Kapitalisasi Film Tak Matikan Kreativitas Komunitas Indie
Pemutaran Perdana Film "Memburu Harimau" Karya Sineas Makassar
TAK adil memperhadapakan sineas indie dengan industri kapitalistik film. Sineas lokal tak kalah bakat, hanya akses menembus dominasi yang sulit.
RIDWAN MARZUKI, Societeit de Harmoni
LAYAR menunjukkan adegan film yang mengalir pelan. Sesekali terjadi lompatan alur. Pencahayaan di film tersebut sangat minim. Bisa disebut lebih menonjolkan film hitam putih. Namun menonton film ini, ada kesan lain. Setidaknya Anda harus memfokuskan perhatian karena tertinggal sedikit saja, bisa-bisa kehilangan orientasi film.
Film yang berjudul Memburu Harimau itu memang disetting dengan latar klasik dengan mengambil tema 1960-an. Masa transisi Orde Lama ke Orde Baru seolah-olah lahir kembali menyaksikan film garapan anak-anak Makassar ini. Film ini memang dikerjakan "keroyokan" antara Institut Kesenian Makassar, Mediatif Film Workshop, dan Rumah Media Makassar. Memburu Harimau diprosduksi secara bersama-sama oleh ketiganya.
A Rio Supriadi, salah seorang panitia pemutaran film Memburu Harimau, menjelaskan adanya pelibatan sejumlah tokoh film indie di Makassar. Penulis dan penata kameranya adalah Rusmin Nuryadin, sementara sutradara merangkap produsernya adalah Arman Dewarti.
Arman sendiri menjelaskan bahwa film yang ditayangkan di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, 7-11 April ini, awalnya dikonseptualisasikan untuk diikutkan dalam lomba atau festival-festival film. Pria 45 tahun ini mengeluhkan kurangnya pengharagaan masyarakat lokal terhadap produksi film-film indie. Padahal secara kulitas, mereka tak kalah ide. Persoalannya memang hanya di sarana dan kapital!
"Gagasan awal produksinya adalah untuk festival. Harapan kita ini bisa lolos di berbagai festival. Ini salah satu strategi kita bahwa Makassar juga bisa mencipta film. Pengakuan luar akan membangkitkan minat dan penghargaan terhadap karya Makassar," ujar Arman di sela-sela pemutaran perdana Memburu Harimau di Societeit De Harmonie, Sabtu, 7 April.
Film ini diperankan Uchi Sagita sebagai Soraya, Andreuw Parinnusa sebagai Sinar, Sese Lawing sebagai Timur, serta sejumlah tokoh lainnya. Semuanya aktor lokal. Namun jangan meremehkan mereka, karakter yang ditampilkan dalam film ini sangat realis. Tokoh Sinar, Soraya, dan Timur memang mendominasi alur cerita dalam film Memburu Harimau. Ada cinta segi tiga di dalamnya yang mampu "memainkan" emosi penonton.
Arman sendiri mengatakan, film ini terinspirasi oleh maraknya penembakan misteius pada 1980-an. Peristiwa itu lalu digabung dengan cerita cinta segi tiga yang dikemas dalam setting 1960-an.
Cerita bermula dari persahabatan antara Sinar dan Timoer. Kedua pemuda ini lalu memilih jalan berbeda. Timoer menjadi preman, sementara Sinar menjadi aparat yang membasmi preman-preman, khususnya yang bertato. Soraya dan Timoer saling jatuh cinta. Mereka pacaran. Namun belakangan muncul Sinar yang juga menyukai dan jatuh hati pada Soraya. Melalui pendekatan keluarga, Sinar mampu meyakinkan orang tua Soraya hingga lamarannya diterima. Sinar menikahi Soraya.
Proses menikah keduanya juga tak mulus. Soraya dan Timoer hampir saja kabur (kawin lari), namun urung. Timoer lebih dulu di tangkap sebelum sampai di stasiun tempat mereka janjian sebelum kabur. Perkawinan paksa ini membawa beban sendiri bagi Sinar, terutama setelah jabatannya semakin tinggi. Soraya terus terobsesi bayang-bayang Timoer yang ada dalam penjara.
Dalam perjalanan selanjutnya, Soraya sering melakukan pertemuan rahasia dengan Timoer. Suatu ketika, ia diprotes oleh suaminya karena pulang larut malam. Saat bebas dari penjara, Timoer masih melanjutkan kebiasaannya. Sinar yang sudah naik jabatannya, akhirnya memimpin langsung pengejaran terhadap Timoer, sahabatnya.
Kejar-kejaran pun terjadi. Hingga akhirnya Timoer ditemukan bersembunyi. Ia lalu kabur, namun jalan yang dilaluinya mentok. Ia terdesak. Sinar lalu mendapatinya di depan sebuah tembok. Timoer lalu berbalik arah menghadap Sinar dengan senyum dan ekspresi kepasrahan. Dorrr! Sinar menembak mati Timoer.
