ISLAM, DEMOKRASI, DAN MAHASISWA DI INDONESIA

ISLAM, DEMOKRASI, DAN MAHASISWA
DI INDONESIA
Oleh: Ridwan Marzuki

DISKURSUS tentang demokrasi tak pernah berhenti dan selalu menarik perhatian. Ini terutama, dalam kaitannya antara demokrasi (baca: negara) versus agama (baca: Islam). Relasi antara kedua terma ini selalu muncul dengan wajah variatif karena memungkinkan terjadinya dialog yang konstan dalam upayanya menemukan varian-varian progresif dalam kerangka menuju sistem yang ideal.

Walaupun agak susah untuk mencari demarkasi atau bahkan menemukan kesepadanan absolut keduanya, tetapi Islam dan demokrasi bukanlah dua kutub yang berseteru secara diametral. Malah sesungguhnya, demokrasi menjadi layak untuk disebut sebagai kebudayaan Islam. Hal ini diajukan sekaligus untuk counterbalance terhadap argumentasi yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba (Endang Saifuddin Anshari: 1996) yang sampai pada konklusi tentang Islam sebagai agama sekaligus kebudayaan.

Tetapi tak dapat juga dipungkiri bahwa artikulasi demokrasi dalam Islam akan selalu berbentuk eksperimentasi untuk menyelaraskan konsep dan kultur politik masyarakat muslim (Azyumardi Azra: 1999). Atau meminjam istilah Hegel, proses menuju sistem ideal akan dilalui dengan dialektika yang kontinu untuk mencari sintesis-sintesis baru bernegara sekaligus beragama.

Ketika posisi demokrasi (negara) dan agama (Islam) dianggap sebagai unity (kesatuan), maka konsekuensinya adalah simbolisasi agama tidak lagi menjadi keharusan. Tidak relevan lagi memaksakan logosentrisme sistemik keagamaan pada ranah negara karena telah terjadi kemanunggalan (Abu Zahra: 1999).

Lebih banyak terjadi perlawanan dalam upaya untuk pembentukan darul addin cenderung sebagai reaksi tehadap struktural kekuasaan yang tiran dan zalim. Sehingga, pada kasus demikian, agama sebagai simbol akan dijadikan kendaraan untuk menggulingkan rezim yang menyimpang tersebut.

Tetapi jika diselidik lebih jauh, konflik-konflik yang muncul bukan melulu karena pertentangan antara simbolisme agama dalam negara dan pereduksian terhadapnya, tetapi telah meningkat pada persoalan-persoalan mendasar dalam pengelolaan negara. Variasi penyimpangan seperti keadilan sosial yang tak bisa dilaksanakan; pembangunan yang timpang, kesejahteraan yang tidak merata berujung pada chaos dan separasi yang bermula dari hasrat disintegrasi karena kekecewaan.

Di lain sisi, demokratisasi sebagai bagian perjuangan elemen-elemen prodemokrasi senantiasa mendapatkan batu sandungan utamanya dari kelompok-kelompok antidemokrasi. Ini berkaitan dengan world view (pandangan dunia) dari setiap kelompok serta derivasi dari doktrin-ideologinya. Pada konteks kontemporer, demokrasi menjadi sistem sangat niscaya yang menjadi rujukan global.

Tetapi pada konteks yang berbeda, adanya anti-demokrasi secara bersamaan linear dengan support terhadapnya. Artinya sistem subordinasi akan senantiasa melawannya sebagai jawaban atas pembacaan "situasi" yang melingkupinya.

Pada situasi seperti inilah terjadi resistensi sosio-kultural quo vadis dengan gagasan demokrasi sebagai representasi sistem ideal --walau sebetulnya pergulatan diskursus mengenainya tak pernah berhenti-- membentuk zona humanitas, walaupun sifatnya kadangkala sekular. Tetapi tak bisa dinafikan pula jika kontribusi tatanan ini sedikit memberikan progress terhadap komunitas-komunitas yang awalnya menjadi seteru beratnya.

Implikasinya menjadi trend positif untuk menyebarnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Resistensi menjadi ada dan berkembang tatkala muncul arogansi dan mengambil posisi berhadap-hadapan dengan sistem atau meminjam istilah sang punggawa Strukturalisme, Ferdinand de Saussure, binary opposition.

Pada konteks Indonesia, pergulatan antara negara dan Islam akan selalu menarik dan menjadi warna sepanjang jalan dan sejarah bangsa ini. Hal ini bisa dibuktikan saat kita flashback proses perumusan asas bangsa. Kala itu, terjadi perdebatan alot sesama tim perumus yang dipimpin oleh Ir. Sukarno. Golongan muslim yang masuk ke dalam tim perumus yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghendaki redaksi Pancasila sila pertama adalah Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Tetapi karena inisiasi Bung Hatta, tokoh-tokoh seperti KH. Wahid Hasyim, Mr. Teuku Hasan, dan lainnya akhirnya menerima redaksi tujuh kata terakhir dihapus. Terlepas dari apa yang melatari keputusan Bung Hatta, tetapi paling tidak ada beberapa hal bisa kita tangkap dari langkah tersebut, yakni pertama, model keber-Islaman ala Bung Hatta adalah suatu model beragama Islam yang inklusif, mementingkan substansi dari pada simbol. Kedua, sikap Bung Hatta mengindikasikan loyalitasnya terhadap NKRI dengan perpaduan pribadi muslim sekaligus negarawan. Baginya, integrasi Sabang sampai Merauke adalah mutlak adanya meskipun Islam "mengalah" pada saat itu.

*****

Pergolakan Masa
AWAL berdirinya bangsa ini sebetulnya menjanjikan ruang bagi demokrasi untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Pemilu pertama 1955 menjadi tolok ukur bagaimana suksesnya perhelatan pesta demokrasi tersebut. Sayang, sistem parlementer saat itu tidak terlalu efektif karena tidak ada kabinet yang bisa bekerja secara maksimal. Hal itu disebabkan oleh, pertama, seteru-seteru politik dari kabinet yang berkuasa selalu berupaya menjatuhkannya. Kekuasaan menjadi magnet penarik yang begitu kuat, sehingga cenderung menjadi tujuan dan rebutan. Ke dua, kabinet yang berkuasa begitu cepat melenceng dari fungsinya ketika sudah memegang kekuasaan. Kepentingan golongan atau kelompok ditempatkan diatas kepentingan bangsa.

Tahun 1959 menjadi "petaka" bagi perkembangan demokrasi di Indonesia dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Soekarno mengubah demokrasi menjadi demokrasi terpimpin yang sekaligus menjadi cikal bakal diktatorialnya. Langkah ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh golongan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan "perselingkuhan" Soekarno dengan PKI, akhirnya menjadi bumerang baginya karena kasus pembantaian terhadap perwira militer, yang tertuding sebagai dalang adalah PKI.

Pada 1965, Soekarno lengser dari kursi kepresidenan dan diambil alih oleh militer (Soeharto). Indonesia pun memasuki era baru dengan label Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Sementara itu, pemerintahan sebelumnya, representasi simboliknya disebut dengan Orde Lama untuk mewakili pemerintahan Soekarno.

Pada awal terbentuknya, ada harapan akan perubahan progresif bagi pemerintahan Orde Baru. Soeharto pun sukses mendapat gelar Bapak Pembangunan Indonesia. Ini karena kesuksesannya membangun bangsa ini dengan kolaborasi para ahli di sekelilingnya. Tetapi oleh Amin Rais, pesatnya pembangunan utamanya infrastruktur pada periode Orde Baru, memang dimungkinkan karena pada saat itu Indonesia sedang berada pada kulminasi produksi barang tambang (minyak mentah, batu bara, gas, dll).

Pemerintahan Orde Baru diuntungkan oleh situasi dengan kapasitas sumber daya alam utamanya pada bidang eksplorasi yang sangat melimpah. Tetapi, lagi-lagi disayangkan, kekayaan sumber daya alam tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kapital terkonsentrasi pada lingkaran konglomerasi. Di sinilah ketimpangan pembangunan terjadi, ditambah oleh sistem pengelolaan keuangan yang semrawut tak transparan kemudian diperparah oleh perilaku korup birokrasi melengkapi kegagalan Orde Baru.

Dengan dalih pembangunan, ternyata diam-diam pemerintah telah memiliki begitu banyak utang luar negeri -kebanyakan habis dan menjadi lahan bagi koruptor untuk menggerogotinya- yang berbentuk pinjaman dengan bunga. Menurut Kuntowijoyo, ada dua "kejahatan" paling mendasar Orde Baru, yaitu pertama, depolitisasi, yakni seluruh politik aliran digantikan dengan politik non aliran di mana proyeknya tuntas pada 1973 dengan pereduksian jumlah parpol.

Kedua, deideologisasi, yaitu upaya penyeragaman asas kepada semua ormas dan parpol yang terjadi pada 1985. Walhasil seluruh ormas dan parpol diharuskan memakai asas pancasila. Seluruh elemen mahasiswa juga ditekan agar mengganti asas-ideologinya. PMII, IMM, PMKRI, dan lainnya juga tak luput, termasuk di dalamnya organisasi seperti HMI yang harus menelan pil pahit kebijakan penerapan astung (asas tunggal) Pancasila. HMI terpolarisasi menjadi dua kubu yakni HMI Dipo yang menerima astung dan HMI MPO yang subversif dan tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya.

****

Reformasi dan Kristalisasi Harapan
Akibat bobroknya pengelolaan bangsa, maka pada 1998 mahasiswa serentak melakukan demonstrasi menuntut Suharto turun dari kursi kepresidenan. Upaya mahasiswa membuahkan hasil dan pada 21 Mei 1998, Suharto turun tahta dan digantikan oleh Habibie. Kejatuhan Suharto adalah klimaks dari suatu proses panjang kritisme dan diskursus pada kalangan intelektual, utamanya mahasiswa. Ketika itu Orde Baru adalah simbol otoritarianisme dan diktatorial yang selanjutnya menjadi musuh bersama bagi kalangan mahasiswa.

 Tetesan keringat bahkan darah mewarnai perjuangan mahasiswa yang menuntut reformasi. Pada moment ini, organ-organ radikal punya andil yang signifikan dalam proses pencerahan dan melakukan auto-kritik terhadap kekuasaan dengan memakai lembaga-lembaga sayapnya seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) di Jakarta, Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMYY) di Yogyakarta, Forum Kilo Empat (FK 4) di Makassar, Lokus-lokus (lembaga) gerakan dalam kampus-kampus, dan banyak yang lain. Aktivis gerakan progresif menjadi dalang dari setiap aksi dan termasuk elemen pertama yang menduduki Gedung DPR/MPR senayan Tanggal 18-23 Mei 1998 sebelum organ-organ lain bergabung kemudian disusul oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas.

Dengan runtuhnya Orde Baru, harapan akan perubahan menjadi semangat baru untuk rakyat Indonesia dan seolah-olah terjadi efouria pasca kejatuhannya. Reformasi menjadi golden expectation, jutaan harapan akan perbaikan sistem kebangsaan ke arah yang lebih demokratis dan partisipatoris. Tetapi pasca kejatuhan Suharto dan memasuki babakan baru kebangsaan, terjadi kegamangan bagi elemen-elemen gerakan, utamanya yang terlibat secara langsung dengan Peristiwa 21 Mei; tentang langkah pollow up yang mesti dilakukan. HMI MPO bersama beberapa elemen lain menawarkan perlunya dbentuk Dewan Presidium Nasional sebagai Pemerintahan Bersama sebelum terbentuk pemerintahan defenitif hasil Pemilu. Realitasnya, organ-organ terfragmentasi kedalam tawaran masing-masing sehingga pada situasi inilah gerakan menemui kegagalan.

Reposisi Gerakan
Tahun 2008-2009 merupakan kejatuhan bagi demokrasi liberal. Krisis financial dan resesi ekonomi yang mendekati depresi melanda Amerika dan negara Eropa. Ini seolah-olah mengembalikan sejarah 1929-1933 dimana perekonomian Amerika jatuh ke titik nadir. Hal ini menjadi indikasi betapa rapuhnya sistem Demokrasi Liberal yang dibangun oleh barat.

Menjadi penting merefleksi The End Of History karya Francis Fukuyama yang menyatakan kejatuhan Uni-Soviet adalah kemenangan telak bagi Kapitalisme (Ekonomi) dan liberalisme politik. Klaim itu sekaligus mengukuhkan bahwa Kapitalisme dan politik liberal menjadi pemenang sejarah dan pada akhirnya menjadi tujuan akhir sejarah (Fukuyama, 2004). Tetapi realitasnya sistem tersebut malah menjadi tragedi kemanusiaan, karena krisis financial akan sangat berdampak sosiologis terutama kepada negara-negara ketiga yang masih bergelut dengan kemiskinan, pengangguran, dll.

Pada konteks Indonesia, gerakan Tamadduni adalah sebuah alternatif solusi. Kegagalan reformasi dan bayang-bayang kehancuran ekonomi tidak akan terjadi dengan adanya suatu sistem tata nilai yang berorientasi ukhrawi. Tamaduni adalah sebuah idealisasi peradaban tingkat tinggi. Adanya akuntabilitas, transparansi, bersih dari segala praktik menyimpang, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat. Tamadduni menyorot negara dalam kerangka masayrakat sebagai partisipan.

Mereka mesti terlibat dalam sistem kenegaraan; partisipasi aktif pada setiap pengambilan kebijakan, supremasi hukum, mewujudkan government transparance, dll. Bentuk partisipasi masyarakat adalah partisipasi substansial aktif bukan sekedar artifisial -ritual demokrasi. Partisipasi ini akan memasuki ranah politik, kenegaraan dan budaya. Oportunisme masyarakat akan melahirkan kualitas peradaban yang rendah.

Momentum Pemilu 2009 adalah tantangan sekaligus harapan. Secara kelembagaan seluruh elemen kemahasiswaan semestinya terlibat langsung dalam proses pengawalannya. Segmentasi gerakan pro demokrasi sudah saatnya menyatu dalam kritisme untuk menghasilkan Pemilu berkulitas. Jangan sampai Pemilu lagi-lagi hanya berfungsi sebagai ritual simbolik demokrasi Indonesia yang pada akhirnya hanya menghasilkan atau sekedar regenerasi koruptor dan politisi hitam.

Penulis adalah mahasiswa Fak. Sastra-UMI
Penggiat Lingkar Study Rumput

*****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waspadai Pakai Emo, Ini Fungsinya Masing-masing

Berlibur di Kolam Renang PT Semen Tonasa

Sumpang Bita, Wisata Sejarah nan Menakjubkan