Anak Pintar Belum Tentu Cerdas
Dok.Fajar
MAKASSAR--Tidak selamanya pintar berarti cerdas. Ukuran pintar hanya pada nilai akademik dan nilai-nilai pelajaran formal lainnya. Sedangkan cerdas atau kecerdasan ukurannya pada kemampuan menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Masalah kecerdasan ini dibahas dalam Seminar Riset Kecenderungan Kecerdasan yang menghadirkan pembicara dari Tim Next World View yang juga seorang psikolog, Mustofa Jufri Psi. Menurut Mustofa, kalau ukuran kecerdasan cuma nilai pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris atau nilai pelajaran lainnya yang tinggi, lantas dikatakan cerdas itu tidak benar. "Matematika tidak bisa menyelesaikan persoalan moral dan masalah sosial," tegas Mustofa, Minggu, 18 April.
Selama ini, lanjut Mustofa, anak-anak sekolah malas belajar karena disebabkan bebrbagai faktor. Di antaranya, proses belajar-mengajar terkesan dipaksakan kepada murid. Akibatnya murid merasa tidak nyaman dalam belajar.
"Ketika informasi atau pelajaran diterima dengan nyaman (oleh murid, red), orang yang mempersepsi akan menyusunnya dengan nyaman pula," imbuh Mustofa.
Di sinilah menurut dia pentingnya menciptakan kondisi sekolah sama dengan kondisi di rumah. Hal itu bertujuan agar murid tidak mengalami kejenuhan dalam belajar. Itu karena kondisi rumah merupakan keadaan yang nyaman dalam persepsi anak. "Jika melibatkan anak-anak belajar dengan suasana mirip di rumah, maka ia akan mudah menangkap apapun," lanjut Mustofa.
Oleh karena itu sekolah dan guru dituntut untuk mencari strategi yang bagus agar anak cinta belajar. Karena setiap anak memiliki potensi kecerdasannya masing-masing. Itu tentu saja memerlukan pendekatan yang berbeda dalam mengelola potensialitas yang dimiliki seorang anak.
Lebih lanjut Mustofa menjelaskan beberapa jenis kecerdasa. Ada delapan tipe kecerdasan yang ia sebut. Di antaranya, kecerdasan bahasa atau linguistik. Hal ini berkaitan dengan kemampuan secara verbal. Lalu kecerdasan bergaul, yakni kemampuan menjalin relasi dan pertemanan. Kemudian kecerdasan gerak, yaitu keahlian yang dimiliki karena aspek gerakan badan.
Selanjutnya kecerdasan musik yang berkaitan dengan musikalitas. Bisa berupa kemampuan memainkan permainan alat musik atau menyanyi. Ada juga kecerdasan gambar, yaitu segala kemampuan yang berhubungan dengan menggambar. Lalu ada pula kecerdasan angka yang berbungan dengan perhitungan.
Selain itu ada yang disebut kecerdasan diri. Ini berkaitan dengan anak yang pendiam tetapi produktif secara ilmiah. Juga kemampuan membangun hubungan intrapersonal. Dan kecerdasan terakhir adalah kecerdasan alam. Kecerdasan ini terwujud dalam bentuk mencintai alam dan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan.
Kecerdasan dalam pandangan Mustofa bukan sesuatu yang diukur dengan alat tes. "Kecerdasan anak adalah sesuatu yang dapat diketahui dengan penglihatan kemampuan anak tersebut. Bukan dengan alat tes yang cenderung tidak mengetahui kemampuan seorang anak," terang dia.
Menurutnya kecerdasan seorang anak dapat dilihat dari kebiasaan seorang anak. Yaitu perilaku yang diulang-ulangi. Dikatakan cerdas jika mampu memecahkan masalah dan menciptakan produk-produk baru.
Mustofa juga mengeritik institusi pendidikan yang dianggapnya mirip robot. "Kenapa kita bahagia di TK dan seperti neraka di SD, karena di SD suasananya mirip robot," lanjut dia. Sekolah seperti ini menurutnya hanya akan melahirkan orang pintar tetapi tidak cerdas. Guru yang baik kata dia, adalah guru yang cara mengajarnya sama dengan gaya belajar muridnya. Artinya guru tidak memaksakan metodologi pembelajaran kepada murid yang tidak disukainya.
Panitia pelaksana seminar yang juga Kepala Rumah Sekolah Cendekia, Ratna Juwita menjelaskan jika tujuan seminar ini untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang arti kecerdasan. "Masyarakat menilai cerdas ukurannya akademik seperti matematika dan Bahasa Inggris. Padahal yang kami yakini, bahwa setiap manusia terlahir fitrah. Artinya mereka sama-sama punya potensi kecerdasan yang sama," ungkap Ratna.
Salah seorang orang tua murid, Santi (40), mengaku senang mengikuti seminar ini. setidaknya ia menjadi tahu tentang arti kecerdasan. "Tujuan saya ikut supaya tahu ke mana arah kecerdasan anak nanti. Juga supaya pendidikannya tidak salah jalan," ungkap dia.
Kegiatan seminar ini dihadiri dari berbagai kalangan. Seperti guru, orang tua murid, dan pemerhati pendidikan. Pesertanya berasal dari Pangkep, Gowa, dan Makassar.(zuk)
MAKASSAR--Tidak selamanya pintar berarti cerdas. Ukuran pintar hanya pada nilai akademik dan nilai-nilai pelajaran formal lainnya. Sedangkan cerdas atau kecerdasan ukurannya pada kemampuan menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Masalah kecerdasan ini dibahas dalam Seminar Riset Kecenderungan Kecerdasan yang menghadirkan pembicara dari Tim Next World View yang juga seorang psikolog, Mustofa Jufri Psi. Menurut Mustofa, kalau ukuran kecerdasan cuma nilai pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris atau nilai pelajaran lainnya yang tinggi, lantas dikatakan cerdas itu tidak benar. "Matematika tidak bisa menyelesaikan persoalan moral dan masalah sosial," tegas Mustofa, Minggu, 18 April.
Selama ini, lanjut Mustofa, anak-anak sekolah malas belajar karena disebabkan bebrbagai faktor. Di antaranya, proses belajar-mengajar terkesan dipaksakan kepada murid. Akibatnya murid merasa tidak nyaman dalam belajar.
"Ketika informasi atau pelajaran diterima dengan nyaman (oleh murid, red), orang yang mempersepsi akan menyusunnya dengan nyaman pula," imbuh Mustofa.
Di sinilah menurut dia pentingnya menciptakan kondisi sekolah sama dengan kondisi di rumah. Hal itu bertujuan agar murid tidak mengalami kejenuhan dalam belajar. Itu karena kondisi rumah merupakan keadaan yang nyaman dalam persepsi anak. "Jika melibatkan anak-anak belajar dengan suasana mirip di rumah, maka ia akan mudah menangkap apapun," lanjut Mustofa.
Oleh karena itu sekolah dan guru dituntut untuk mencari strategi yang bagus agar anak cinta belajar. Karena setiap anak memiliki potensi kecerdasannya masing-masing. Itu tentu saja memerlukan pendekatan yang berbeda dalam mengelola potensialitas yang dimiliki seorang anak.
Lebih lanjut Mustofa menjelaskan beberapa jenis kecerdasa. Ada delapan tipe kecerdasan yang ia sebut. Di antaranya, kecerdasan bahasa atau linguistik. Hal ini berkaitan dengan kemampuan secara verbal. Lalu kecerdasan bergaul, yakni kemampuan menjalin relasi dan pertemanan. Kemudian kecerdasan gerak, yaitu keahlian yang dimiliki karena aspek gerakan badan.
Selanjutnya kecerdasan musik yang berkaitan dengan musikalitas. Bisa berupa kemampuan memainkan permainan alat musik atau menyanyi. Ada juga kecerdasan gambar, yaitu segala kemampuan yang berhubungan dengan menggambar. Lalu ada pula kecerdasan angka yang berbungan dengan perhitungan.
Selain itu ada yang disebut kecerdasan diri. Ini berkaitan dengan anak yang pendiam tetapi produktif secara ilmiah. Juga kemampuan membangun hubungan intrapersonal. Dan kecerdasan terakhir adalah kecerdasan alam. Kecerdasan ini terwujud dalam bentuk mencintai alam dan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan.
Kecerdasan dalam pandangan Mustofa bukan sesuatu yang diukur dengan alat tes. "Kecerdasan anak adalah sesuatu yang dapat diketahui dengan penglihatan kemampuan anak tersebut. Bukan dengan alat tes yang cenderung tidak mengetahui kemampuan seorang anak," terang dia.
Menurutnya kecerdasan seorang anak dapat dilihat dari kebiasaan seorang anak. Yaitu perilaku yang diulang-ulangi. Dikatakan cerdas jika mampu memecahkan masalah dan menciptakan produk-produk baru.
Mustofa juga mengeritik institusi pendidikan yang dianggapnya mirip robot. "Kenapa kita bahagia di TK dan seperti neraka di SD, karena di SD suasananya mirip robot," lanjut dia. Sekolah seperti ini menurutnya hanya akan melahirkan orang pintar tetapi tidak cerdas. Guru yang baik kata dia, adalah guru yang cara mengajarnya sama dengan gaya belajar muridnya. Artinya guru tidak memaksakan metodologi pembelajaran kepada murid yang tidak disukainya.
Panitia pelaksana seminar yang juga Kepala Rumah Sekolah Cendekia, Ratna Juwita menjelaskan jika tujuan seminar ini untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang arti kecerdasan. "Masyarakat menilai cerdas ukurannya akademik seperti matematika dan Bahasa Inggris. Padahal yang kami yakini, bahwa setiap manusia terlahir fitrah. Artinya mereka sama-sama punya potensi kecerdasan yang sama," ungkap Ratna.
Salah seorang orang tua murid, Santi (40), mengaku senang mengikuti seminar ini. setidaknya ia menjadi tahu tentang arti kecerdasan. "Tujuan saya ikut supaya tahu ke mana arah kecerdasan anak nanti. Juga supaya pendidikannya tidak salah jalan," ungkap dia.
Kegiatan seminar ini dihadiri dari berbagai kalangan. Seperti guru, orang tua murid, dan pemerhati pendidikan. Pesertanya berasal dari Pangkep, Gowa, dan Makassar.(zuk)
Komentar
Posting Komentar