Namun usai membunuh Timoer, Sinar merasa dihantui perasaan bersalah. Ia mulai disorientasi. Konflik batin dalam dirinya kian meruncing. Selain menyesal telah menembak sahabatnya yang tanpa perlawanan, ia juga tak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya sangat mencintai Sinar.
Yang menarik dalam film ini adalah lokasi pengambilan gambar yang dominan dilakukan di Societeit De Harmonie. Tim pembuat film ini mampu mendesain setting bar 1960-an, stasiun, dan gedung-gedung tua tempat Sinar dan Timoer kejar-kejaran, dengan hanya mengambil lokasi di gedung kesenian tersebut.
Nasran Mone, yang juga legislator DPRD Makassar, juga hadir menonton film ini. Ia memuji kreativitas tim yang membuat film sehingga mampu menghadirkan kejutan-kejutan, kendati kadang terjadi lompatan alur yang sangat jauh.
"Ide dan pesannya bagus. Hanya penggarapannya yang kurang. Tetapi itu bisa dimaklumi karena keterbatasan sarana dan infrastruktur. Kreativitas mereka luar biasa," pujinya.
Nasran hanya mengkritik banyaknya adegan merokok dalam film ini. Karena adegan itu, kata dia, penonton bisa saja berasumsi jika film ini disponsori oleh perusahaan rokok. Soal alur cerita yang melompat, menurut Nasra, kondisi inilah yang memberikan nilai tambah bagi film Memburu Harimau. "Memang kesimpulan harus dibuat oleh penonton sendiri," katanya.
Arman sendiri membantah jika filmnya ini disponsori perusahaan rokok. Menurutnya, semua dananya ditanggung bersama oleh tim. Film ini diklaim bergenre noar (Bahasa Francis, red), yang berarti gelap atau kelam. Pencahayaan dalam film ini sangat minim, dan lokasinya juga antah berantah alias tidak disebutkan daerahnya. Setiap penonton dikenanakan Rp10.000 untuk tiket masuk. Uang tersebut bukan untuk komersialisasi, hanya untuk menutupi sebagian ongkos produksi yang mereka tanggulangi sendri.
Arman juga mengharapkan munculnya bioskop indie di Makassar sebagai alternatif bagi masyarakat untuk menonton. Selama ini pemutaran film hanya didonminasi oleh bioskop mapan. "Sudah saatnya memang ada bioskop indie untuk menampung kreatifitas anak-anak Makassar. Kalau di Jakarta ada Blitz. Kita membutuh bioskop indie itu," ujarnya. (ridwanmarzuki@gmail.com)
TAK adil memperhadapakan sineas indie dengan industri kapitalistik film. Sineas lokal tak kalah bakat, hanya akses menembus dominasi yang sulit.
RIDWAN MARZUKI, Societeit de Harmoni
LAYAR menunjukkan adegan film yang mengalir pelan. Sesekali terjadi lompatan alur. Pencahayaan di film tersebut sangat minim. Bisa disebut lebih menonjolkan film hitam putih. Namun menonton film ini, ada kesan lain. Setidaknya Anda harus memfokuskan perhatian karena tertinggal sedikit saja, bisa-bisa kehilangan orientasi film.
Film yang berjudul Memburu Harimau itu memang disetting dengan latar klasik dengan mengambil tema 1960-an. Masa transisi Orde Lama ke Orde Baru seolah-olah lahir kembali menyaksikan film garapan anak-anak Makassar ini. Film ini memang dikerjakan "keroyokan" antara Institut Kesenian Makassar, Mediatif Film Workshop, dan Rumah Media Makassar. Memburu Harimau diprosduksi secara bersama-sama oleh ketiganya.
A Rio Supriadi, salah seorang panitia pemutaran film Memburu Harimau, menjelaskan adanya pelibatan sejumlah tokoh film indie di Makassar. Penulis dan penata kameranya adalah Rusmin Nuryadin, sementara sutradara merangkap produsernya adalah Arman Dewarti.
Arman sendiri menjelaskan bahwa film yang ditayangkan di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, 7-11 April ini, awalnya dikonseptualisasikan untuk diikutkan dalam lomba atau festival-festival film. Pria 45 tahun ini mengeluhkan kurangnya pengharagaan masyarakat lokal terhadap produksi film-film indie. Padahal secara kulitas, mereka tak kalah ide. Persoalannya memang hanya di sarana dan kapital!
"Gagasan awal produksinya adalah untuk festival. Harapan kita ini bisa lolos di berbagai festival. Ini salah satu strategi kita bahwa Makassar juga bisa mencipta film. Pengakuan luar akan membangkitkan minat dan penghargaan terhadap karya Makassar," ujar Arman di sela-sela pemutaran perdana Memburu Harimau di Societeit De Harmonie, Sabtu, 7 April.
