Lebaran dalam Kepedihan Hidup

Jangan Sedih, Lebaran Milik Semua

SEJATINYA lebaran merupakan milik semua umat Islam, apa pun kondisinya. Sebab Idulfitri membawa makna kemerdekaan dan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa.

Memang tak sedikit umat Islam yang merayakan Idulfitri dalam situasi yang penuh keterbatasan, bahkan sangat tak nyaman dan jauh dari harapan. Banyak di antara mereka terpaksa merayakannya di tengah situasi bencana, bahkan ada juga tanpa ditemani keluarga.

Namun lebaran bukanlah persoalan situasi yang muncul dalam dimensi ruang dan waktu. Lebaran terkait erat dengan sisi metafisika. Lebih tepatnya, Idulfitri adalah persoalan spiritual, yakni relasi ketuhanan antara manusia dengan Sang Pencipta.

Nur, 37 tahun, merupakan salah satu warga Kota Makassar yang akan merayakan Idulfitri dalam kesederhanaan. Ia merupakan warga Jalan Pandang Raya, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakkukang, salah satu wilayah yang merupakan kawasan kumuh di Makassar.

Nur bersama suami, Sahabu, 41 tahun, dan tiga orang anaknya, tinggal di rumah kumuh yang ia sewa di tempat itu. Rumah panggung yang ia tinggali dibangun di atas rawa-rawa, tanpa sanitasi yang memadai. Untuk air minum konsumsi, ia harus membeli pada tetangganya yang telah memiliki jaringan PDAM.

Rumahnya sungguh sangat jauh dari ukuran layak huni. Namun ia bertahan di sana bersama puluhan warga lain. Nur merupakan warga urban yang telah puluhan tahun tinggal di kawasan kumuh Pandang Raya.

Ada juga warga lainnya, Hamsinah, 40 tahun. Berbeda dengan Nur, Hamsinah menempati rumah semipermanen yang dibangunnya sendiri di salah satu lahan kosong milik pengusaha. Ia diberi izin tinggal sementara di situ. Dulunya, Hamsinah serumah dengan Nur, namun karena sudah tak mampu menyewa, sehingga lebih memilih mendirikan lapak-lapak, dengan memanfaatkan potongan-potongan balok, papan, dan bambu bekas.

"Alhamdulillah, kami masih bisa dipertemukan Ramadan, malah mau mi lagi lebaran," ujar Hamsinah, kemarin.

Ia bersyukur karena selama puluhan tahun tinggal di kawasan kumuh Pandang Raya, empati masyarakat, terutama kelas atas, tak pernah terhenti. Setiap Ramadan, selalu saja ada penderma yang datang membagi-bagikan mereka rezeki. Kadang berupa uang, kerap juga berbentuk seperti sabun, beras, bahkan pakaian bekas.

Sebetulnya, Hamsinah bersama suaminya, Aco, 48 tahun, serta tujuh orang anaknya, juga sangat berharap bisa tinggal di rumah layak. Namun dengan profesinya sebagai buruh serabutan (rata-rata menjadi tukang cuci keliling), itu sungguh sangat jauh dari harapan.

Ia berbangga pada empati warga lainnya yang lebih mampu yang sering membantunya. Menurutnya, tidak semua orang berada itu pelit, bahkan ada yang sangat baik di mata warga Pandang Raya ini. Kini, mereka juga tengah bersuka cita akan menyambut Idulfitri, kendati tak ada bahan kue yang akan diolah sebagai penganan yang akan dihidangkankan pada hari lebaran nanti.

Namun sayang, sejak Ramadan hingga jelang Idulfitri ini, belum ada satu pun penderma yang datang menyumbang. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, setiap kali Ramadan, selalu ada orang yang datang bagi-bagi sedekah kepada mereka.

"Tahun lalu, ada orang pake mobil ke sini, na bagi-bagikanki ta' 20 ribu-ta (maksudnya Rp20 ribu per orang, red)," katanya dalam logat Sulsel yang kental.

