA kembali jadi perbincangan seputar relevansinya dengan kondisi bangsa saat ini. Sayang, sudah banyak generasi muda yang bahkan tak hafal silanya.
"Pancasila, satu... Awalnya apa? Lupa..." ujar Nurul, salah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi saat ditemui di kampusnya di Jalan Pandang Raya, Sabtu, 29 September.
Nurul sempat berpikir sesaat namun kunjung mampu mengingat sila pertama Pancasila. Ia lalu meminta bantuan. Setelah diberi tahu, ia baru bisa menyebutkannya. Namun lagi-lagi tak bisa tuntas.
Usai membacakannya hingga sila keempat, mahasiswi semester pertama ini, kembali lupa sila kelima. Sila keempat pun ia tak bisa menyebutnya secara sempurna. Alumni SMA Negeri 8 ini terpaksa harus dipandu lagi untuk menyebut sila kelima.
Hal sama terjadi pada Jhia, salah seorang alumni Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni UNM. Saat diminta untuk menghafal Pancasila, ia hanya mampu menyebut sila pertama. "Pancasila. Satu, ketuhanan yang Maha Esa. Hadehhh, jangan mi deh, grogi ka," ujar Jhia sambil berlalu.
Demikian fakta yang terjadi mengenai pemahaman Pancasila bagi kalangan muda bangsa. Miris sebetulnya karena ini mengindikasikan bahwa Pancasila seolah-olah telah hilang dalam "peradaban" kepemudaan. Padahal, jika menelusuri sejarah, Pancasila merupakan produk sangat berharga dari pada founding father bangsa Indonesia.
Rangga, alumni Fakultas Olahraga UNM, juga mengkritik hilangnya orientasi ideologi kaum muda. Namun menurutnya, pemuda tak bisa sepenuhnya disalahkan. Ketidakmampuan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila pada kalangan pemuda, merupakan cerminan dari pemerintahan yang korup dan kehilangan antipati persoalan sosial dan religi.
"Kita memiliki ideologi tetapi sebetulnya telah kehilangan. Pemerintahan kita yang menjadi cerminan kesemrawutan sosial," ujar Rangga.
Ia beranggapan, masyarakat bukanlah struktur yang paling patut disalahkan atas tidak terimplementasinya nilai-nilai Pancasila. Ada persoalan kompleks yang terlibat di dalamnya. Makanya, perlu adanya otokritik mengenai sistem runtutan yang berkaitan dengan praktik berpancasila.
Meminjam teori Thomas S Kuhn mengenai paradigma, maka Pancasila juga memungkinkan untuk dikaji pada level implementasinya. Paradigma Kuhn menawarkan cara radikal mengatasi gejala-gejala penghambat. Teorinya menawarkan strategi riset atau prosedur metodologi yang baru untuk mengumpulkan data empiris yang mendukung paradigma yang ada.
Otokritik ala paradigma Kuhn ini pada akhirnya akan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang muncul yang terkait dengan "diabaikannya" Pancasila dalam kehidupan paling riil masyarakat. Tak ada lagi pembeda antara warga penganut Pancasila dengan ideologi lainnya.
"Ada paradigma dalam implementasi ideologi kita, yakni Pancasila yang mesti diperbaiki," tandas aktivis HMI (MPO) Cabang Makassar ini.
Ni Putu Dewi, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, menyarankan perlunya rekonstruksi sistem untuk meneguhkan Pancasila sebagai ideologi. Yang paling bertanggung jawab, kata dia, adalah dunia pendidikan. Mestinya, dunia pendidikan mengenalkan peserta didik pada nilia-nilai Pancasila.
Perempuan berjilbab panjang yang juga Ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Walhi Sulsel ini, mengatakan, pada dasarnya Pancasila sebagai ideologi negara sudah bagus, masih relevan hingga kini. Di dalamnya sudah paripurna karena membahas tentang ketuhanan, kemanusiaan, hingga keadilan.
"Manusianya saja yang tidak mengimplementasikannya, bukan Pancasilanya yang salah," ujar petugas penghubung Komisi Yudisial (KY) Sulsel ini.
Ia melihat absennya penanaman nilai-nilai pancasila dalam lembaga pendidikan. Sebagai ideologi, mestinya nilai-nilainya dijadikan sebagai standar utama dalam menjalankan sistem kenegaraan. Makanya ia mengkritik dunia pendidikan yang dianggap gagal mengonstruksi masyarakat yang pancasilais.
"Problemnya ada pada masyarakat yang menjalankan. Di sektor pendidikan kita, guru kita banyak yang hanya sekadar pengajar bukan pendidik. Pendidik menceriminkan nilai-nilai kepada yang didik, pengajar hanya menyampaikan materi," papar Ni Putu Dewi.
Ketua Dewan Nasional Walhi, Dadang Sudarja, juga angkat bicara. Sebagai negara yang berideologi Pancasila, maka sudah seharusnya semua praktik berkehidupan merujuk ke sana. Antara setiap sila dalam Pancasila, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Antara Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, sistem demokrasi, dan keadilan sosial, merupakan satu kesatuan yang sejatinya menjadi ruh dalam interaksi kehidupan sosial. Makanya, masyarakat yang apatis terhadap Pancasila, mesti disadarkan.
"Sampai kapan pun pancasila itu akan tetap relevan. Problemnya hanya pada implementasi," katanya.
Sudah saatnya didorong satu mekanisem penanaman nilai-nilai Pancasila yang tak lagi memisahkan para pemuda dengan ideologinya itu. Negara harus hadir memberikan teladan sehingga sistem bisa benar-benar jalan ke arah yang semakin lebih baik.
"Kuncinya ada pada pendidikan. Perlu pengejawantahan nilai-nilai dalam kehidupan. Ini yang harus diperbaiki. Substansi dan metodologi direkonstruksi dan mendetailkan sisi ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan itu," tutupnya. (*)
PANCASILA kembali jadi perbincangan seputar relevansinya dengan kondisi bangsa saat ini. Sayang, sudah banyak generasi muda yang bahkan tak hafal silanya.
"Pancasila, satu... Awalnya apa? Lupa..." ujar Nurul, salah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi saat ditemui di kampusnya di Jalan Pandang Raya, Sabtu, 29 September.
Nurul sempat berpikir sesaat namun kunjung mampu mengingat sila pertama Pancasila. Ia lalu meminta bantuan. Setelah diberi tahu, ia baru bisa menyebutkannya. Namun lagi-lagi tak bisa tuntas.
Usai membacakannya hingga sila keempat, mahasiswi semester pertama ini, kembali lupa sila kelima. Sila keempat pun ia tak bisa menyebutnya secara sempurna. Alumni SMA Negeri 8 ini terpaksa harus dipandu lagi untuk menyebut sila kelima.
Hal sama terjadi pada Jhia, salah seorang alumni Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni UNM. Saat diminta untuk menghafal Pancasila, ia hanya mampu menyebut sila pertama. "Pancasila. Satu, ketuhanan yang Maha Esa. Hadehhh, jangan mi deh, grogi ka," ujar Jhia sambil berlalu.
Demikian fakta yang terjadi mengenai pemahaman Pancasila bagi kalangan muda bangsa. Miris sebetulnya karena ini mengindikasikan bahwa Pancasila seolah-olah telah hilang dalam "peradaban" kepemudaan. Padahal, jika menelusuri sejarah, Pancasila merupakan produk sangat berharga dari pada founding father bangsa Indonesia.
Rangga, alumni Fakultas Olahraga UNM, juga mengkritik hilangnya orientasi ideologi kaum muda. Namun menurutnya, pemuda tak bisa sepenuhnya disalahkan. Ketidakmampuan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila pada kalangan pemuda, merupakan cerminan dari pemerintahan yang korup dan kehilangan antipati persoalan sosial dan religi.
"Kita memiliki ideologi tetapi sebetulnya telah kehilangan. Pemerintahan kita yang menjadi cerminan kesemrawutan sosial," ujar Rangga.
Ia beranggapan, masyarakat bukanlah struktur yang paling patut disalahkan atas tidak terimplementasinya nilai-nilai Pancasila. Ada persoalan kompleks yang terlibat di dalamnya. Makanya, perlu adanya otokritik mengenai sistem runtutan yang berkaitan dengan praktik berpancasila.
Meminjam teori Thomas S Kuhn mengenai paradigma, maka Pancasila juga memungkinkan untuk dikaji pada level implementasinya. Paradigma Kuhn menawarkan cara radikal mengatasi gejala-gejala penghambat. Teorinya menawarkan strategi riset atau prosedur metodologi yang baru untuk mengumpulkan data empiris yang mendukung paradigma yang ada.
Otokritik ala paradigma Kuhn ini pada akhirnya akan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang muncul yang terkait dengan "diabaikannya" Pancasila dalam kehidupan paling riil masyarakat. Tak ada lagi pembeda antara warga penganut Pancasila dengan ideologi lainnya.
"Ada paradigma dalam implementasi ideologi kita, yakni Pancasila yang mesti diperbaiki," tandas aktivis HMI (MPO) Cabang Makassar ini.
Ni Putu Dewi, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, menyarankan perlunya rekonstruksi sistem untuk meneguhkan Pancasila sebagai ideologi. Yang paling bertanggung jawab, kata dia, adalah dunia pendidikan. Mestinya, dunia pendidikan mengenalkan peserta didik pada nilia-nilai Pancasila.
Perempuan berjilbab panjang yang juga Ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Walhi Sulsel ini, mengatakan, pada dasarnya Pancasila sebagai ideologi negara sudah bagus, masih relevan hingga kini. Di dalamnya sudah paripurna karena membahas tentang ketuhanan, kemanusiaan, hingga keadilan.
"Manusianya saja yang tidak mengimplementasikannya, bukan Pancasilanya yang salah," ujar petugas penghubung Komisi Yudisial (KY) Sulsel ini.
Ia melihat absennya penanaman nilai-nilai pancasila dalam lembaga pendidikan. Sebagai ideologi, mestinya nilai-nilainya dijadikan sebagai standar utama dalam menjalankan sistem kenegaraan. Makanya ia mengkritik dunia pendidikan yang dianggap gagal mengonstruksi masyarakat yang pancasilais.
"Problemnya ada pada masyarakat yang menjalankan. Di sektor pendidikan kita, guru kita banyak yang hanya sekadar pengajar bukan pendidik. Pendidik menceriminkan nilai-nilai kepada yang didik, pengajar hanya menyampaikan materi," papar Ni Putu Dewi.
Ketua Dewan Nasional Walhi, Dadang Sudarja, juga angkat bicara. Sebagai negara yang berideologi Pancasila, maka sudah seharusnya semua praktik berkehidupan merujuk ke sana. Antara setiap sila dalam Pancasila, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Antara Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, sistem demokrasi, dan keadilan sosial, merupakan satu kesatuan yang sejatinya menjadi ruh dalam interaksi kehidupan sosial. Makanya, masyarakat yang apatis terhadap Pancasila, mesti disadarkan.
"Sampai kapan pun pancasila itu akan tetap relevan. Problemnya hanya pada implementasi," katanya.
Sudah saatnya didorong satu mekanisem penanaman nilai-nilai Pancasila yang tak lagi memisahkan para pemuda dengan ideologinya itu. Negara harus hadir memberikan teladan sehingga sistem bisa benar-benar jalan ke arah yang semakin lebih baik.
"Kuncinya ada pada pendidikan. Perlu pengejawantahan nilai-nilai dalam kehidupan. Ini yang harus diperbaiki. Substansi dan metodologi direkonstruksi dan mendetailkan sisi ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan itu," tutupnya. (*)
Komentar
Posting Komentar