Film ini diperankan Uchi Sagita sebagai Soraya, Andreuw Parinnusa sebagai Sinar, Sese Lawing sebagai Timur, serta sejumlah tokoh lainnya. Semuanya aktor lokal. Namun jangan meremehkan mereka, karakter yang ditampilkan dalam film ini sangat realis. Tokoh Sinar, Soraya, dan Timur memang mendominasi alur cerita dalam film Memburu Harimau. Ada cinta segi tiga di dalamnya yang mampu "memainkan" emosi penonton.
Arman sendiri mengatakan, film ini terinspirasi oleh maraknya penembakan misteius pada 1980-an. Peristiwa itu lalu digabung dengan cerita cinta segi tiga yang dikemas dalam setting 1960-an.
Cerita bermula dari persahabatan antara Sinar dan Timoer. Kedua pemuda ini lalu memilih jalan berbeda. Timoer menjadi preman, sementara Sinar menjadi aparat yang membasmi preman-preman, khususnya yang bertato. Soraya dan Timoer saling jatuh cinta. Mereka pacaran. Namun belakangan muncul Sinar yang juga menyukai dan jatuh hati pada Soraya. Melalui pendekatan keluarga, Sinar mampu meyakinkan orang tua Soraya hingga lamarannya diterima. Sinar menikahi Soraya.
Proses menikah keduanya juga tak mulus. Soraya dan Timoer hampir saja kabur (kawin lari), namun urung. Timoer lebih dulu di tangkap sebelum sampai di stasiun tempat mereka janjian sebelum kabur. Perkawinan paksa ini membawa beban sendiri bagi Sinar, terutama setelah jabatannya semakin tinggi. Soraya terus terobsesi bayang-bayang Timoer yang ada dalam penjara.
Dalam perjalanan selanjutnya, Soraya sering melakukan pertemuan rahasia dengan Timoer. Suatu ketika, ia diprotes oleh suaminya karena pulang larut malam. Saat bebas dari penjara, Timoer masih melanjutkan kebiasaannya. Sinar yang sudah naik jabatannya, akhirnya memimpin langsung pengejaran terhadap Timoer, sahabatnya.
Kejar-kejaran pun terjadi. Hingga akhirnya Timoer ditemukan bersembunyi. Ia lalu kabur, namun jalan yang dilaluinya mentok. Ia terdesak. Sinar lalu mendapatinya di depan sebuah tembok. Timoer lalu berbalik arah menghadap Sinar dengan senyum dan ekspresi kepasrahan. Dorrr! Sinar menembak mati Timoer.
Namun usai membunuh Timoer, Sinar merasa dihantui perasaan bersalah. Ia mulai disorientasi. Konflik batin dalam dirinya kian meruncing. Selain menyesal telah menembak sahabatnya yang tanpa perlawanan, ia juga tak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya sangat mencintai Sinar.
Yang menarik dalam film ini adalah lokasi pengambilan gambar yang dominan dilakukan di Societeit De Harmonie. Tim pembuat film ini mampu mendesain setting bar 1960-an, stasiun, dan gedung-gedung tua tempat Sinar dan Timoer kejar-kejaran, dengan hanya mengambil lokasi di gedung kesenian tersebut.
Nasran Mone, yang juga legislator DPRD Makassar, juga hadir menonton film ini. Ia memuji kreativitas tim yang membuat film sehingga mampu menghadirkan kejutan-kejutan, kendati kadang terjadi lompatan alur yang sangat jauh.
"Ide dan pesannya bagus. Hanya penggarapannya yang kurang. Tetapi itu bisa dimaklumi karena keterbatasan sarana dan infrastruktur. Kreativitas mereka luar biasa," pujinya.
Nasran hanya mengkritik banyaknya adegan merokok dalam film ini. Karena adegan itu, kata dia, penonton bisa saja berasumsi jika film ini disponsori oleh perusahaan rokok. Soal alur cerita yang melompat, menurut Nasra, kondisi inilah yang memberikan nilai tambah bagi film Memburu Harimau. "Memang kesimpulan harus dibuat oleh penonton sendiri," katanya.
Arman sendiri membantah jika filmnya ini disponsori perusahaan rokok. Menurutnya, semua dananya ditanggung bersama oleh tim. Film ini diklaim bergenre noar (Bahasa Francis, red), yang berarti gelap atau kelam. Pencahayaan dalam film ini sangat minim, dan lokasinya juga antah berantah alias tidak disebutkan daerahnya. Setiap penonton dikenanakan Rp10.000 untuk tiket masuk. Uang tersebut bukan untuk komersialisasi, hanya untuk menutupi sebagian ongkos produksi yang mereka tanggulangi sendri.
Arman juga mengharapkan munculnya bioskop indie di Makassar sebagai alternatif bagi masyarakat untuk menonton. Selama ini pemutaran film hanya didonminasi oleh bioskop mapan. "Sudah saatnya memang ada bioskop indie untuk menampung kreatifitas anak-anak Makassar. Kalau di Jakarta ada Blitz. Kita membutuh bioskop indie itu," ujarnya. (ridwanmarzuki@gmail.com)
Komentar
Posting Komentar