Nur, Hamsinah, dan puluhan warga kawasan kumuh Pandang Raya, merupakan potret subordinasi dan ketersisihan di tengah geliat ekonomi Makassar yang angka pertumbuhannya hingga sembilan persen itu. Mereka merupakan tangan-tangan kecil yang tak kuasa mencengkeram rotasi mesin-mesin kapital di Makassar.

Namun jangan melihat mereka dari sisi negatif. Dua putri Nur, misalnya, rata-rata telah khatam Alquran. Mereka, kendati miskin secara ekonomi, namun sangat religius. Putri Nur yang masih sekolah, merupakan remaja masjid di kawasan itu.

Hamsinah sendiri mengaku, kendati tanpa baju baru bagi dirinya, terutama bagi anak-anaknya, namun sukacita datangnya Idulfitri merupakan kebahagiaan yang tak terperi. Semangat bahagia menyambut lebaran terpancar dari keceriaan wajah-wajah mereka yang dibalut pakaian lusuh dan sangat sederhana.

Mereka merupakan warga resmi Kota Makassar, kendati awalnya merupakan kaum urban. Mereka sudah terbiasa dalam keterbatasan dan sadar diri di tengah keterbatasan pendidikan dan skill, hanya bisa mengikuti derik roda kehidupan berputar yang entah kapan akan terhenti.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel, Dr HM Arfah Shiddiq MA, secara khusus memberikan siraham rohani kepada semua warga Sulsel yang merayakan Idulfitri dalam keterbatasan. Ia, sekali lagi menegaskan, bahwa Idulfitri bukan persolan ekonomi, yang hanya bisa dirayakan oleh kalangan berada atau masyarakat kaya.

"Mereka juga mesti menikmati kegembiraan di tengah keprihatinan itu. Tetapi sebaliknya, kita juga jangan sampai melupakan mereka, harus kita bantu," urai akademisi UMI Makassar ini.

Arfah Shiddiq menjelaskan, Idulfitri adalah kemenangan seluruh umat Islam setelah Ramadan. Idulfitri merupakan hari kembalinya manusia pada kesucian atau fitrah dan bersih dari noda. Idulfitri yang disebut juga lebaran ini, harus dirayakan bersama, satu jagat.

Makanya, karena ini merupakan kemenangan bersama, sehingga Islam mengajarkan agar pada hari itu tidak boleh ada umat Islam yang bersedih karena kekurangan atau bahkan kelaparan. Sebab di dalam Ramadan, umat Islam diwajibkan berzakat fitrah yang esensi ajarannya, memberikan kesadaran bagi umat untuk berbagi kepada yang tak mampu, agar mereka juga bisa bersukacita di hari raya.

"Tidak boleh ada diskriminasi hari itu, semua harus berbahagia. Bahkan orang yang haid pun bisa datang ke lapangan di mana salat id digelar," imbuh Arfah.

Pembantu Rektor IV UMI ini menjelaskan, baik kaya maupu miskin, mesti bersukacita di hari raya. Oleh karena itu, saat Ramadan, umat Islam juga sangat dianjurkan memperbanyak sedekah, bahkan melunasi zakat harta atau zakat mal. Sebab orang yang mengeluarkan zakat mal akan membersihkan harta yang dimiliki, juga pahalanya berlipat-lipat.

Zakat dan sedekah inilah yang diharapkan bisa mengurangi beban umat yang kurang mampu. Alangkah bahagianya warga yang tengah dilanda bencana, berada dalam kubang kemiskinan, bahkan merayakan Idulfitri di tahanan, rumah sakit, dan lainnya, jika mendapatkan rida dari yang mampu.

"Jangan sampai karena keprihatinan itu sehingga menghalangi mereka merasakan kemenangan. Makanya, kita harus peduli bagi mereka yang kurang mampu atau bagi saudara-saudara kita yang sedang dilanda bencana," imbuhnya.

Begitu sucinya Idulfitri sehingga bayi yang baru lahir pun diwajibkan bagi orang tuanya untuk membayarkan zakat fitrah. Pesan yang dikandungnya bahwa yang mampu harus berbagi kepada yang tak mampu.

"Seluruh orang lemah harus ikut bergembira karena Idulfitri itu bukan milik orang yang mampu saja," katanya. (zuk)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan