Pementasan Seni Forum Masyarakat Seni

*Simbol Matinya Seni dan Kebudayaan Sulsel

Masyarakat seni Sulsel sedang "berkabung". Mereka merasa telah "terbunuh" oleh kekuasaan. Seperti apa pertunjukannya?

RIDWAN MARZUKI
Jalan Riburane

Suasana "duka" menyelimuti gedung Kesenian Societeit de Harmonie. Aroma kematian begitu tampak. Terutama di tempat pagelaran.

Suasana berkabung begitu terasa saat saya hendak memasuki pekarangan Gedung Societeit de Harmony. Untuk sampai ke pintu masuk gedung, pengunjung harus melalui terowongan yang terbuat dari anyaman bambu. Bambu-bambu tersebut dipasang silang-menyilang tak teratur. Instalasi bambu tersebut merupakan representasi duka yang dirasakan masyarakat seni Sulsel. Di tengah-tengah anyaman bambu inilah terdapat jalan menuju pintu masuk gedung.

Di tempat itu hampir tak ada alat penerang. Hanya mengandalkan beberapa lampu minyak tanah yang dibakar di pekarangan gedung. Itupun tak cukup sanggup untuk disebut alat penerang. Suasananya sepi, gelap, dan sedikit seram. Beberapa lampu minyak tersebut digantung di terowongan tadi. Praktis, semakin menambah aroma kematian di tempat itu.

Di bagian dalam gedung, lebih menyeramkan lagi. Suasana duka dan berkabung lebih dominan di tempat ini. Itu karena, ada lima buah "kuburan" baru. Tepatnya simbol kuburan. Lengkap dengan nisan yang juga terbuat dari beberapa batang bambu yang diikat jadi satu. Setiap kuburan memiliki nama.

Nama-nama kuburan tersebut antara lain Loket, Workshop, Informasi, Ruang Rias, Sarana dan Artistik, dan Ruang Pengisi Acara.
Koordinator Masyarakat Seni (Formasi) Sulsel, Andri Prakarsa menjelaskan, kuburan tersebut sebagai simbol atas kondisi kesenian di Sulsel. "Simbol bahwa seni dan budaya Sulsel telah mati," terang Andri, Jumat, 16 April.

Memang, pagelaran seni ini diberi nama kenduri duka. Suatu keadaan yang berarti sedang dalam kesedihan yang mendalam. Kesedihan itu, lanjut Andri, disebabkan karena pemerintah yang dinilai kurang peduli terhadap masyarakat seni.

Andri menilai pemerintah tidak melibatkan mereka utamanya dalam penyusunan kebijakan tentang seni dan kebudayaan. "Seni dan budaya di Sulsel tidak terkondisi dengan baik. Program pengembangan kesenian tidak melibatkan secara partisipatif masyarakat seni," ungkap Andri.

Andri mengaku jika pagelaran seni ini sebagai kritik kepada pemerintah. "Kita cenderung arahkan kritik kepada pemerintah terkait pembangunan atau renovasi (Gedung Societeit de Harmonie, red) yang tak kunjung selesai," ungkap Andri.

Jadi pagelaran seni ini merupakan ekspresi masyarakat seni untuk mengkritik pemerintah. Mereka menagih janji pemerintah untuk melibatkan mereka dalam pengambilan kebijakan terkait seni dan kebudayaan.
Menurut Andri, Pemprov Sulsel telah menjanjikan untuk mengadakan pertemuan atau dialog dengan masyarakat seni. "Tetapi sampai sekarang belum terealisasi," ungkpanya.

Andri berharap agar pemerintah bisa merasakan duka yang dialami masyarakat seni. Masyarakat seni mengkritik infrastruktur dalam Gedung Kesenian Societeit de Harmonie yang mereka nilai diabaikan. Apalagi sekarang, aliran listrik gedung telah dicabut oleh PLN. Praktis Societeit de Harmonie kegelapan saat malam.

Pagelaran ini terlihat cukup meriah. Bahkan, berbagai kalangan datang khusus menyaksikan pagelaran seni itu. Seperti akademisi, budayawan, pemerhati seni, para seniman, dan kalangan pers.

Rencananya, kegiatan ini berlansung selama seminggu. Kegiatan diisi dengan pementasan teater, musik, tari, pertunjukan seni rupa, pemutaran film, performing art, orasi kebudayaan, dan diskusi publik. Bahkan, Anggota DPR RI Asal Sulsel, Akbar Faisal juga tampil membacakan puisi, tadi malam.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan